Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
SEJAK pengumuman rencana pemberlakuan tarif reciprocal hingga 32 % pada ekspor Indonesia oleh Amerika Serikat, pemerintah menghadapi ujian berat dalam menjaga akses pasar bagi produk-produk padat karya.
Penundaan penerapan tarif selama 90 hari memberikan ruang negosiasi, tetapi bukan jaminan bahwa tekanan perdagangan akan mereda secara substansial.
Di satu sisi, peningkatan impor dari AS sebagai konsesi negosiasi adalah strategi jangka pendek yang wajar untuk meredam ketegangan.
Namun di sisi lain kebijakan ini berpotensi menambah beban pada neraca perdagangan dan menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan subsidi ekonomi makro.
Sebagai negara berkembang dengan pilihan instrumen fiskal yang semakin terbatas.
Indonesia dituntut cermat dalam merancang respons kebijakan yang tidak memperlebar celah defisit anggaran.
Urgensi Insentif bagi Industri Padat Karya
Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menempati posisi strategis dalam penyerapan tenaga kerja manufaktur, dengan kontribusi ekspor sebesar US$ 11,96 miliar atau 6,08 % dari total ekspor industri manufaktur nasional pada 2024, sekaligus menyumbang peningkatan neraca perdagangan sektor hingga 20,99 % tahun tersebut.
Tekanan impor pakaian jadi, yang kerap memanfaatkan celah transshipment, semakin menambah urgensi untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha TPT.
Insentif tidak semata-mata hadir sebagai bentuk proteksi semata, melainkan langkah untuk mempertahankan kemampuan industri dalam menyerap tenaga kerja, menjaga rantai pasok dalam negeri, dan menghindarkan pekerja padat karya dari gelombang pemutusan hubungan kerja.
Batasan Fiskal: Kenyataan APBN 2025
Indonesia memasuki tahun anggaran 2025 dengan defisit yang telah dirancang sebesar Rp 616,19 triliun atau 2,53 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sampai akhir kuartal pertama 2025, realisasi pendapatan negara hanya mencapai 10,5% dari target, dengan kontraksi lebih dari 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (APBN KITA Maret 2025).
Angka-angka ini menegaskan bahwa ruang fiskal Indonesia relatif sempit, terutama jika pemerintah hendak memperluas belanja untuk menambal dampak tarif AS dan sekaligus membiayai prioritas pembangunan lain.
Sumber daya penerimaan pajak hingga Maret masih mengalami kontraksi, sehingga setiap tambahan subsidi atau insentif harus diperhitungkan secara matang agar tidak mendorong defisit melewati ambang batas konstitusional maupun menimbulkan tekanan pada penerbitan surat utang negara.
Merancang Insentif untuk Industri Domestik
Menimbang keterbatasan ruang fiskal, skema insentif bagi industri TPT perlu dirancang secara terarah, tepat sasaran, dan bersifat temporer.
Subsidi bunga pembiayaan, misalnya, dapat dialokasikan secara selektif kepada perusahaan yang mampu menunjukkan peningkatan produktivitas dan ekspor.
Fasilitasi pembiayaan ini harus diiringi pelatihan SDM berbasis kompetensi industri 4.0, agar manfaatnya tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi mendorong transformasi rantai pasok dalam negeri.
Perlindungan non-tarif, seperti pengetatan penerbitan Certificate of Origin, juga penting namun lebih murah secara fiskal dibandingkan subsidi langsung.
Dengan demikian, beban APBN dapat terjaga, sementara industri tetap memperoleh ruang untuk bernafas dan berinvestasi dalam meningkatkan daya saing.
Penyeimbangan antara Kesejahteraan Pekerja dan Ketahanan Fiskal
Di satu pihak, pemerintah berkewajiban melindungi pekerja padat karya dari gejolak perdagangan internasional; di pihak lain, kesehatan fiskal nasional merupakan pondasi keberlanjutan intervensi kebijakan.
Oleh karena itu, insentif tidak boleh dilepaskan dari konteks kemampuan pembayaran jangka panjang.
Mendorong diversifikasi ekspor dan hilirisasi bahan baku lokal mampu mengurangi ketergantungan pada impor serta menciptakan peluang pendapatan baru bagi negara melalui penerimaan pajak dan devisa.
Insentif fiskal yang berlebih tanpa didukung oleh perbaikan struktural bisa menimbulkan beban bunga yang lebih tinggi dan mempersempit ruang anggaran bagi sektor sosial dan infrastruktur.
Disiplin Fiskal sebagai Kunci Keberhasilan Insentif
Dalam menyikapi tarif reciprocal AS dan kondisi global yang penuh ketidakpastian, strategi pemberian insentif kepada sektor TPT harus dipadukan dengan disiplin fiskal.
Artinya, setiap rupiah subsidi atau kemudahan fiskal hanya akan dialokasikan jika terdapat jaminan peningkatan kinerja dan dampak luas bagi perekonomian.
Kebijakan ini menuntut pengawasan ketat, evaluasi berkala, serta koordinasi lintas kementerian—dengan prinsip utama bahwa insentif harus disesuaikan dengan kemampuan fiskal negara.
Dengan mengedepankan efisiensi anggaran, terobosan regulasi, dan pendalaman pasar ekspor, Indonesia dapat meneguhkan pertumbuhan industri padat karya tanpa mengorbankan stabilitas fiskal jangka panjang.