Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
KEBIJAKAN penghapusan tunggakan dan denda pajak kendaraan bermotor yang diterapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah memicu diskursus publik yang menarik.
Di satu sisi, kebijakan ini diapresiasi sebagai bentuk responsif pemerintah daerah dalam menghadapi realitas sosial ekonomi pasca-pandemi yang masih terasa dampaknya di kalangan masyarakat.
Namun, di sisi lain, muncul pula kritik dari sebagian masyarakat yang merasa kebijakan ini tidak adil dan berpotensi menciptakan moral hazard di masa depan.
Secara normatif, penghapusan tunggakan dan denda pajak ini adalah bentuk kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical.
Dalam kondisi penerimaan daerah yang melambat akibat tekanan ekonomi, pemerintah daerah memerlukan kebijakan inovatif guna mendorong peningkatan kepatuhan pajak.
Dengan menghapus denda dan tunggakan, beban psikologis dan finansial wajib pajak dapat ditekan, sehingga mereka lebih terdorong untuk melakukan pembayaran pokok pajaknya.
Dalam konteks ini, Gubernur Dedi Mulyadi tampaknya memahami bahwa potensi penerimaan pajak yang "terkunci" akibat akumulasi denda justru lebih besar ketimbang memaksakan penagihan yang sulit dilakukan.
Jika dilihat dari pendekatan behavioral economics, banyak wajib pajak yang tidak membayar bukan semata karena niat buruk atau penghindaran, melainkan karena merasa bahwa utang pajaknya sudah terlalu besar, terutama karena akumulasi bunga dan denda.
Ketika dihadapkan pada tagihan yang terlalu tinggi, respons manusia cenderung menghindar atau menunda lebih jauh.
Oleh sebab itu, memberikan insentif berupa penghapusan denda menjadi strategi yang secara psikologis masuk akal untuk memulihkan kepatuhan.
Namun demikian, risiko moral hazard tidak bisa diabaikan.
Salah satu kritik utama terhadap kebijakan ini datang dari mereka yang selama ini membayar pajak tepat waktu.
Mereka merasa bahwa kepatuhan mereka tidak dihargai dan bahkan merasa dirugikan karena pelanggar mendapat insentif, sementara mereka tidak. Ini menciptakan ketimpangan persepsi keadilan, dan dalam jangka panjang bisa memicu penurunan kepatuhan secara keseluruhan.
Untuk menjawab dilema ini, penting bagi pemerintah daerah untuk tidak menjadikan kebijakan pengampunan sebagai rutinitas atau kebijakan yang terlalu sering diberikan.
Konsistensi dalam penegakan hukum pajak tetap menjadi fondasi utama keberlanjutan fiskal.
Pengampunan hanya akan efektif bila disertai dengan strategi jangka panjang untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, meningkatkan transparansi, serta memperluas basis pajak.
Selain itu, pemerintah daerah dapat mengkombinasikan kebijakan ini dengan program penghargaan bagi wajib pajak yang taat.
Misalnya, memberikan diskon tambahan atau insentif pelayanan publik bagi mereka yang rutin membayar pajak tepat waktu.
Ini penting untuk menjaga kepercayaan dan loyalitas warga yang patuh terhadap kewajiban perpajakannya.
*Rekonsiliasi Fiskal Pemerintah dan Warganya*
Dari sisi kebijakan publik, langkah Gubernur Dedi Mulyadi ini dapat dilihat sebagai bentuk rekonsiliasi fiskal antara pemerintah dan warga.
Di tingkat pusat penghapusan seperti itu banyak dilakukan seperti tax amnesty atau pengampunan pajak juga dipakai sebagai sarana untuk mereset hubungan antara negara dan pembayar pajak, utamanya dalam konteks krisis atau transisi ekonomi.
Namun, kebijakan semacam ini harus berbasis data dan memiliki perencanaan komunikasi publik yang matang.
Harus Transparan
Catatan penting bagi Gubernur Dedi Mulyadi adalah memastikan bahwa kebijakan ini dilaksanakan secara transparan dan disertai dengan evaluasi dampak fiskalnya secara komprehensif.
Pemerintah provinsi perlu menghitung berapa besar potensi penerimaan yang bisa dikumpulkan dari kebijakan ini, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dalam jangka pendek maupun menengah.
Gubernur juga perlu menyiapkan sistem digitalisasi perpajakan yang lebih baik.
Salah satu akar masalah tunggakan dan ketidakpatuhan adalah lemahnya sistem informasi dan pelaporan.
Melalui integrasi data, pelacakan kendaraan, dan sistem notifikasi otomatis, pemerintah bisa mendorong masyarakat membayar pajak secara lebih mudah dan tepat waktu.
Terakhir, kebijakan penghapusan denda dan tunggakan ini hanya akan berhasil jika diikuti dengan penegakan hukum yang lebih ketat pasca-periode pengampunan.
Artinya, setelah diberikan kelonggaran, maka tidak boleh ada lagi toleransi bagi pelanggaran serupa di masa depan.
Penegakan ini harus dilakukan dengan adil, sistematis, dan tanpa diskriminasi. Dengan begitu, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan tidak hanya pulih, tetapi juga meningkat.
Secara keseluruhan, kebijakan penghapusan tunggakan dan denda pajak oleh Gubernur Dedi Mulyadi merupakan langkah yang patut diapresiasi dalam konteks stimulus fiskal daerah.
Kebijakan ini bersifat progresif dan pro-rakyat, terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Ini perlu ditiru secara luas oleh Pemerintahan Daerah lainnya.
Namun keberhasilan jangka panjangnya sangat bergantung pada implementasi yang cermat, komunikasi publik yang baik, serta penguatan sistem perpajakan ke depan. Jika tidak, risiko moral hazard dan hilangnya kepercayaan publik terhadap keadilan fiskal akan menjadi bom waktu yang bisa melemahkan fondasi penerimaan daerah.