Jakarta, MNID. Kejaksaan Agung tidak memiliki kewenangan untuk menilai suatu karya jurnalistik. Karena itu, semestinya kasus pemberitaan JAKTV yang dikaitkan dengan sejumlah kasus korupsi harusnya diadukan terlebih dahulu ke Dewan Pers.
Dewan Pers lah yang akan memberikan penilaian, apakah pemberitaan yang dipersoalkan Kejagung itu masih dalam koridor jurnalistik atau tidak.
Demikian antara lain disampaikan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, merespons penangkapan Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, yang dituduh Kejagung menyebarkan narasi negatif mengenai Kejagung atas pesanan pihak lain.
Menurut Hendry, kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik pers, bukan langsung ditrangkap atau dikriminalisasi.
“Seberapa parah pun isinya, kalau dianggap beritikad buruk, ya diberi hak jawab atau diminta minta maaf. Jika perlu, bisa dimintakan penilaian ke Dewan Pers. Bukan langsung ditangkap,” kata Hendry, Selasa, 22 April 2025. Hendry pernah duduk sebagai Anggota Dewan Pers 2016-2019 dan Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022.
“Penilaian terhadap berita, apakah itu negatif, beritikad buruk, atau partisan, ada di tangan Dewan Pers. Bukan lembaga lain,” tegas Hendry.
Kejagung menyebut Tian Bahtiar menerima bayaran sebesar Rp478 juta untuk menyebarkan opini yang dinilai menyudutkan Kejagung terkait tiga perkara besar: korupsi timah, ekspor CPO, dan importasi gula.
Di sisi lain, Hendry juga mengingatkan bahwa antara Dewan Pers dan Polri, telah ada Nota Kesepahaman (MoU) bahkan diperkuat dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS), yang menyepakati bahwa Dewan Pers harus terlebih dahulu dimintai pendapat jika ada pihak yang ingin mempidanakan karya jurnalistik.
“MoU dan PKS ini mengikat semua pihak. Kejaksaan Agung seharusnya menghormatinya, bukan langsung menahan wartawan tanpa melibatkan Dewan Pers,” ujar Hendry.
Terkait tuduhan adanya bayaran yang masuk ke rekening pribadi Tian Bahtiar, Hendry menyatakan bahwa hal itu seharusnya terlebih dahulu diklarifikasi kepada manajemen media tempatnya bekerja. Jika terbukti menyimpang, maka sanksi administratif bisa dijatuhkan oleh atasannya, misalnya berupa skorsing.
“Kalau berita dianggap obstruction of justice, itu penilaian yang keliru. Pers punya hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Kalau pun ada itikad buruk, harus dibuktikan melalui mekanisme etik, bukan langsung diproses pidana,” jelasnya.
Hendry menegaskan bahwa jika pendekatan semacam ini terus dilakukan, akan ada risiko kriminalisasi terhadap pers. “Lama-lama kejaksaan bisa baca berita satu per satu, lalu menyimpulkan sendiri dan menjadikan wartawan tersangka,” ujarnya.
Hendry berharap Kejaksaan Agung bersikap bijak. “PWI Pusat berharap Kejaksaan Agung menghargai UU Pers, yang seperti disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung ke PWI, merupakan bagian penting dari demokrasi yang kita anut,” tutup Hendry.