Ekonomi Indonesia Diprediksi Mengecil dan Respons terhadap Isu Tarif Trump

Image 3

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

MEMASUKI kuartal kedua tahun 2025, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami koreksi yang lebih tajam dari sekadar realistis—menjadi cermin dari ketidakmampuan kebijakan domestik dalam beradaptasi cepat terhadap guncangan eksternal.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dalam APBN 2025, dengan World Bank memperkirakan 5,1% dan OECD di angka 4,9%. Namun, perkembangan global yang tidak menguntungkan—terutama kebijakan tarif agresif Presiden AS Donald Trump—membuat angka-angka tersebut menjadi sekadar ilusi optimisme.

Proyeksi yang lebih jujur dan kritis menurut kami, menempatkan pertumbuhan Indonesia hanya di kisaran 4,2% hingga 4,5%, bahkan berpotensi lebih rendah apabila respon kebijakan tetap pasif.

Tarif Trump dan Respons yang Terlambat

Tarif 32% yang sedianya dikenakan terhadap berbagai produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memang ditunda selama 90 hari.

Namun penundaan ini bukan solusi permanen. Tarif universal 10% tetap berlaku, dan setelah masa jeda berakhir, tekanan ekspor Indonesia ke pasar AS dipastikan meningkat.

Produk seperti tekstil, alas kaki, elektronik, hingga otomotif akan menghadapi tantangan daya saing yang makin besar.

Tidak hanya menurunkan volume ekspor, situasi ini memperbesar defisit perdagangan yang kemudian menyeret nilai tukar rupiah ke titik nadir.

Saat ini, rupiah telah melemah ke kisaran Rp17.000 per dolar AS, dan diproyeksikan akan terus melorot ke level Rp17.300 menjelang akhir 2025.

Depresiasi ini memperberat beban impor, terutama bahan baku industri dan energi, sehingga mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat.

Pemerintah dan Bank Indonesia tidak kompak dan dinilai lambat dalam mengantisipasi krisis nilai tukar ini, terutama karena masih mengandalkan instrumen moneter dan fiskal yang tidak cukup gesit merespons krisis global.

Asia dalam Guncangan: Indonesia Terpukul Lebih Dalam

Gejolak ekonomi akibat tarif Trump memang tidak eksklusif terhadap Indonesia. Negara-negara Asia seperti Tiongkok, India, dan Vietnam juga terguncang. Namun, prediksi sementara menunjukkan bahwa kontraksi ekonomi di Indonesia bisa lebih dalam 1%-1,5% dibandingkan proyeksi awal, menjadikannya salah satu negara dengan koreksi pertumbuhan terbesar di Asia Tenggara.

Hal ini disebabkan ketergantungan tinggi terhadap ekspor komoditas dan barang manufaktur berbiaya rendah, serta lemahnya permintaan domestik akibat inflasi yang tak terkendali. Berbeda dengan China yang sudah lama mempersiapkan pasar baru selain AS dalam perdagangan Internasionalnya.

Tiongkok masih memiliki ketahanan berkat pasar domestik yang kuat dan intervensi fiskal serta moneter besar-besaran. India pun mampu mengompensasi tekanan eksternal dengan kebijakan subsidi energi langsung.

Sementara itu, Indonesia masih terpaku pada cara-cara lama seperti bansos dan subsidi konvensional, yang sayangnya belum cukup efektif menjawab tekanan struktural.

Mengandalkan APBN: Strategi Parsial di Tengah Krisis Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini Kamis 10/4 mengatakan bahwa APBN akan menjadi jangkar utama menghadapi tekanan global.

Pemerintah meningkatkan alokasi untuk bantuan sosial dan subsidi, serta memperluas insentif fiskal untuk menjaga konsumsi dan investasi.

Sumber Dana APBN dalam Krisis Kepercayaan Global

Namun, masalah utamanya adalah dari mana dana itu berasal, soalnya pengandalan pembiayaan global bond tidak memadai karena selain lebih mahal karena harus menawarkan yield lebih tinggi, kebijakan Trump juga menjadikan investor tidak tertarik ke negara berkembang.

Kepercayaan terhadap negara berkembang mulai tergerus seiring dengan meningkatnya proteksionisme dan gejolak geopolitik, membuat investor global lebih memilih menempatkan dana di negara maju yang dianggap lebih aman.

Akibatnya, spread obligasi Indonesia melebar, mencerminkan risiko yang lebih tinggi dan memperburuk posisi fiskal pemerintah.

Selain itu, dengan nilai tukar yang terus melemah, pembiayaan utang luar negeri menjadi semakin tidak efisien.

Ketika sumber pembiayaan eksternal menyusut, pilihan yang tersisa bagi pemerintah adalah meningkatkan pajak atau memangkas belanja publik—keduanya berisiko memperlambat pemulihan ekonomi.

Tanpa inovasi pembiayaan yang berkelanjutan dan kredibel, ruang gerak fiskal akan makin sempit.

Peningkatan belanja sosial memang bisa menahan laju penurunan konsumsi jangka pendek.

Namun, jika kebijakan ini tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan restrukturisasi sektor ekspor, maka stimulus hanya menjadi penahan sesaat.

Ketika stimulus berakhir, ekonomi akan kembali terseret tekanan global.

Terlebih lagi, penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran masih menjadi masalah akut. Program seperti subsidi BBM dan listrik masih terlalu luas cakupannya dan tidak semuanya menyasar kelompok miskin.

APBN dalam Tekanan: Fiskal Tidak Lagi Fleksibel

Kebijakan fiskal ekspansif di tengah depresiasi rupiah dan menurunnya penerimaan negara menciptakan tekanan besar pada struktur APBN.

Defisit anggaran yang semula dipatok pada 2,29% dari PDB berpotensi melebar menjadi di atas 3% jika tren penerimaan pajak terus turun dan harga komoditas global tidak membaik.

Dalam kondisi seperti ini, ruang fiskal pemerintah menjadi makin sempit, sementara kebutuhan pembiayaan membengkak.

Pemerintah dipaksa meningkatkan utang melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN), yang menambah beban bunga dan mempersempit ruang fiskal di masa depan.

Dengan kurs rupiah yang makin tertekan, pembayaran utang luar negeri dalam dolar AS menjadi makin mahal.

Ketergantungan pada pembiayaan eksternal membuat stabilitas fiskal Indonesia rentan terhadap gejolak global dan penarikan modal oleh investor asing.

Solusi Struktural yang Belum Jelas

Sayangnya, belum terlihat adanya strategi struktural jangka menengah yang konkret dan adaptif dari pemerintah.

Program hilirisasi industri belum memberikan kontribusi nyata terhadap diversifikasi ekspor.

Upaya memperluas pasar non-tradisional masih bersifat sporadis, dan reformasi perpajakan belum menjangkau kelompok ekonomi digital dan sektor informal secara optimal.

Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum cukup adaptif dalam menghadapi ekonomi global yang makin proteksionis.

Dalam kondisi ini, ketidakmampuan adaptif pemerintah dalam mengelola krisis eksternal dapat memperdalam tekanan ekonomi lebih jauh dari yang diprediksi.

Proyeksi kami bahwa pertumbuhan 4,2% bukanlah pesimisme, tetapi justru bentuk realisme yang menggambarkan respons kebijakan yang lambat, tidak terintegrasi, dan tidak adaptif.

Saatnya Koreksi dan Adaptasi Lebih Nyata

Koreksi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,2% bukan semata akibat eksternal, tetapi juga disebabkan lemahnya kemampuan pemerintah dalam melakukan adaptasi kebijakan ekonomi yang strategis dan cepat.

Kebijakan tarif Trump adalah pemicu, namun tidak serta-merta menjadi penyebab tunggal.

Respon fiskal yang konvensional, subsidi yang luas tapi tidak tepat, serta ketergantungan pada instrumen APBN tanpa penguatan basis ekonomi riil menjadi faktor internal yang memperparah situasi.

Jika pemerintah tidak segera mengubah pendekatan dan mempercepat adaptasi kebijakan dengan kombinasi insentif industri, diversifikasi ekspor, dan proteksi kelompok rentan yang tepat sasaran, maka risiko krisis ekonomi yang lebih luas tidak bisa dihindari.

Tahun 2025 bisa menjadi momen pembelajaran pahit tentang bagaimana kegagalan beradaptasi bisa menggerus pertumbuhan dan memperdalam ketimpangan.

Berita Terkait

Berita Lainnya