ASEAN di Tengah Negosiasi Tarif Trump, Kenapa Terlupakan?

Image 3

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

KEBIJAKAN tarif impor resiprokal AS yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada April 2025 mengungkapkan kelemahan besar dalam solidaritas ASEAN.

Ilusi Solidaritas ASEAN yang Terfragmentasi

Di tengah ancaman perdagangan yang datang dari Amerika Serikat, ASEAN seharusnya bisa tampil sebagai blok ekonomi yang kuat dan bersatu, namun kenyataannya jauh dari harapan.

Alih-alih menunjukkan kekompakan, negara-negara ASEAN terpecah, masing-masing mencoba untuk menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri melalui pendekatan bilateral dengan AS.

Vietnam dan Kamboja, misalnya, yang sangat terdampak oleh tarif 46%, lebih memilih untuk bernegosiasi langsung dengan AS demi mengurangi dampaknya, sementara negara-negara lain seperti Malaysia berusaha menggalang sikap bersama dalam kerangka ASEAN, namun upaya ini justru terisolasi.

Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, seharusnya bisa mengambil peran yang lebih proaktif dalam menggalang solidaritas kawasan.

Namun, keheningan diplomasi Indonesia, yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani, menandakan kurangnya pemanfaatan kekuatan kolektif ASEAN dalam menghadapi kebijakan proteksionis dari AS.

Padahal, dengan memanfaatkan ASEAN sebagai alat diplomatik, Indonesia seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui solidaritas kawasan.

Kegagalan ini adalah keteledoran fatal yang mengubur potensi besar ASEAN dalam merespons kebijakan perdagangan global.

Mengapa ASEAN Harus Bergerak Kolektif, Bukan Bilateral?

Di tengah eskalasi kebijakan tarif AS yang merugikan negara-negara ASEAN, pertanyaan utama yang perlu dijawab adalah apa yang semestinya dilakukan Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya, selain sekadar negosiasi bilateral.

ASEAN, sebagai blok ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan PDB kolektif mencapai $3,3 triliun, seharusnya bisa lebih dari sekadar forum diskusi.

ASEAN harus bisa menunjukkan kesolidan dalam menyusun respons kolektif terhadap kebijakan tarif AS.

Penting bagi ASEAN untuk menyusun respons bersama dalam menghadapi kebijakan tarif AS yang diskriminatif.

Misalnya, ASEAN bisa mengancam untuk membatasi akses pasar bagi AS atau meninjau ulang investasi AS di kawasan ini.

Ekspor ASEAN ke AS mencapai sekitar 18% dari total ekspor AS, senilai $123 miliar pada 2024 (US-Trade Partner Report).

Potensi ini seharusnya menjadi leverage yang dapat digunakan untuk memberi tekanan balik terhadap kebijakan AS yang merugikan negara-negara anggota ASEAN.

Selain itu, ASEAN bisa memperkuat posisinya dengan melobi di WTO untuk menggugat tarif AS melalui mekanisme yang sama seperti yang digunakan oleh Uni Eropa  terkait tarif baru Trump.

Tanpa adanya koordinasi yang solid antara negara-negara ASEAN, upaya ini akan mudah dipatahkan oleh AS.

Terakhir, ASEAN juga seharusnya memanfaatkan kemitraan ekonomi komprehensif regional (RCEP) untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Sayangnya, Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar, tidak menginisiasi dialog strategis ini.

Mungkin karena tim negosiator hanya berisi para menteri ekonomi dan tidak melibatkan pakar hubungan internasional, diplomat dan Kementerian Luar Negeri, ini adalah kelemahan komposisi tim negosiator Indonesia

Pada kenyataannya, Vietnam dan Kamboja lebih memilih untuk berfokus pada negosiasi bilateral dengan AS, sementara Indonesia gagal untuk mengonsolidasi negara-negara ASEAN lainnya dalam merespons kebijakan tarif ini.

Kegagalan diplomasi ekonomi saat ini menunjukkan betapa ASEAN terjebak dalam permainan "divide et impera" yang dimainkan oleh AS, yang memanfaatkan ketidaksepakatan antara negara-negara anggota.

Indonesia sebagai Pemimpin ASEAN: Antara Kewajiban dan Kegagalan

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam menghadapi kebijakan tarif AS.

Indonesia bisa memosisikan dirinya sebagai mediator yang menjembatani kepentingan negara-negara ASEAN yang berbeda, seperti Vietnam yang cenderung pro-AS dan negara-negara seperti Laos atau Kamboja yang lebih dekat dengan China.

Indonesia bisa menggagas skema kompensasi intra-ASEAN, seperti redistribusi kuota ekspor atau pembiayaan bersama untuk sektor-sektor yang terdampak tarif.

Selain itu, Indonesia seharusnya bisa menjadi inisiator aliansi dagang alternatif, misalnya melalui pakta dagang dengan India atau negara-negara Afrika untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan China.

Indonesia juga bisa memimpin diplomasi publik ASEAN melalui forum-forum internasional seperti G20 atau APEC untuk mengkritik kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh AS.

Namun, diplomasi Indonesia di bawah pimpinan Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani lebih fokus pada upaya-upaya bilateral, seperti membuka keran impor dari AS untuk masuk Indonesia, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap fragmentasi solidaritas ASEAN.

Kegagalan ini mengingatkan kita pada peran vital Indonesia dalam kepemimpinan ASEAN pasca-Krisis 1998, di mana negara ini berhasil menyelamatkan kawasan dari ancaman kehancuran.

Namun, dengan diplomasi yang reaktif dan tidak visioner, Indonesia kini mengubur potensi kepemimpinan yang pernah ada. Pak Prabowo perlu mempertimbangkan keterlibatan ASEAN sebagai alat negosiasinya.

Negosiasi vs Retaliasi: Kepatutan Sikap ASEAN dan Modalitas yang Terabaikan

Sikap ASEAN yang menghindari retaliasi terhadap kebijakan tarif AS tentu memiliki dasar yang kuat.

Retaliasi berisiko memicu perang dagang yang lebih luas dan berbahaya, terutama bagi negara-negara kecil seperti Laos atau Myanmar yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.

Namun, negosiasi tanpa kekuatan kolektif hanya akan menguntungkan AS.

ASEAN harus memadukan pendekatan diplomasi dengan potensi retaliasi yang terukur.

ASEAN bisa memanfaatkan modalitas diplomatik yang lebih kuat, seperti mengadakan dialog ASEAN-AS untuk memaksa AS ke meja perundingan dan meminta pencabutan tarif diskriminatif.

ASEAN juga bisa memperkuat hubungan dengan China, Jepang, dan Korea Selatan melalui mekanisme ASEAN Plus Three untuk menciptakan tekanan kolektif terhadap AS.

Selain itu, ASEAN harus memanfaatkan Pasal 16 dalam ASEAN Charter yang mengamanatkan kerja sama ekonomi dalam menghadapi ancaman eksternal*.

Sayangnya, Indonesia gagal menggalang konsensus dalam kerangka ini, dan ASEAN kehilangan potensi modalitas diplomatik yang bisa mempengaruhi kebijakan AS.

Tarif AS yang Berbeda: Ancaman bagi Kohesi ASEAN

Kebijakan tarif AS yang membedakan negara-negara ASEAN berdasarkan tingkat dampaknya sengaja dirancang untuk memecah solidaritas kawasan.

Vietnam, yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor ke AS, merasakan dampak terbesar dengan tarif 46%, dan terpaksa mencari solusi melalui negosiasi bilateral dengan AS.

Sementara itu, negara-negara lain seperti Malaysia dan Indonesia yang tidak terlalu terpengaruh, cenderung pasif. Keadaan ini mengungkapkan bahwa ASEAN tidak memiliki rencana kontinjensi bersama yang memadai.

Indonesia, sebagai anggota terbesar, gagal mengadvokasi sistem pembagian risiko yang dapat mencegah perpecahan kawasan.

ASEAN di Tengah Perang Dagang AS-China: Netral atau Ambil Sikap?

Di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China, ASEAN berada di posisi yang sangat sulit.

Namun, memilih netralitas tidak lagi menjadi pilihan yang realistis.

ASEAN harus memosisikan diri sebagai penyeimbang dengan menawarkan platform dialog untuk AS dan China di bawah payung ASEAN Summit.

Selain itu, ASEAN harus memperkuat rantai pasok internal dengan mengurangi ketergantungan pada kedua kekuatan besar ini, seperti dengan memfokuskan pembangunan industri berbasis ASEAN, misalnya dalam sektor baterai kendaraan listrik (EV) yang melibatkan Indonesia dan Malaysia.

Selain itu, ASEAN harus bersikap lebih kritis terhadap kedua pihak, menolak kebijakan tarif diskriminatif AS dan mengkritik praktik dumping yang dilakukan oleh China.

Sayangnya, tanpa kepemimpinan Indonesia, ASEAN terlihat pasif, membiarkan negara-negara seperti Filipina dan Thailand terjebak dalam ketergantungan dengan AS atau China. Indonesia harus mengisi keterjebakan ini.

Solidaritas ASEAN Hanya Mungkin dengan Kepemimpinan Indonesia yang Visioner

Kegagalan ASEAN dalam merespons kebijakan tarif Trump bukan hanya sekadar kesalahan taktis, tetapi juga mencerminkan krisis kepemimpinan Indonesia di kawasan ini.

Indonesia harus segera mereformasi diplomasi ekonominya dengan fokus pada strategi kolektif yang memperkuat solidaritas ASEAN.

Tanpa langkah-langkah ini, ASEAN akan terus menjadi asosiasi yang longgar, dan solidaritasnya akan terus terancam oleh kebijakan proteksionis yang datang dari AS. Untuk masa depan ASEAN yang lebih solid dan efektif, Indonesia harus bangkit dan memimpin, atau proyek integrasi ini akan gagal.

Berita Terkait

Berita Lainnya