Oleh: Indra Kusumawardhana, Akademisi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina
ADA semangat yang menyala dari sebagian kalangan yang skeptis terhadap pendirian Danantara—Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia yang baru saja diluncurkan. Semangat itu menunjukkan betapa publik makin sadar, makin kritis, dan makin mencintai republik ini. Tapi dalam semangat itu, kita juga harus waspada terhadap bias yang terlalu cepat memvonis. Tidak semua modal adalah musuh. Tidak semua institusi megah otomatis menyembunyikan niat jahat.
Danantara dianggap sebagai perpanjangan tangan kekuasaan modal, seolah-olah tidak ada ruang bagi rakyat untuk ikut menikmati manfaat dari kekuatan ekonomi negara. Padahal, bisa jadi justru inilah salah satu upaya paling progresif Indonesia untuk membalik narasi kekuasaan kapital—dari alat eksploitasi menjadi instrumen kemajuan bersama.
Kita bicara terus terang saja: ya, modal bisa eksploitatif. Sejarah pembangunan kita sarat dengan cerita penggusuran, tambang yang rakus, hingga elite yang berpesta di atas peluh buruh. Tapi modal juga bisa ditundukkan, diarahkan, bahkan didesain ulang untuk melayani. Danantara bukan malaikat, tapi juga bukan setan. Ia hanyalah alat. Dan seperti semua alat, ia bisa membangun atau menghancurkan—tergantung siapa yang memegangnya dan untuk tujuan apa ia digunakan.
Indonesia tengah menatap ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045, tapi jalannya tidak mudah. Kita hidup di tengah tekanan inflasi dan pelemahan rupiah yang terus menggerus daya beli masyarakat. Pada 2024, inflasi Indonesia memang terjaga di angka rata-rata 3%, tapi gangguan iklim global dan gejolak geopolitik telah membuat harga pangan melonjak. Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga ke titik tertinggi sejak 2016 demi menjaga stabilitas.
Sementara itu, rupiah terus melemah. Dari tahun 2012 ke 2022, nilai tukarnya turun dari Rp12.170 menjadi Rp15.568 per dolar AS. Di awal 2025, rupiah bahkan sempat tembus Rp16.595. Bagi rakyat biasa, ini bukan sekadar angka—ini adalah harga beras yang naik, cicilan yang makin berat, dan tabungan yang makin tipis.
Dalam situasi seperti ini, kita butuh strategi baru. Mengandalkan pajak? Tak cukup. Rasio penerimaan pajak Indonesia masih di bawah 10% dari PDB—jauh dari ideal. Mengandalkan utang? Terlalu berisiko untuk masa depan fiskal kita. Maka satu-satunya jalan adalah diversifikasi sumber pendapatan negara. Inilah titik masuk pentingnya Danantara.
Sovereign Wealth Fund bukanlah barang baru. Norwegia sukses mengelola kekayaan minyaknya melalui GPFG, menghasilkan dividen untuk membiayai hingga 20% anggaran negaranya. Singapura punya Temasek Holdings yang menghasilkan return rata-rata 14% per tahun, menopang pelayanan publiknya tanpa stigma “modal jahat”.
Kita ingin belajar dari itu. Danantara ditargetkan mengelola aset negara senilai lebih dari US$900 miliar, mengambil alih saham pemerintah di berbagai BUMN besar. Jika dikelola secara profesional, SWF ini bisa menjadi penyokong fiskal baru Indonesia, mengurangi ketergantungan pada pajak dan utang, sekaligus memutus siklus boom-bust komoditas yang selama ini membuat APBN kita rentan.
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, Danantara juga bisa berfungsi sebagai peredam kejut. Ketika rupiah melemah, nilai investasi di luar negeri dalam dolar bisa meningkat dalam rupiah, menjadi cadangan kekuatan finansial negara. Return sebesar 5% saja dari total asetnya bisa menghasilkan Rp700 triliun per tahun, setara hampir 40% APBN 2024. Itu bukan angan-angan kosong, tapi potensi riil—asal dikelola transparan dan akuntabel.
Lalu, apa dampaknya bagi rakyat?
Bayangkan: petani mendapat akses irigasi dan distribusi yang lebih baik karena Danantara berinvestasi di logistik pangan. Buruh mendapat lebih banyak lapangan kerja karena BUMN tumbuh, didukung modal yang tak lagi statis. Mahasiswa mendapat beasiswa dan dana riset dari hasil investasi negara, seperti yang sudah dilakukan LPDP. Ibu rumah tangga bisa menikmati subsidi kesehatan dan pendidikan dari keuntungan investasi, bukan dari utang luar negeri.
Kita sudah melihat miniatur keberhasilan itu lewat LPDP. Dana abadi pendidikan ini bertumbuh dari Rp1 triliun menjadi Rp134 triliun sejak 2010, dan mendanai ribuan beasiswa S2 dan S3 setiap tahun. LPDP adalah bukti bahwa investasi jangka panjang bisa mengubah wajah ekonomi rakyat. Bayangkan bila skema serupa berlaku lebih luas lewat Danantara—untuk subsidi energi, perlindungan sosial, hingga UMKM.
Tentu, bukan berarti kita harus menutup mata terhadap potensi risiko. Dunia pernah melihat kasus 1MDB di Malaysia atau dana investasi Angola yang gagal. Tanpa pengawasan ketat, SWF bisa jadi “ladang basah” bagi elit tertentu. Maka pengawasan adalah keniscayaan. Bila rakyat ikut bersuara, ikut menagih, ikut mengawasi—maka SWF ini milik rakyat. Tapi bila kita hanya mencemooh dari jauh, kita justru melepaskan kendali kita sendiri.
Keberadaan tokoh-tokoh seperti Jeffrey Sachs dan Ray Dalio di dewan penasihat Danantara pun tak seharusnya otomatis dicurigai. Sachs adalah suara moral di ekonomi global. Dalio bahkan dikenal sebagai kapitalis yang paling keras mengkritik ketimpangan. Jika kita ingin membangun lembaga global yang disegani, maka tak ada salahnya belajar dari yang terbaik—selama kita tetap berdaulat dalam arah dan tujuan.
Pada akhirnya, kapital bukan musuh. Musuh kita adalah ketidaktahuan, rasa takut yang tak berdasar, dan keengganan untuk mengelola kapital secara cerdas.
Danantara mungkin bukan solusi sempurna, tapi ia adalah upaya. Seperti sebilah pisau dapur di tangan seorang koki: ia bisa melukai, atau ia bisa menyajikan santapan bagi jutaan. Maka tugas kita bukan membuang pisaunya—tapi memastikan siapa yang menggenggam, dan untuk apa ia digunakan.
Indonesia tidak hanya butuh semangat, tapi juga alat. Danantara adalah alat yang sedang dibangun. Mari kita jaga bersama.