Oleh: Dr. Ramadhan Pohan, Pengamat Komunikasi Politik
ADA yang masih ingat dengan pesan utama dari Presiden Prabowo Subianto ketika masih dalam masa kampanye Pemilihan Presiden tahun 2024 kemarin?
“Oke Gas, Oke Gas, Nomor dua Torang Gas.”
“Gas” dekat dengan istilah kecepatan. Diksi “gas” bagi anak muda saat ini menjurus kepada keinginan untuk segera melaksanakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Agaknya, itu yang tercermin dari langkah-langkah Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan roda pemerintahan saat ini. Cepat dalam merumuskan kebijakan, cepat dalam mengambil langkah untuk implementasi kebijakan.
Coba lihat ketika Prabowo Subianto berkumpul dengan para ekonom di acara Sarasehan Ekonomi tanggal 8 April yang lalu. Para pelaku ekonomi, mulai dari praktisi hingga akademisi, dikumpulkan, mengemukakan usul, pendapat, dan saran terhadap kondisi ekonomi global akhir-akhir ini, termasuk mengenai tarif Impor 32% yang dikenakan oleh Presiden Amerika Serikat kepada Indonesia.
Setelah mendengarkan masukan dari para ekonom, Presiden Prabowo Subianto langsung mengeluarkan rencana penghapusan kuota impor kepada Menteri Perdagangan dan juga Menteri Pertanian. Instruksi langsung diberikan kepada Menteri Sekretaris Negara yang juga hadir di forum tersebut. Upaya tersebut dijelaskan sebagai deregulasi untuk membuka persaingan bisnis, sebagai respon terhadap tarif Impor Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Baik atau buruknya kebijakan tersebut, biarlah para ekonom yang menilainya. Dari sudut pandang komunikasi, aspek yang bisa dilihat adalah cara Presiden merumuskan lalu menyampaikan kebijakannya. Apalagi akhir-akhir ini, banyak sorotan terhadap cara pejabat negara melakukan penyampaian pesan kepada publik alias komunikasi publik. Presiden Prabowo Subianto sendiri mengakui bahwa ada kekuranngan dari jajaran staffnya dalam berkomunikasi dengan Masyarakat. Ketidakcakapan dalam berkomunikasi public tentu akan mengundang reaksi negative dari masyarakat.
Dalam konteks ekonomi, sebelum diadakan acara sarasehan ini, masyarakat memiliki opini yang tidak terlalu baik terhadap pemerintahan. Pemerintah dinilai pasif terhadap merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan juga tidak stabilnya nilai IHSG. Acara ini seakan menjadi panggung bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka tidak diam. Lewat sarasehan ini, Presiden beserta para menterinya seakan turun langsung untuk mencari solusi dari kondisi yang dikeluhkan masyarakat. Lihat saja hasilnya, langsung ada wacana untuk penghapusan kuota impor sebagai respon.
Charles E. Lindblom dalam artikelnya yang berjudul "The Science of Muddling Through" (1959) menjelaskan bahwa sebetulnya pembuat kebijakan publik tidak memiliki waktu yang lama dalam merumuskan sebuah kebijakan. Pendekatan rasional-komprehensif dalam perumusan kebijakan yang ideal membuang waktu dan pembuat kebijakan tidak memiliki waktu yang cukup untuk merespon sebuah keadaan genting.
Namun, tidak serta merta sebuah kebijakan harus dirumuskan dalam waktu hanya tiga jam lebih saja. Pembahasan yang lebih komprehensif jelas diperlukan. Jika melirik ke belakang, dalam beberapa tahun terakhir, banyak kebijakan-kebijakan yang sifatnya dirumuskan begitu cepat, cenderung tergesa-gesa. Contoh yang paling dekat, kebijakan larangan penjualan gas elpiji 3 kg oleh Kementerian ESDM. Mari kita ingat, berapa lama kebijakan itu bertahan?
Beberapa keputusan yang diambil dalam sarasehan ekonomi tersebut seakan merupakan bukti bahwa Presiden Prabowo Subianto seakan tetap konsisten dalam tagline kampanyenya. Semuanya diakukan dengan cepat, menginjak pedal gas untuk memacu kecepatan.
Pemerintah seakan melupakan Everett M. Rogers yang telah mengemukakan Teori Difusi Inovasi. Sebuah perubahan membutuhkan waktu untuk diimplementasikan dalam sebuah insitusi sosial. Tidak serta merta sebuah kebijakan yang diharapkan menghasilkan perubahan, dapat berjalan dengan lancar. Pasti ada resistensi, pasti ada gelombang protes. Perlu ada penyesuaian dalam implementasi sebuah keibijakan.
Satu hal lagi, lakon yang ingin dimainkan Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya dalam sarasehan tersebut adalah kebutuhan mereka dengan akademisi. Kita tentu sudah menyimak efisiensi anggaran yang dijalankan oleh Presiden Prabowo Subianto. Salah satu pos anggaran yang banyak dihapuskan adalah kajian. Penghapusan kajian akademik dari sebuah kebijakan berarti mengurangi keterlibatan dan peran akademisi dalam perumusan ataupun implementasi sebuah kebijakan.
Bukan rahasia umum lagi, acara kajian, FGD, ataupun diskusi yang melibatkan forum akademisi sering menjadi cara untuk melakukan penyerapan anggaran. Terkadang, output-nya jadi tidak maksimal. Pelaksanannya memang harus ditinjau lagi, bukan malah dihilangkan seluruhnya.
Acara kemarin seakan menjadi antithesis. Anggaran kajian strategis dan diskusi panel di jajaran Kementerian dan Pemerintah Daerah dihapuskan. Namun Presiden sebagai pucuk pimpinan malah melakukan kajian dan forum diskusi yang mengundang sejumlah ahli ekonomi.
Apakah presiden ingin menjawab kritik akademisi dan sejumlah pakar terhadap pihak pemerintah yang diam saja ketika kondisi ekonomi dunia sedang tidak stabil? Apakah presiden memang membutuhkan pendapat para pakar untuk menyelesaikan masalah karena dari deretan menterinya tidak ada yang bisa memberikan solusi dan masukan yang solutif?
Hanya waktu yang bisa menjawab.