Dasco dan Elegi Jurnalisme Warung Kopi

Image 3
Prof. Sufmi Dasco Ahmad dan Presiden Prabowo Subianto

Oleh: Muhammad Arief Rosyid Hasan, Ketua Umum PB HMI (2013 - 2015)

JURNALISME “katanya” agaknya semakin melekat pada Tempo. Dibungkus dengan narasi seolah-olah investigasi, namun nyatanya hanya gosip warung kopi. Sayangnya kenyataan ini kita dapati di tengah inflasi sampah informasi di media sosial.

Media massa sejatinya adalah harapan yang bisa menjernihkan. Tapi sayang media sekelas Tempo malah terjerumus dalam kubangan sampah informasi yang menyesatkan.

Jurnalisme “katanya” terlihat dengan kecenderungan Tempo yang kerap memakai pengakuan sumber anonim yang sama sekali tidak jelas akurasi faktanya.

Tak ada data, fakta, hanya sekadar “katanya”. Kata pengakuan dari sumber anonim yang begitu lemah. Sekalipun dirahasiakan identitasnya, Tempo tak bisa mengklasifikasi apakah kualitas narasumbernya adalah sumber primer, sekunder, atau jangan-jangan malah imajiner!

Contoh teranyar Tempo membuat kehebohan dengan mengutip pengakuan narasumber yang “katanya” pejabat di Kabinet Merah Putih. Pejabat itu dikutip keterangannya terkait dengan tudingan pada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang dikaitkan dengan bisnis rumah judi di Kamboja.

Narasi singkat berlandaskan 'katanya’ itu dilekatkan dengan penjelasan yang begitu minim. Apa benar itu adalah narasumber primer, sekunder, atau imajiner. Satu-satunya argumentasi Tempo mencocokkan hipotesis antara Dasco dan bisnis judi adalah laporan tahunan salah satu perusahaan yang menampilkan narasi bahwa politikus senior Gerindra itu pernah terafiliasi dalam sebuah holding perusahaan besar. Holding perusahaan itu yang disebut punya kepemilikan saham di rumah judi.

Sejatinya jika petikan informasi itu dipakai sebagai dasar argumentasi untuk mencocokologikan sang politisi dan bisnis judi, maka Tempo pun punya situasi yang sama. Sebab salah satu investor Tempo, George Soros, pun berinvestasi besar pada rumah judi.

Dengan data awal yang didapatkannya, Tempo sejatinya bisa membuktikan apakah hipotesisnya terbukti atau tidak. Tinggal di dalami perusahaan yang terkait dengan sang politisi itu untuk memastikan fakta sebenarnya. Tapi entah karena kepentingan kejar tayang, kemalasan mencari kebenaran, atau agenda tersembunyi lain, Tempo malah tak memverifikasi secara detail sumber yang masih dalam level “katanya” itu.

Sekalipun dangkal akan akurasi informasi dan fakta, narasi yang disampaikan Tempo terkait Dasco ini sukses menciptakan isu belah bambu. Ini terkait sang narasumber yang disebut Tempo adalah pejabat kabinet. Narasi yang seakan ingin memframing terjadi keretakan di dalam koalisi pemerintahan. Boleh jadi inilah inti dari narasinya yang dituju Tempo. Bukan soal judinya tapi bagaimana pecah belah dan instabilitas politik!

Saat Tempo enggan menuliskan penjelasan detail dari si narasumber selain soal profil soal yang bersangkutan adalah pejabat kabinet, maka di sinilah muncul kecurigaan besar. Apakah masuk akal narasumber yang begitu menarik itu tak dieksplor narasi atau informasinya?

Di sinilah pentingnya persoalan ini dibawa ke Dewan Pers. Ini untuk membuktikan kecurigaan apakah benar narasumber yang “katanya” pejabat itu adalah sumber asli atau jangan-jangan imajinasi alias bohong. Bukan baru pertama ini Tempo memframing informasi yang hanya berlandaskan imajinasi.

Berulang kali Dewan Pers pun membuktikan kesalahan etika Tempo yang umumnya menyasar pada reportase terkait pejabat atau pengusaha yang kebetulan punya banyak sumber daya. Hal yang pernah dibongkar oleh akun bernama Jilbab Hitam soal modus operandi Tempo mencari keuntungan di balik pemberitaan. Begitulah elegi jurnalisme warung kopi.

Berita Terkait

Berita Lainnya