Persahabatan Sejarah Dua Bangsa Revolusioner: Kunjungan Kenegaraan Kim Il Sung ke Indonesia (1965)

Image 3

Oleh: Darwin Iskandar, Badan Sejarah Indonesia DPP PDI Perjuangan

TAHUN 1965 merupakan momen bersejarah yang menandai semakin eratnya hubungan antara dua bangsa revolusioner dari belahan dunia yang berbeda: Indonesia dan Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara). Di tengah ketegangan Perang Dingin yang terus memanas, Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno, dan Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il Sung, saling mempererat hubungan mereka dengan semangat anti-imperialisme dan perjuangan untuk kemerdekaan sejati.

Pada bulan April 1965, Presiden Sukarno mengundang Kim Il Sung untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Kunjungan ini bukan sekadar sebuah pertemuan diplomatik biasa, melainkan sebuah simbol kuat dari perjuangan bersama bangsa-bangsa tertindas dalam melawan dominasi global. Kedatangan Kim Il Sung pada 10 April 1965 di Bandara Kemayoran, Jakarta, disambut dengan antusias oleh ribuan warga Indonesia. Presiden Sukarno menyambutnya secara pribadi dan menyampaikan pidato bersemangat di hadapan rakyat Indonesia, mengatakan, "Kami menyambut sahabat kami, pemimpin dari rakyat Korea yang pemberani. Kita adalah bangsa-bangsa baru yang sedang berjuang membangun dunia baru yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme."

Kim Il Sung membalas sambutan tersebut dengan penuh semangat revolusioner, menyatakan bahwa dirinya datang bukan sebagai tamu asing, tetapi sebagai saudara dalam perjuangan. "Persatuan antara rakyat Korea dan Indonesia adalah kekuatan yang tak tertandingi oleh imperialisme manapun," ujarnya. Kunjungan ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan persahabatan yang dibangun atas dasar perjuangan bersama untuk kemerdekaan dan anti-imperialisme.

Keesokan harinya, Kim Il Sung dan Sukarno berangkat menuju Bandung, kota yang memiliki sejarah penting sebagai saksi pertemuan Asia-Afrika pada 1955. Di Bandung, lebih dari 100.000 orang memadati jalanan untuk memberikan dukungan kepada kedua pemimpin revolusioner tersebut. Dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Presiden Sukarno memberikan penghormatan kepada rakyat Korea atas kemampuan mereka membangun negara sosialis yang mandiri. Presiden Sukarno menyatakan, "Saudara Kim Il Sung telah membuktikan bahwa bangsa Asia bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa harus tunduk pada kekuatan asing."

Pada 13 April 1965, di Istana Bogor, lima ribu pelajar dan pemuda Indonesia mengadakan rapat umum untuk menyambut kedatangan Kim Il Sung. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Sukarno mengajak pemuda Indonesia untuk meneladani semangat garuda yang berani terbang tinggi, simbol dari bangsa Indonesia. Ia juga menyebutkan semangat "Kuda Cheollima" yang melambangkan semangat revolusioner rakyat Korea yang cepat dan tak kenal lelah dalam perjuangan.

Kim Il Sung menyampaikan harapannya agar para pelajar Indonesia dapat mewarisi semangat revolusioner Bung Karno. Sebagai bentuk penghargaan, Presiden Sukarno menganugerahkan Bintang Republik Indonesia Kelas Satu kepada Kim Il Sung. Selain itu, Universitas Indonesia memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il Sung di bidang Teknik. Dalam pidatonya, Kim Il Sung menekankan pentingnya prinsip Juche, yaitu kemandirian dalam membangun teknologi dan ekonomi nasional. "Negara-negara Asia dan Afrika tidak akan pernah benar-benar merdeka jika terus bergantung pada bantuan dan teknologi dari negara imperialis. Hanya dengan berdikari, kita bisa menguasai masa depan kita sendiri," tegasnya.

Puncak dari kunjungan ini adalah penandatanganan Pernyataan Bersama pada 15 April 1965, yang mengecam agresi Amerika Serikat di Vietnam. Kedua pemimpin menegaskan seruan untuk penarikan pasukan Amerika Serikat dari Vietnam Selatan tanpa syarat. Kim Il Sung menyatakan dengan yakin, "Imperialisme Amerika tak akan bertahan lama. Rakyat Asia-Afrika dan Amerika Latin telah bangkit. Kemenangan adalah milik kita!"

Pada 17 April 1965 malam hari, Presiden Sukarno menggelar jamuan megah menyambut para pemimpin Asia-Afrika yang hadir memperingati satu dekade Konferensi Bandung. Hadir Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Chen Yi, Perdana Menteri Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Il-sung, Perdana Menteri Republik Demokratik Vietnam Pham Van Dong, Kepala Negara Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk, Wakil Presiden Republik Arab Bersatu Zakariya Mohieddin, Ketua Dewan Tertinggi Negara Sudan El Tigani El Mahi, Ketua Partai Front Patriotik Laos Pangeran Souphanouvong, Duta Khusus dari Dewan Pusat Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan Nguyen Văn Hieu, dan perwakilan dari Kalimantan Utara. Mereka disambut bukan hanya dengan makanan dan pidato, tetapi juga dengan pertunjukan seni yang menggugah semangat persatuan Asia-Afrika—lagu "Dong Fang Hong", "Lagu Jenderal Kim Il Sung", hingga "Bersatulah, Hancurkan Malaysia", menggema di ruangan.

Tanggal 18 April 1965, peringatan 10 tahun Konferensi Bandung digelar megah di Jakarta. Dalam pidatonya, Presiden Sukarno menegaskan bahwa kekuatan lama pasti akan kalah. Ia bicara tentang perjuangan rakyat kulit hitam Amerika, mengecam imperialisme di Vietnam dan Malaysia, dan menyerukan persatuan bangsa-bangsa Asia-Afrika. “Kami mencintai perdamaian, tetapi kami lebih mencintai kemerdekaan,” serunya.

Seluruh kota Jakarta menyatu dalam semangat itu. Di Stadion Bung Karno, pada 19 April 1965, ratusan ribu orang menghadiri rapat akbar. Spanduk-spanduk perjuangan berkibar. Lagu perjuangan dikumandangkan oleh paduan suara sepuluh ribu pemuda. Presiden Sukarno kembali berdiri di mimbar, berseru kepada dunia: “Kalian bisa gunakan anjing-anjing kalian, senapan, meriam, bahan peledak, dan napalm – kami tidak akan takut!”

Pada 20 April 1965, Kim Il Sung meninggalkan Indonesia setelah sepuluh hari yang penuh makna. Upacara pelepasan di Bandara Kemayoran dihadiri oleh para pemimpin dunia, termasuk Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai, Perdana Menteri Vietnam Pham Van Dong, dan Pangeran Sihanouk dari Kamboja. Ribuan warga Indonesia kembali mengantar kepergian seorang sahabat revolusioner dengan penuh rasa hormat.

Kunjungan Kim Il Sung ke Indonesia tidak hanya sekadar perjalanan diplomatik, tetapi juga merupakan bab penting dalam sejarah persatuan Asia-Afrika yang menentang kolonialisme, imperialisme, dan neokolonialisme. Persahabatan antara Kim Il Sung dan Sukarno menjadi simbol dari keberanian dua bangsa untuk menantang tatanan dunia yang timpang dan memperjuangkan kemerdekaan yang sejati.

Sebagaimana yang disampaikan Kim Il Sung, "Tak ada kekuatan di dunia ini yang bisa menghentikan gelombang sejarah. Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah bangkit. Masa depan adalah milik kita!" Begitu pula Sukarno, yang selalu mengingatkan, "Bangunlah dunia baru, dunia yang bebas dari penindasan, dari penghisapan, dari penghinaan!" Persahabatan ini menjadi warisan semangat revolusioner yang melintasi benua, bahasa, dan sejarah, serta terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya dalam perjuangan untuk kemanusiaan dan keadilan sosial global.

 

Berita Terkait

Berita Lainnya