Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
KETEGANGAN dalam hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia kembali mengemuka setelah laporan tahunan USTR (United States Trade Representative) menyoroti sejumlah kebijakan Indonesia yang dianggap sebagai hambatan non-tarif (Non-Tariff Barriers/NTBs) terhadap produk dan layanan asal AS.
Tuduhan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang posisi Indonesia dalam sistem perdagangan global serta urgensi untuk memperkuat diplomasi ekonomi dengan tetap menjunjung kepentingan nasional.
Dalam konteks ini, perlu analisis yang tidak hanya deskriptif, tetapi juga argumentatif dan berbasis pada data serta kepentingan rakyat Indonesia.
Mana Tuduhan yang Masuk Akal dan Mana Tuduhan Kurang Relevan
Beberapa tuduhan yang diajukan USTR dapat dinilai masuk akal dalam konteks perdagangan internasional yang mengedepankan prinsip kesetaraan dan keterbukaan.
Rumitnya Sertifikasi Halal
Misalnya, keluhan terkait sertifikasi halal yang dianggap terlalu rumit, mahal, dan tidak transparan memang bisa menjadi kendala riil bagi eksportir asing.
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tentu memiliki urgensi untuk mengatur kehalalan produk yang beredar di pasaran.
Namun, jika birokrasi sertifikasi halal tidak disederhanakan dan tidak transparan, ini bisa berdampak buruk terhadap iklim investasi dan perdagangan.
Apalagi bila proses ini dikelola secara eksklusif oleh institusi tertentu yang tidak menjalankan prinsip pelayanan publik yang efisien dan bebas konflik kepentingan.
Menjamurnya Barang KW
Demikian pula tudingan mengenai pembiaran terhadap peredaran barang KW (barang tiruan atau bajakan), tidak bisa semata-mata ditampik.
Ini menyangkut penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual yang seharusnya menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional.
Ketidakmampuan menindak tegas peredaran barang palsu akan mencederai reputasi Indonesia sebagai negara tujuan investasi sekaligus membuka celah persaingan tidak sehat yang merugikan pelaku usaha lokal maupun asing.
Namun demikian, tidak semua tuduhan USTR dapat diterima begitu saja.
QRIS dan GPN Persoalan Inklusivitas Bukan Bisnis Semata
Kritik terhadap kebijakan sistem pembayaran nasional seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) lebih mencerminkan keresahan atas kemandirian digital yang sedang dibangun Indonesia.
QRIS dan GPN dirancang bukan untuk mendiskriminasi pelaku asing, melainkan sebagai bagian dari strategi nasional untuk memperkuat infrastruktur ekonomi digital domestik dan mengurangi ketergantungan terhadap sistem pembayaran asing.
Ini adalah bentuk modern dari substitusi impor dalam ranah layanan finansial, yang sah secara prinsip dalam ekonomi pembangunan.
AS sebagai kekuatan ekonomi global tentu merasa terganggu oleh upaya negara-negara berkembang yang mencoba mengembangkan kedaulatan ekonomi digitalnya.
Dalam hal ini, tudingan terhadap QRIS dan GPN bisa dilihat sebagai bentuk tekanan agar Indonesia tetap membuka sektor strategisnya terhadap dominasi korporasi global, terutama yang berbasis di AS.
Oleh karena itu, Indonesia perlu menegaskan bahwa kedaulatan digital adalah bagian dari hak setiap negara, selama tetap mengacu pada prinsip non-diskriminatif dan proporsional.
Strategi Negosiasi: Kedaulatan Nasional di Garis Depan
Dalam merespons tuduhan ini, Indonesia harus menerapkan strategi negosiasi yang berbasis pada tiga prinsip utama: memprioritaskan kepentingan nasional, menjunjung transparansi, dan memastikan tim negosiasi bebas dari konflik kepentingan.
Kepentingan nasional bukanlah slogan kosong, tetapi landasan dari semua kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
Pemerintah harus menimbang mana saja kebijakan yang bisa dikompromikan demi membuka akses ekspor, dan mana yang merupakan pilar kedaulatan ekonomi dan tidak bisa ditawar.
Dalam kasus sertifikasi halal, misalnya, reformasi bisa dilakukan pada sisi prosedural dan efisiensi layanan, tetapi tidak pada substansi kehalalan itu sendiri.
Sementara dalam isu QRIS dan GPN, Indonesia harus konsisten mempertahankan kontrol domestik terhadap sistem pembayaran sebagai bentuk pertahanan ekonomi nasional.
Prinsip transparansi sangat penting agar proses negosiasi tidak dibajak oleh kepentingan elite tertentu atau tekanan politik jangka pendek.
Rakyat Indonesia, pelaku usaha, dan akademisi berhak mengetahui arah dan konten negosiasi dagang yang sedang berjalan.
Proses yang tertutup hanya akan melahirkan kecurigaan dan delegitimasi publik terhadap hasil akhir yang mungkin menguntungkan sebagian kecil elit tetapi merugikan kepentingan nasional secara luas.
Aspek ketiga, yakni bebas dari konflik kepentingan, menjadi ujian tersendiri.
Tim negosiator Indonesia harus terdiri dari individu yang kredibel, profesional, dan tidak memiliki afiliasi dengan korporasi atau kelompok usaha yang akan diuntungkan langsung dari hasil negosiasi. Integritas individu dalam tim negosiasi menjadi benteng terakhir dari politik dagang yang pro rakyat dan berpihak pada pembangunan berkelanjutan.
Diplomasi Ekonomi dan Arah Baru Kerja Sama ASEAN
Indonesia perlu melihat konflik dagang ini tidak semata sebagai tantangan, tetapi juga peluang untuk memperkuat diplomasi ekonomi regional, khususnya melalui kerja sama ASEAN yang lebih bermakna dan berkesan.
Dalam konteks ekspor sawit dan tambang, Indonesia bisa menggandeng Malaysia untuk menyatukan suara di berbagai forum internasional.
Selama ini, kampanye negatif terhadap sawit datang dari Barat dengan alasan lingkungan, namun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan proteksi industri minyak nabati mereka.
Koalisi regional bisa menjadi kekuatan tanding yang efektif, baik dalam memperluas pasar ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia Selatan, maupun dalam membentuk narasi alternatif terhadap standar dagang Barat yang sering kali bias dan manipulatif.
ASEAN sebagai kawasan dengan populasi besar dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, memiliki potensi untuk membentuk arsitektur perdagangan yang lebih adil dan inklusif.
Lebih jauh, Indonesia juga harus mendorong diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada AS, Uni Eropa, atau Tiongkok.
Negara-negara Asia Selatan, Afrika, hingga Amerika Latin bisa menjadi mitra strategis dalam jangka panjang. Dalam diplomasi perdagangan, daya tawar akan semakin kuat jika Indonesia tidak berada dalam posisi ketergantungan, melainkan sebagai mitra yang sejajar dan diperhitungkan.
Menyusun Ulang Strategi Nasional dalam Sistem Perdagangan Global
Tuduhan USTR terhadap Indonesia soal hambatan non-tarif menyoroti dilema klasik negara berkembang dalam menghadapi tekanan dari negara maju.
Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga keterbukaan ekonomi demi pertumbuhan, tetapi di sisi lain, ada kebutuhan untuk menjaga kedaulatan dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Tidak semua tuduhan USTR berdasar dan sahih, namun juga tidak semuanya bisa diabaikan begitu saja.
Indonesia harus melakukan refleksi kebijakan secara jujur: memperbaiki regulasi yang berbelit, memberantas barang palsu, dan membuka dialog dengan mitra dagang secara terbuka.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga harus mempertahankan haknya untuk mengembangkan sistem domestik yang mandiri dan tangguh, termasuk dalam sektor keuangan digital dan sertifikasi berbasis nilai lokal.
Negosiasi dagang bukanlah sekadar pertukaran tarif dan kuota, tetapi arena politik yang menentukan arah pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, posisi Indonesia harus tegas: kepentingan nasional adalah yang utama, dan strategi negosiasi harus dijalankan secara transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Hanya dengan pendekatan inilah Indonesia bisa berdiri tegak di tengah pusaran sistem perdagangan global yang penuh tarik ulur kepentingan.