Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
PRESIDEN Prabowo Subianto setidaknya telah tiga kali mengeluarkan pernyataan yang menuai kontroversi di kalangan pelaku pasar keuangan.
Tiga Pernyataan Kontroversial yang Mengguncang Kepercayaan Pasar
Pertama, pada 4 Desember 2024 dalam Milad Muhammadiyah ke-112 di Kupang, Prabowo menyamakan investasi saham bagi rakyat kecil dengan praktik perjudian.
Menurutnya, yang selalu menang adalah para bandar besar, sedangkan rakyat kecil hanya menjadi korban permainan.
Kedua, pada Januari 2025, Presiden kembali menyinggung ketidakseimbangan di pasar modal dan menyampaikan bahwa program makan bergizi gratis yang diusungnya semestinya tidak direspons secara negatif oleh pelaku pasar karena tujuannya jelas untuk rakyat.
Ketiga, pada Sidang Kabinet Paripurna 21 Maret 2025, Prabowo menyatakan bahwa tidak masalah jika harga saham naik atau turun, asalkan stok pangan nasional terjaga dengan baik.
Isyarat Pemerintah Tidak Berpihak pada Pasar?
Tiga pernyataan tersebut menimbulkan kegelisahan yang cukup signifikan.
Pelaku pasar mempertanyakan apakah Presiden memahami dinamika pasar modal yang sesungguhnya.
Lebih jauh, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah tidak berpihak pada penguatan pasar modal sebagai pilar pembangunan ekonomi nasional.
Bila pernyataan-pernyataan semacam ini terus berulang, maka dapat menjadi indikasi bahwa pasar modal tidak berada dalam radar prioritas kebijakan ekonomi pemerintah.
Ini tentu bukan sinyal yang dikehendaki oleh pelaku usaha, investor domestik, apalagi asing.
Dampak Langsung dan Jangka Panjang terhadap Ekonomi
Penting untuk diingat bahwa pasar modal bukanlah semata ruang spekulasi.
Ia adalah infrastruktur penting yang menyediakan sumber pendanaan bagi perusahaan, baik melalui penawaran saham maupun obligasi.
Ketika kepercayaan terhadap pasar goyah, perusahaan akan kesulitan mencari dana ekspansi, dan efek dominonya akan terasa pada terhambatnya penciptaan lapangan kerja, stagnasi konsumsi, serta pertumbuhan ekonomi yang melemah.
Jika pemerintah dianggap tidak berpihak pada pasar, investor akan menilai risiko investasi di Indonesia lebih tinggi.
Mereka bisa mengalihkan dananya ke negara lain yang menawarkan kepastian dan stabilitas lebih kuat.
Jika pernyataan-pernyataan yang mereduksi fungsi pasar modal terus disuarakan oleh presiden atau pejabat tinggi lainnya, risiko sistemik terhadap sektor keuangan bisa meningkat.
Dalam jangka pendek, bisa terjadi aksi jual besar-besaran yang menyebabkan penurunan indeks saham.
Dalam jangka menengah dan panjang, persepsi negatif akan menyulitkan perusahaan untuk melakukan initial public offering (IPO), membuat investor institusi menahan dana, dan menurunkan rating persepsi negara oleh lembaga internasional.
Akibatnya, biaya utang negara dan swasta naik, dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat meningkat.
Strategi Komunikasi Yang Salah Lagi
Pemerintah seharusnya menyikapi gejolak di pasar modal dengan strategi komunikasi yang lebih bijak dan konstruktif.
Presiden sebagai kepala negara mesti memahami bahwa setiap pernyataannya memiliki dampak ekonomi yang nyata.
Oleh sebab itu, pesan publik perlu disampaikan secara hati-hati, dengan narasi yang memperkuat kepercayaan pasar dan mencerminkan komitmen terhadap stabilitas makroekonomi.
Pemerintah juga perlu membangun koordinasi lintas lembaga untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal, moneter, dan pasar keuangan saling mendukung, bukan justru saling membatalkan.
Edukasi, Proteksi, dan Inklusi Sebagai Jawaban
Selain itu, edukasi publik mengenai pasar modal harus diperluas agar masyarakat memahami perbedaan antara spekulasi dan investasi.
Literasi keuangan akan membangun ketahanan psikologis masyarakat terhadap volatilitas pasar dan mendorong perilaku investasi yang lebih rasional.
Di sisi lain, pemerintah juga harus menunjukkan keberpihakan terhadap investor ritel dengan memperkuat regulasi perlindungan investor, transparansi informasi, serta pengawasan terhadap praktik manipulatif di bursa.
Membangun Keseimbangan Antara Rakyat dan Pasar
Penting pula bagi pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan terhadap pertumbuhan jangka panjang.
Dukungan terhadap sektor strategis yang dapat menarik investasi jangka panjang—seperti energi hijau, teknologi, dan infrastruktur—harus dikedepankan.
Program insentif pajak, kemudahan emisi saham, dan kemudahan akses terhadap pasar modal harus dijadikan pilar penguatan daya saing nasional.
Pada akhirnya, pasar modal dan ketahanan pangan bukan dua entitas yang harus dipertentangkan.
Keduanya merupakan fondasi penting bagi kedaulatan ekonomi nasional.
Pemerintah seharusnya mengambil posisi sebagai penjaga keseimbangan antara keberpihakan kepada rakyat dan penciptaan iklim investasi yang sehat.
Komitmen terhadap rakyat tidak harus diwujudkan dengan meremehkan pasar modal, tetapi dengan menjadikan pasar sebagai alat untuk memperluas partisipasi ekonomi rakyat.
Saatnya Bijak Tidak Buat Dikotomi Rakyat vs Pasar
Masa depan Indonesia tidak bisa bertumpu pada narasi yang menciptakan dikotomi antara rakyat dan pasar.
Justru dengan membangun pasar modal yang kuat dan inklusif, pemerintah dapat mewujudkan demokratisasi ekonomi yang sejati.
Oleh karena itu, Presiden perlu menata ulang pendekatan komunikasinya terhadap isu ekonomi.
Dalam dunia yang saling terhubung dan berorientasi pada kepercayaan, retorika politik yang tidak cermat bisa menjadi penghalang utama dalam pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang.