Oleh: Adhie M. Massardi, Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
SEBAGIAN masyarakat melihat Presiden Prabowo belum sungguh-sungguh jadi orang No 1 di negeri ini. Bayangan hitam Joko Widodo menutupi aura kepemimpinannya. Benarkah pandangan ini? Begini cara membacanya.
Akhir April 2024, beberapa hari setelah Mahkamah Konstitusi netapkan Prabowo (dan pasangannya Gibran Widodo) sah sebagai pemenang Pilpres 2024, saya bertanya kepada sohib yang baru kembali dari kediaman Pak Prabowo di kawasan Jalan Kertanegara untuk nyampaikan ucapan selamat.
“Seberapa besar rasa terima kasih Prabowo kepada Joko Widodo?”
“Kertanegara merasa tidak perlu berterima kasih kepada Jokowi,” jawab sohib saya.
“Alasannya apa?” saya memancing.
“Menurut mereka, Jokowi hanya ngembalikan mahkota yang dicuri dari Prabowo pada 2019,” sohib saya yang saudagar besar dan politisi sukses itu menjelaskan sikap Kertanegara.
Meskipun saya sela dengan kelakar “Kasih tahu Kertanegara, yang dikembalikan Jokowi itu mahkota yang dicuri dari Anies…”, tapi tetap saja pernyataan “tidak perlu berterima kasih” itu saya jadikan landasan paling fundamental pandangan saya terhadap Jenderal Kopasus ini.
Benar, Prabowo memang bukan dari keluarga religius. Tapi sebagai orang Indonesia yang menaruh Ketuhanan YME sebagai sila pertama (Pancasila), saya percaya bahwa Prabowo percaya setiap tangga yang dinaiki sudah ditentukan Alloh SWT.
Jadi sudah pasti mustahil seorang prajurit Saptamargais berterima kasih kepada manusia atas kehormatan sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan RI yang kini disandanagnya.
Lha, Kemerdekaan RI yang diperjuangkan dengan keringat, airmata dan darah ribuan pejuangan saja, dalam Konstitusi (UUD 1945) dinyatakan sebagai “…berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”
Penyesuaian dalam Transisi
Sikap “tidak merasa perlu berterima kasih kepada manusia (Joko Widodo)”, ditambah pesan Bos Besar Gus Dur bahwa Prabowo “pemimpin paling ikhlas” inilah yang bikin saya tetap percaya bangsa Indonesia sudah punya pemimpin baru yang, insya Alloh tidak brutal dalam menjalankan roda pemerintahan seperti pemimpin sebelumnya.
“Tapi kenapa kelihatan sangat takut kepada Joko Widodo sehingga kabinet yang dibentuknya didominasi homo soloensis?” tanya sejumlah pentolah civil society yang tak sabar ingin perubahan. Perubahan sekarang juga!
Jawab saya, “Hanya Prabowo yang tahu makhluk jenis apa Joko Widodo, maka hanya dia juga yang paling paham bagaimana menetralisir pengaruhnya di pemerintahan yang dikendalikannya selama dua periode!”
Tentu saya jelaskan juga bahwa dalam pergantian kekuasaan selalu ada masa penyesuaian, ada masa transisi. Berapa lama, itu tergantung sikon, situasi dan kondisi.
Sukarno baru efektif sebagai Presiden pasca Dekrit 5 Juli 1959. Butuh waktu 14 tahun sejak dinobatkan pada 1945.
Suharto yang mengendalikan NKRI sejak Super Semar (Surat Perintah 11 Maret 1966 yang ditandatangani Presiden Sukarno) baru benar-benar menjadi orang No 1 di negeri ini sejak (pemilu) 1971. Itu sebabnya proses ini di dunia politik sering disebut “kudet merangkak”.
Memang, BJ Habibie dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Presiden ke-3 dan ke-4 bisa langsung menggebrak sejak hari pertama. Hal ini terjadi karena situasinya sendiri memang situasi transisional. Dari rezim otoritarian (orde baru) ke era demokrasi (pasca reformasi).
Meskipun Habibie dan Gus Dur singkat dalam merintah, karena gejolak politik bak putting-beliung, tapi sejarah mencatat justru di masa inilah terjadi perubahan yang signifikan, terutama dalam hal demokrasi, tranparansi tata kelola pemerintahan dan penghormatan kepada kemanusiaan.
Megawati yang mengambil sisa masa pemerintahan Gus Dur, bahkan hingga akhir masa jabatannya terus dalam transisi, tak pernah sampai pada klimaks. Itu sebabnya pada Pilpres 2004 bisa dengan mudah dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.
SBY setali tiga uang. Hampir sepanjang berkuasa selama dua periode, terus melakukan penyesuaian. Mengakomodasi nyaris semua kekuatan politik yang ada. Itu sebabnya Prof DR Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI membandingkan sepakterjang SBY dengan Gus Dur.
Di harian Kompas, pendiri Rumah Perubahan ini nulis begini: Hanya dua tahun berkuasa (1999- 2001), Presiden Abdurrahman Wahid melakukan 10 perubahan. Sebaliknya, hampir 10 tahun memimpin (2004-2014), Presiden SBY baru menggulirkan dua perubahan (Buka link ini.)
Selanjutnya, Joko Widodo, Presiden RI ke-7, perlu waktu sekitar dua tahun untuk lepas dari hegemoni Ketum PDIP Megawati, pengendali parpol yang mengusungnya ke tampuk kekuasaan. Baru di tahun-tahun terakhir kekuasaanya Joko Widodo berani melakukan perlawanan secara frontal.
Memendekkan Masa Transisi
Mengingat Prabowo adalah Menteri Pertahanan rezim sebelumnya, dan ini artinya pemegang sekurang-kurangnya 30% kekuatan politik sebagai aset, insya Alloh bisa memendekkan masa penyesuaian itu, masa transisi menuju pemimpin yang efektif.
Jangan lupa juga, Prabowo itu konon ahli strategi (perang). Dalam perang, untuk melumpuhkan musuh, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghancurkan sumber logistiknya.
Amerika Serikat cukup ngebom Nagasaki dan Hiroshima, dua kota industri peralatan perang, untuk melumpuhkan Jepang pada Perang Dunia II.
Lalu apa yang dilakukan Prabowo? Melumpuhkan judi online yang dikendalikan dari Kementerian Komdigi (d/h Kominfo), menggasak mafia BBM dan konon juga jaringan SPBU yang tak terdaftar di Pertamina, mafia impor (bahan pangan) dan lain-lain yang dianggap sumber logistik rezim sebelumnya.
Paling mengejutkan adalah ancaman Prabowo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024 di Senayan. Ia mengancam koruptor kelas paus untuk ngembalikan uangnya. Dan akan terus dikejar, bahkan jika pun kabur sampai Antartika di Kutub Selatan.
Siapa koruptor kelas paus yang diancam Prabowo? Kita baru tahu dua bulan kemudian, saat OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) pada 31 Desember 2024 ngumumkan finalis Person of the Year pemimpin dunia paling korup. Salah satu finalis dari Indonesia!
Dari catatan ini, menjadi masuk akal pandangan dan harapan sohib Manusia Merdeka Muhammad Said Didu yang diproklamasikan di media sosial, bahwa 20 April nanti akan muncul “presiden baru”. Minjam bahasa iklan jadul: “Ini Presiden Baru, Ini Baru Presiden!”
Daeng Said Didu hari ini memang menjadi orang SulSel (Bugis) paling berani. Ada yang bantah. Said Didu bukan satu-satunya. Tapi persoalannya, saya belum pernah bertemu orang Bugis yang lebih berani dari Daeng Didu.
Tapi jangan salah, yang dimaksud Daeng Didu pada 20 April lahir “presiden baru” itu ya Pak Prabowo. Karena pada 20 April 2025 itu, usia kepresidenan Prabowo genap 6 bulan.
Menurut perhitungan, 6 bulan itu memang lebih dari cukup bagi Prabowo untuk melakukan penyesuain dan transisi menuju kepemimpinan yang efektif. Apalagi dukungan kalangan civil society, kalau ukurannya adalah kelompok yang ingin mengadili Joko Widodo dengan varian memburu “ijazah palsu” dan KKN keluarga (anak-mantu) terus bertambah. Makin bergerak.
Indikator paling kuat bisa dilihat dari pergantian (reshuffle) anggota kabinet yang mudah-mudahan berlangsung dalam waktu dekat.
Penutup
Dari berbagai catatan yang bisa dikumpulkan, Prabowo Subianto jauh sebelum jadi Danjen Kopasus dan Pangkostrad, sudah terobsesi bisa memperbaiki nasib bangsa ini. Untuk itu, ia harus jadi pemimpin nasional, jadi presiden.
Kini, setelah melewati perjalanan waktu yang panjang, menyusuri jalan penuh luka, akhirnya Tuhan mengijinkan dia untuk sampailah ke puncak kekuasaan. Menjadi Presiden RI.
Nah, apa mungkin kemudian Prabowo mau hanya sekedar jadi “Presiden Boneka”? Atau lebih buruk dari itu, jadi boneka bekas presiden? Wallahu a'lam bishawab.