Jakarta, MNID. Penghapusan kuota impor yang pernah disampaikan Presiden Prabowo Subianto sudah tepat. Namun sayangnya, pernyataan itu menjadi kontroversial karena penyampaian yang kurang lengkap dan kritik kurang yang paham.
Ada pihak mengartikan bahwa pembebasan kuota impor adalah pembebasan impor. Padahal kuota impor berbeda dengan izin impor
Mantan pejabat Kementerian BUMN Said Didu mengemukakan, sistem kuota impor adalah mekanisme pengendalian impor, bukan izin atau impor.
“Pembebasan sistem kuota impor bukan berarti pembebasan impor,” tegas Didu di Jakarta, Jumat, 11 April 2025.
Menurut Said Didu, selama ini mekanisme pengendalian impor melalui sistem kuota sudah menjadi ladang korupsi dan kongkalikong yang sangat besar antara pejabat, tokoh dan Oligarki dalam jumlah trilyunan rupiah.
Dengan sistem kuota, lanjut tokoh yang memproklamirkan diri sebagai Manusia Merdeka itu, maka yang bisa bermain adalah yang memiliki uang cash yang sangat besar karena impor waktunya pendek dan butuh dana cash yang sangat besar, dan tidak bisa dibiayai dengan mekanisme perbankan.
Sebagai gambaran, ungkap Didu, saat impor komoditas strategis (beras, gula, kecele, garam, daging, bawang dan lain laion) mencapai puncak tertingginya pada thn 2022-2024, total impor komoditas strategis tersebut sekitar Rp150 triliun per tahun sehingga jika sistem kuota tetap berlaku maka hanya pemilik uang cash besar yangg bisa mengatur impor tersebut.
“Pengetahuan saya bagwa siapapun yang mendapatkan kuota impor, termasuk BUMN pun sumber dananya tetap oligarki pemilik uang cash besar,” jelas Didu.
Dia menambahkan pemilik uang yang bermain untuk kuota impor tidak lebih dari 3 (tiga) orang, yang memiliki cash terbesar untuk “atur” impor selama ini Oligarki yang bermarkas di pantai utara Jakarta.
Dengan dihapuskannya mekanisme kuota, lanjut Didu, bukan berarti, terjadi pembebasan impor.
Sebab pengendalian impor bisa dilakukan dengan cara memberikan izin jumlah impor dan membebaskan siapa saja boleh melakukan impor sampai jumlah yang diizinkan tercapai.
“Mungkin yang dilakukan adalah penetapan tarif impor,” sambungnya.
Mengenai perlindungan terhadap petani dan industri dalam negeri, menurut Said Didu, bisa dilakukan melalui pembatasan jumlah impor dan penetapan tarif.
“Dengan demikian maka terjadi persaingan untuk mendapatkan harga produk impor yang termurah,” tegas Didu.
Sementara jika lewat mekanisme sistem kuota, maka persaingan yang terjadi adalah sogokan terbesar ke penguasa yang dapat kuota - bukan harga yang termurah - sehingga akhirnya harga impor menjadi mahal dan rakyat yang dirugikan.
“Inilah yang terjadi selama ini dan mekanisme impor yang rugikan rakyat dan negara. Ini harus diakhiri,” tegas Didu.
Diakui Didu, bahwa keinginan menghapus sistem kuota akan mendapatkan perlawanan dari para penikmat hasil kongkalikong sistem kuota impor.
Namun ia tetap mendukung langkah-langkah yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto karena mengedepankan keberpihakan pada rakyat dan negara.