Sowan Lebaran Eks Menteri Jokowi, Silaturahmi atau Manuver Politik?

Image 3
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kanan) dan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji, berkunjung ke kediaman Jokowi di Jalan Kutai Utara, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Selasa, 8 April 2025./Kompas

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

SEDERET menteri berkunjung ke kediaman Jokowi di Solo dalam suasana lebaran mungkin tampak wajar di permukaan. Tapi di balik gestur silaturahmi itu, publik yang jeli membaca peta kekuasaan bisa merasakan aroma manuver politik tingkat tinggi. Apalagi kunjungan itu berlangsung ketika Presiden terpilih Prabowo Subianto sedang di luar negeri, dan situasi politik nasional sedang memanas oleh gelombang penolakan terhadap RUU TNI.

Pertanyaannya: benarkah ini sekadar reuni Lebaran? Atau justru bagian dari skenario untuk menyiapkan Gibran menggantikan Prabowo, bahkan lewat jalan pintas konstitusi?

Trio Pengerah Massa dan Trio Penyedia Logistik

Said Didu dengan tajam menyebut istilah “Trio Pengerah Massa” dan “Trio Penyedia Logistik” untuk merujuk dua kelompok kunci yang berkunjung ke Jokowi:

Trio Pengerah Massa terdiri atas tokoh-tokoh yang selama ini punya basis mobilisasi rakyat—baik dari ormas, relawan, hingga pemengaruh media. Versi Said Didu mereka itu Luhut Binsar Panjaitan, Budi Arie Setiadi dan Pratikno. Diduga

Trio Penyedia Logistik: Mengacu pada elite yang punya kendali terhadap sumber daya, baik finansial maupun jaringan kekuasaan. Said Didu bilang, mereka adalah Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, dan Sakti Wahyu Trenggono.

Kehadiran mereka ke Solo dalam waktu berdekatan menarik dikulik. Apalagi disusul pernyataan-pernyataan yang seolah memberi “restu politik” kepada Jokowi. Artinya, ada barisan yang masih solid di bawah komando mantan presiden. Ini bukan sekadar nostalgia kekuasaan. Tapi deklarasi diam-diam, bahwa Jokowi belum “pensiun". Bahkan bisa jadi, masih ingin mengendalikan siapa yang sesungguhnya berkuasa.

Gerakan Politik Dimainkan di Dalam Negeri Saat Presiden di Luar Negeri

Yang membuat ini makin dramatis adalah timing-nya. Prabowo sedang ke luar negeri. Di dalam negeri, isu RUU TNI memicu reaksi keras dari publik, mahasiswa, aktivis, hingga purnawirawan. Serangkaian aksi penolakan bermunculan, dan tagar seperti #LawanPrabowo hingga #TurunkanPrabowo pun menggema di media sosial.

Uniknya, tagar-tagar itu muncul bersamaan dengan narasi-narasi yang justru memoles citra Jokowi dan Gibran sebagai “penyeimbang” atau “pelindung demokrasi.” Di sini publik patut bertanya: siapa yang mengorkestrasi gerakan ini? Apakah ini murni reaksi rakyat, atau ada dalang yang memainkan opini untuk menggerus legitimasi Prabowo sejak dini?

Di atas kertas, Gibran hanyalah wakil presiden terpilih. Tapi semua tahu, ia perpanjangan tangan politik Jokowi. Ketika loyalis Jokowi—baik di kabinet maupun partai—lebih sering menghadap ke Jokowi ketimbang Prabowo, ini menunjukkan bahwa yang mereka anggap sebagai “matahari” masih di tangan Jokowi.

Luhut Binsar Pandjaitan, Budi Arie Setiadi, dan sederet tokoh lainnya, meski masih dalam kabinet, lebih sering terlihat menjaga orbit Jokowi ketimbang menunjukkan loyalitas ke Prabowo. Jika ini dibiarkan, maka “matahari kembar” bukan hanya wacana, tapi akan menjadi kenyataan yang menggoyang stabilitas pemerintahan.

Skenario Lengserkan Prabowo: Benarkah?

Apakah realistis menggulingkan Prabowo?Secara konstitusi, jika Prabowo berhalangan tetap, maka Gibran otomatis naik jadi Presiden. Tapi jika lewat jalan politik—seperti pemakzulan—dibutuhkan konsensus elite dan krisis politik besar.

Namun tetap saja, pelan-pelan legitimasi Prabowo bisa dikikis. Caramya, bisa lewat tekanan massa, pembusukan opini, sabotase internal, hingga pengondisian publik bahwa “Jokowi-Gibran lebih stabil.” Jika ini berhasil, bukan tidak mungkin kekuasaan berpindah bukan karena hukum, tapi karena opini dan tekanan sosial yang diproduksi secara sistematis.

Apa yang kita lihat hari-hari ini bukan sekadar Lebaran politik. Ini bisa menjadi manuver kudeta sipil terselubung. Serunya lagi, skenario ini dijalankan dengan senyuman dan pelukan, bukan tank dan senjata.

Jika Prabowo gagal mengonsolidasikan kekuasaannya, gagal menertibkan loyalitas kabinet, dan gagal membungkam pengaruh “matahari lama”, maka bukan tidak mungkin Gibran akan mengambil alih. Bukan sebagai cermin regenerasi, tapi sebagai simbol kemenangan oligarki atas suara rakyat.

Apakah Prabowo tahu manuver Jokowi dan gerombolannya ini? Sangat mungkin dia tahu. Tapi, apakah Prabowo mau ambil tindakan dengan tepat dan cepat? Nah, ini yang masih misteri.

Dalam lima bulan lebih kekuasaannya, Prabowo sepertinya tetap menunjukkan sikap hormat dan terima kasih kepada Jolowi. Teriakan "hidup Jokowi" saat kemarahan rakyat kepasa Jokowi nyaris merata dibanyak daerah, cukup menggambarkan apa yang terjadi.

Pertanyaannya, mau sampai kapan Prabowo begitu. Ini bukan cuma soal kemungkinan digulingkannya Prabowo dari kekuasaan. Ini soal masa depan bangsa jika (sekali lagi: jika) Jokowi sukses dengan rencana busuk dan jahatnya.

Na'udzu billahi min dzalik! Aamiin...

Berita Terkait

Berita Lainnya