Membangkitkan Energi Ekonomi Lewat Lintasan Balap

Image 3
Ilustrasi Formula E

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

PENYELENGGARAAN ajang otomotif internasional seperti Formula E di Jakarta sejatinya bukan sekadar atraksi hiburan semata, melainkan katalisator ekonomi lokal dan nasional.

Dengan mengusung konsep balap mobil listrik yang ramah lingkungan, event ini memadukan inovasi teknologi, pariwisata, dan investasi—menawarkan peluang lapangan kerja, pendapatan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta peningkatan citra kota di mata dunia.

Namun, di tengah kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, mekanisme pendanaan harus dirancang cermat agar beban fiskal daerah atau pusat tidak terbebani.

Prinsip utama adalah meminimalkan penggunaan dana publik, menjadikan aspek B-to-B (business to business) sebagai tulang punggung pembiayaan, sehingga manfaat ekonomi bisa maksimal tanpa mengancam keberlanjutan keuangan pemerintah.

Dampak Ekonomi Langsung

Setiap putaran ban yang meluncur di lintasan menyisakan jejak belanja modal dan operasional signifikan.

Pembangunan dan pemeliharaan sirkuit menuntut pengadaan material, jasa konstruksi, hingga teknologi olahraga bermesin listrik.

Belanja-penyelenggara dari panitia, tim teknis, serta kewajiban kontraktual kepada penyedia layanan lokal memicu transaksi ekonomi riil.

Dari penyewaan alat berat hingga penyediaan katering, efek domino menciptakan permintaan tenaga kerja sementara—mulai sopir truk, teknisi listrik, hingga tenaga kebersihan.

Dampak ekonomi langsung ini, bila dikelola transparan via skema kerja sama B-to-B, mampu menyerap anggaran ratusan miliar rupiah tanpa mengandalkan APBD, melainkan melalui kontrak komersial dengan korporasi global.

Stimulus Pariwisata dan Branding Kota

Balap mobil internasional menghadirkan wisatawan asing dan domestik dalam jumlah besar.

Penginapan, restoran, transportasi, serta destinasi wisata sekitar sirkuit menjadi pasar baru dalam sekejap.

Dalam satu helatan Formula E, tercatat puluhan ribu pengunjung menyaksikan balapan secara langsung—mendorong hunian hotel hampir penuh di kawasan Ancol dan sekitarnya.

Selain perputaran uang, liputan media internasional memperkuat branding Jakarta sebagai kota kelas dunia yang progresif energi bersih.

Efek jangka panjangnya adalah peningkatan kunjungan wisatawan pasca-event, di mana destinasi lain pun menikmati spillover attention.

Dengan skema sponsorship dan kemitraan komersial, biaya promosi dan hospitality dapat ditanggung pihak swasta, meminimalkan beban pemerintah daerah.

Penguatan Ekosistem Industri dan UMKM

Pada level hulu, kebutuhan suku cadang kendaraan listrik, sistem telemetri, dan perangkat keselamatan memacu tumbuhnya sektor manufaktur komponen.

Di hilir, pelaku UMKM lokal mendapatkan ruang untuk berinovasi: mulai merchandising bertema balap, food truck di fan zone, hingga suvenir khas Jakarta E-Prix.

Sinergi dengan asosiasi UMKM dan pelatihan teknis dapat meningkatkan kualitas produk, sehingga siap menembus rantai pasok event internasional lain.

Dengan struktur B-to-B, perjanjian pasokan antara panitia dan kelompok usaha lokal memastikan transaksi bisnis berlangsung profesional, dan pembayaran tepat waktu tanpa meminjam dana APBD.

Akselerasi Inovasi Teknologi dan Transisi Energi

Event balap listrik menegaskan komitmen menuju ekonomi rendah karbon.

Pengenalan Gen3 Evo serta spotlight pada charging infrastructure menstimulasi riset dan investasi pada baterai, motor listrik, dan software manajemen energi.

Kemitraan antara pemerintah daerah, universitas, dan korporasi otomotif dapat menelurkan center of excellence, mempercepat adopsi EV di jalanan Jakarta.

Dengan model pendanaan berbasis kolaborasi riset (public–private partnership) dan hibah riset dari perusahaan otomotif global, beban anggaran pemerintah relatif minim.

Branding Jakarta sebagai hub teknologi bersih memancing transfer knowledge ke sektor lain, seperti transportasi publik, logistik, dan energi terbarukan.

Tantangan Keuangan dan Daya Beli Masyarakat

Meski keuntungan ekonomi berlapis, pemerintah harus waspada terhadap tekanan fiskal.

Pasca pandemi, daya beli rumah tangga masih labil, dan kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, serta kesehatan menjadi prioritas.

Menggunakan dana publik untuk membiayai event otomotif internasional—apalagi di kala tren inflasi dan defisit anggaran mengintai—akan memicu kritik dan mereduksi ruang fiskal bagi subsidi sosial.

Oleh karena itu, penting bagi setiap pemerintah provinsi atau kabupaten yang menyelenggarakan untuk menjaga rasio utang terhadap pendapatan asli daerah (PAD) di ambang aman, serta menghindari skema front-loading yang menyedot kas daerah sebelum penerimaan pajak tahunan terkonfirmasi.

Model Pembiayaan Berkelanjutan Tanpa Dana Publik

Solusi terbaik terletak pada mekanisme B-to-B: sponsorship korporasi, naming rights, hospitality packages, hospitality suites, dan penjualan hak siar televisi maupun digital.

Selain itu, penerbitan obligasi proyek (project bond) yang ditawarkan kepada investor institusi bisa menjadi pilihan, dengan imbal hasil yang menarik berpatokan pada proyeksi pendapatan dari tiket dan sponsorship.

Kerja sama dengan lembaga keuangan syariah atau ESG (environmental, social, governance) financing dapat mengkomoditaskan aspek keberlanjutan dan inklusivitas, sehingga event ini tidak hanya diukur dari sisi keuangan, tapi juga dampak sosial-lingkungan.

Dengan begitu, intervensi APBD hanya terbatas pada pemberian kemudahan perizinan dan fasilitas publik ringan—bukan alokasi dana langsung.

Menjaga Sinergi Positif

Ajang balap mobil internasional seperti Formula E sejatinya membuka lembar baru bagi perekonomian Jakarta dan Indonesia.

Lewat dampak ekonomi langsung, perluasan pariwisata, penguatan industri lokal, dan akselerasi teknologi bersih, event ini memancarkan sinyal positif bagi pertumbuhan.

Namun, di tengah keterbatasan keuangan publik dan tantangan daya beli masyarakat, penyelenggaraan mustahil mengandalkan APBD.

Pengelolaan yang efektif melalui skema B-to-B, kolaborasi riset, serta inovasi pembiayaan adalah kunci agar manfaat ekonomi terwujud tanpa membebani kas negara atau provinsi.

Dengan komitmen bersama antara pemerintah, korporasi, dan komunitas, lintasan balap bisa menjadi wahana transformatif—mengantarkan ekonomi yang dinamis, inklusif, dan berkelanjutan—tanpa menggerus fondasi keuangan publik yang rapuh.

Berita Terkait

Berita Lainnya