Oleh: Chappy Hakim, Pusat Studi Air Power Indonesia
“NEGARA Republik Indonesia bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.” (Mohammad Hatta)1
Demokrasi adalah jalan yang dipilih bangsa Indonesia. Di dalamnya, rakyat diberi ruang untuk memilih pemimpin, menyuarakan pendapat, dan turut menentukan arah masa depan. Namun dalam praktiknya, demokrasi kita justru terperangkap dalam pusaran pendek lima tahunan: dari pemilu ke pemilu, dari pilpres ke pilkada, seolah-olah perjalanan bangsa hanya bisa dibayangkan dalam satu periode kekuasaan.
Kondisi ini berdampak serius terhadap sektor-sektor strategis bangsa. Industri penerbangan nasional misalnya, saat ini nyaris terbengkalai. Sejak krisis yang menimpa PT Dirgantara Indonesia pada awal 2000-an, belum ada peta jalan nasional yang berani menempatkan kedirgantaraan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi dan pertahanan negara.2
Negara yang dikelilingi laut dan wilayah udara yang luas ini justru menjadi konsumen teknologi asing, bukan produsen. Tidak ada kesinambungan dari visi besar Presiden Soekarno terhadap kemandirian teknologi dirgantara nasional.
Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak tampak adanya strategi jangka panjang di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Hingga hari ini, belum tersedia dokumen publik jangka 25–50 tahun seperti Defence White Paper atau National Security Strategy yang membayangkan postur militer Indonesia dalam menghadapi ancaman masa depan: perang siber, konflik di Laut Cina Selatan, gangguan hibrida, serta pemanfaatan luar angkasa untuk kepentingan strategis.3
Kita tengah kehilangan arah. Para elite politik sibuk menjajakan janji kampanye tanpa berpikir jauh ke depan. Semua kebijakan, semua program, semua rencana—hanya dibingkai dalam waktu lima tahun. Lebih dari itu dianggap terlalu abstrak, terlalu jauh, dan tidak mendatangkan suara.
Padahal, bangsa besar dibangun bukan dalam hitungan lima tahun. Bangsa besar dibangun dalam dekade panjang, melalui visi besar, kerja kolektif, dan arah pembangunan yang konsisten lintas rezim.
Kita patut bertanya: ke mana arah Indonesia dalam 20 tahun ke depan? Apa rencana kita menghadapi revolusi teknologi? Bagaimana strategi kita menghadapi krisis air, pangan, dan energi? Apa peta jalan kita untuk menjadi negara yang benar-benar berdaulat di darat, laut apalagi di udara, apakabar berdikari, dan berkepribadian seperti yang dulu diimpikan oleh para pendiri bangsa?
Hari ini, jawaban atas semua pertanyaan itu nyaris tak terdengar. Yang ramai di ruang publik hanyalah kontestasi personal, drama politik, dan pencitraan. Kita tak lagi berbicara soal cita-cita kebangsaan, melainkan soal siapa yang paling populer. Demokrasi kita menjadi dangkal. Ia berjalan, tetapi kehilangan ruhnya.
Ingat, Presiden Soekarno pernah berkata, “Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit!”4 — bukan sekadar nasihat pribadi, tetapi itu adalah sebuah filosofi bernegara. Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno kerap berbicara tentang nation and character building, bahkan menyiapkan bayangan Indonesia seratus tahun setelah merdeka.5 Kemana itu semua?
Bandingkan dengan elite hari ini. Mereka berpikir untuk pemilu berikutnya. Mereka membangun proyek yang bisa dipotong pita sebelum masa jabatan habis. Mereka menghindari keputusan sulit karena takut tak populer. Padahal, keputusan strategis untuk masa depan bangsa seringkali tidak populer hari ini.
Coba sesekali lihat bagaimana negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, atau China membangun dirinya. Mereka punya cetak biru jangka panjang. Mereka konsisten menjalankan visi yang sama lintas pemerintahan. Mereka berani berinvestasi dalam pendidikan, riset, dan pembangunan manusia, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat.6 Mereka memprioritaskan institusi education and Training, R&D dan Think Tank Strategis bagi Solusi kebijakan ditingkat pengambil Keputusan.
Sementara kita? Kita bangun dan hancurkan sendiri. Proyek strategis berganti tiap rezim. Arah pendidikan berubah tiap menteri. Kebijakan energi dan pangan tersandera lobi politik jangka pendek. Kita kehilangan kesinambungan. Kita kehilangan strategi. Kita kehilangan visi. Kita lost in space! Going to nowhere!
Sudah saatnya kita bangun kembali visi bernegara yang melampaui lima tahun. Kita butuh konsensus nasional lintas partai tentang masa depan Indonesia. Kita butuh pemimpin yang berpikir lintas generasi, bukan sekadar lintas periode. Kita butuh pemimpin yang berani menanam pohon meski tak sempat menikmati buahnya.
Harus dipahami bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin. Demokrasi adalah jalan untuk membangun masa depan bersama. Dan masa depan tidak dibangun dalam lima tahun. Ia dibangun dari gagasan besar, kerja kolektif, dan keberanian untuk berpikir jauh melampaui horizon kekuasaan, melampaui usia 1 a 2 generasi.
“Pemerintahan yang baik bukanlah yang membuat semua orang senang hari ini, tetapi yang menjamin anak cucu kita akan hidup lebih baik dari kita.” (Anonim)
Saran dan Rekomendasi untuk Menyelamatkan Masa Depan
Untuk keluar dari perangkap pragmatisme jangka pendek dan membangun fondasi negara yang kokoh, penulis merekomendasikan lima langkah kebijakan:
1. Merumuskan Visi Nasional Jangka Panjang. Pemerintah dan DPR perlu menyusun National Grand Vision 2045–2070 yang melibatkan tokoh lintas bidang: akademisi, industri, TNI, ilmuwan, dan masyarakat sipil. Ini harus menjadi acuan lintas rejim/ lintas presiden.
2. Memperkuat Otoritas Perencana Strategis. Bappenas dan Lemhannas harus diberi peran super-strategis dan independen dalam mengawal kebijakan lintas rezim, termasuk audit visi dan evaluasi arah pembangunan.
3. Reformasi Pendidikan Politik Publik dan Elite. Rakyat perlu disadarkan bahwa pemilu bukan akhir dari segalanya. Dan elite harus dikader menjadi negarawan, bukan sekadar politisi. Partai harus didorong membina statesmanship.
4. Mewajibkan Debat Strategis Nasional Setiap Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan media wajib mendorong debat berbasis visi jangka panjang, bukan hanya isu-isu populis sesaat. Rakyat perlu tahu “Indonesia seperti apa” yang dijanjikan, kita mau kemana?
5. Menetapkan Prioritas Nasional Strategis yang Tidak Boleh Diganggu Gugat. Seperti pertahanan, kedirgantaraan, pangan, dan energi. Perubahan kekuasaan tidak boleh menggagalkan rencana jangka panjang yang sudah disepakati bersama.
Harus disadari bersama bahwa Indonesia punya semua modal untuk menjadi kekuatan utama dunia. Yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa negara tidak bisa dibangun dalam lima tahun. Butuh strong Leader, butuh arah. Butuh kontinuitas. Butuh visi yang melampaui pemilu. Karena sejarah tidak ditulis oleh mereka yang paling populer, tetapi oleh mereka yang paling jauh memandang.
Referensi:
1 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Penerbit Tintamas, 1960.
2 Chappy Hakim, Quo Vadis Kedirgantaraan Indonesia?, Penerbit Kompas, 2012.
3 Lembaga Ketahanan Nasional RI, Kajian Strategis Pertahanan Jangka Panjang, 2020.
4 Ir. Soekarno, Pidato HUT RI ke-19, Jakarta, 17 Agustus 1964.
5 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid I-II, 1963.
6 Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes, Princeton University Press, 2007.