Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
DALAM suasana politik yang kerap kali keruh oleh propaganda, noise digital, dan retorika kekuasaan yang defensif, langkah Presiden Prabowo Subianto untuk membuka ruang wawancara publik bersama tujuh jurnalis senior layak diapresiasi sebagai terobosan komunikasi politik yang patut dicontoh. Peristiwa ini melegakan, bahkan membesarkan hati, karena selama ini terasa adanya jurang antara pemerintah dan masyarakat—seakan dua dunia yang bicara sendiri-sendiri, tanpa jembatan yang bisa menyatukan pemahaman.
Di tengah arus opini sosial media yang reaktif dan seringkali sinis terhadap kekuasaan, penulis ingin mengambil posisi yang berbeda. Bukan dalam rangka menutup mata terhadap kekurangan, melainkan untuk mengakui satu kenyataan: Presiden Prabowo menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tulus, jujur, dan langsung pada substansi. Beginilah mestinya komunikasi seorang pemimpin: tidak berkelit, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak menutupi kesulitan.
Dialog yang Setara, Bukan Sekadar Panggung
Dialog empat jam yang berlangsung di perpustakaan pribadi presiden ini bukan hanya simbol keterbukaan, melainkan praktik konkret dari prinsip dasar demokrasi: keterhubungan antara penguasa dan rakyat melalui komunikasi yang jujur. Yang lebih penting, ini bukan sekadar konferensi pers atau panggung monolog, melainkan sebuah wawancara substantif, terbuka, dan berani. Tidak ada daftar pertanyaan yang diserahkan sebelumnya. Tidak ada sensor. Semua jurnalis diberi ruang penuh untuk bertanya—dan presiden menjawab sendiri, tidak melalui juru bicara.
Di sinilah kualitas kepemimpinan diuji: bukan hanya di keputusan besar, tapi dalam cara menjelaskan pilihan-pilihan sulit, menanggapi kritik, dan membuka diri terhadap pertanyaan tak nyaman. Prabowo melakukannya dengan gaya khasnya—tegas namun tenang, formal tapi juga personal. Ia tidak menghindar dari isu-isu kontroversial, dan justru menjawabnya secara langsung.
Jawaban yang Tulus dan Menjawab Substansi
Mari kita lihat substansi jawaban presiden dalam beberapa isu utama yang diajukan para jurnalis:
1. RUU TNI 2025 dan Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi.
Prabowo menjelaskan bahwa RUU TNI 2025 bukanlah agenda untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru. Esensi utamanya adalah perpanjangan usia pensiun prajurit—yang logis jika dilihat dari kebutuhan organisasi untuk regenerasi yang lebih stabil. Ia tidak defensif, tidak menyerang balik pengkritik, dan justru mengajak publik melihat catatan sejarah bahwa ia sendiri adalah bagian dari TNI yang mendukung reformasi. Ini bukan hanya defensif elegan, tapi juga kontekstual dan bertanggung jawab.
2. Transparansi Pembahasan RUU.
Presiden mengakui adanya kekhawatiran masyarakat yang bersumber dari tidak tersedianya dokumen resmi. Ia berjanji untuk memastikan agar naskah resmi disebarkan secara berkala dan proses pembahasan RUU ke depan berlangsung lebih terbuka. Di tengah budaya birokrasi yang sering tertutup, pengakuan semacam ini sangat penting—karena mengakui masalah adalah langkah pertama menuju solusi.
3. Penilaian Kinerja 150 Hari Pertama.
Ketika diminta menilai diri sendiri, Prabowo tidak terjebak dalam glorifikasi atau angka hiperbolik. Ia memberi nilai 6 dari 10. Ini bukan hanya rendah hati, tapi juga realistis. Ia menyebut pencapaian konkret seperti stabilitas harga pangan, produksi beras tertinggi dalam tujuh tahun, dan terbentuknya entitas investasi strategis Danantara. Namun ia juga mengakui kelemahan, khususnya dalam komunikasi publik. Keterbukaan seperti ini jarang kita saksikan dari presiden-presiden sebelumnya.
4. Kinerja Birokrasi dan Disiplin Kerja.
Prabowo menunjukkan sikap tegas dalam menempatkan "orang yang tepat di tempat yang tepat pada waktu yang tepat." Ia bahkan menyebutkan bahwa bila ada yang tidak sigap, maka penggantian dilakukan segera, bahkan di akhir pekan. Langkah seperti ini menunjukkan orientasi pada hasil dan akuntabilitas. Di saat yang sama, ia juga menyebut masih banyak anak muda baik yang belum diberi kesempatan—indikasi bahwa regenerasi menjadi perhatian.
5. Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
Presiden menegaskan bahwa dalam 150 hari pertama, pemerintah berhasil mengungkap kasus-kasus besar dengan kerugian negara yang lebih besar dibanding periode sebelumnya. Ini menunjukkan efektivitas awal dalam penegakan hukum. Lebih dari itu, ia menunjukkan kepekaan terhadap kondisi struktural, seperti kesejahteraan hakim, yang bisa memengaruhi kualitas pengadilan. Pemerintah telah mengalokasikan Rp12 triliun untuk menaikkan gaji hakim—sebuah pendekatan sistemik, bukan sekadar penindakan simbolik.
6. Penempatan TNI di BUMN dan Kementerian.
Prabowo membedakan dengan tegas antara TNI aktif dan pensiunan. Ia menegaskan bahwa hanya pensiunan yang boleh menduduki posisi sipil, dan itu pun hanya di kementerian yang relevan. Ia juga menyampaikan logika meritokratis: bahwa semua warga negara berhak berkontribusi selama memenuhi syarat. Ini jawaban yang normatif sekaligus pragmatis, dan menegaskan bahwa semangat sipil dalam birokrasi tetap dijaga.
7. Kebijakan Ekonomi dan Respons atas Tarif Trump.
Terhadap kebijakan proteksionis AS dan isu Devisa Hasil Ekspor (DHE), Prabowo menjelaskan posisi Indonesia dengan tenang dan argumentatif. Ia menyebut perlunya negosiasi kolektif ASEAN, sekaligus menjelaskan bahwa DHE hanya diwajibkan bagi entitas yang menikmati fasilitas negara. Ia menekankan prinsip keadilan fiskal dan kedaulatan ekonomi. Ia juga menyebut Danantara sebagai instrumen baru untuk mendorong investasi yang berdampak tinggi, namun dengan prinsip kehati-hatian.
8. Isu Cawe-Cawe Presiden.
Pertanyaan tentang pengaruh mantan presiden Jokowi dan SBY dijawab lugas: “Saya yang minta masukan dari mereka, bukan sebaliknya.” Ini jawaban sederhana tapi penting. Ia menegaskan bahwa dirinya tetap pemimpin yang mengambil keputusan akhir, sekaligus menunjukkan keterbukaan terhadap pengalaman orang lain. Tidak ada defensivitas, tidak ada kecanggungan.
Komunikasi sebagai Cermin Kepemimpinan
Dari semua tanggapan di atas, satu hal yang menonjol adalah gaya komunikasi Prabowo yang—terlepas dari posisi politiknya—terasa tulus, jujur, dan substansial. Ia tidak berusaha menyenangkan semua pihak, tapi juga tidak menutup diri dari kritik. Ia tidak meremehkan pertanyaan sulit, tapi juga tidak terjebak dalam jargon-jargon kosong.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, dialog seperti ini sangat penting. Bukan sekadar untuk klarifikasi, tapi untuk membangun kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibangun dengan retorika indah atau pencitraan semata. Ia hanya tumbuh dari percakapan yang sejajar, tulus, dan saling menghargai.
Penutup
Komunikasi seperti ini harus terus dilanjutkan. Harus menjadi kebiasaan, bukan kejutan. Harus menjadi ruang bersama, bukan panggung kekuasaan. Presiden bukan hanya pemegang mandat, tapi juga penafsir harapan rakyat. Dan penafsiran itu tidak bisa dilakukan tanpa mendengar—dan tanpa bersedia menjawab.
Semoga ini bukan episode satu kali. Karena demokrasi bukan hanya tentang pemilu dan kebijakan, tapi juga tentang kesediaan pemimpin untuk duduk, mendengar, dan menjawab dengan hati yang terbuka.