Reformasi Ekonomi Tanpa Arah Bikin Rupiah Lemah

Image 3

Oleh: Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik

DALAM sepekan terakhir, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin menguatkan indikasi bahwa reformasi ekonomi di Indonesia berjalan lambat dan tampak tanpa arah yang jelas. Rupiah yang sempat berada di level Rp16.330 per dolar AS pada 19 Februari 2025, kini merosot hingga Rp16.501 per dolar AS.

Pelemahan rupiah beriringan dengan koreksi tajam pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang turun 2,14% atau 136,52 poin ke level 6.245,14 pada akhir sesi perdagangan Jumat, 21 Maret 2025. Koreksi ini dipicu oleh aksi ambil untung investor setelah reli singkat. Ditambah meningkatnya kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi domestik. Termasuk pelemahan konsumsi dan ketidakpastian kebijakan.

Volatilitas ini bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti kebijakan moneter AS. Kondisi ini juga mencerminkan kelemahan fundamental ekonomi domestik yang belum mampu menopang stabilitas rupiah.

Fundamental Rapuh

Defisit transaksi berjalan yang terus berlanjut menjadi salah satu penyebab utama depresiasi rupiah . Indonesia masih lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, sehingga permintaan terhadap dolar AS meningkat dan menekan nilai tukar rupiah. Data Bank Indonesia menunjukkan defisit transaksi berjalan kembali melebar ke 0,8% dari PDB pada kuartal IV 2024.

Masalah klasik yang belum terselesaikan adalah ketergantungan pada ekspor komoditas. Hilirisasi yang digaungkan pemerintah masih belum optimal karena kurangnya kesiapan infrastruktur dan daya saing industri manufaktur. Akibatnya, saat harga komoditas global melemah, pendapatan ekspor Indonesia ikut tertekan, yang berimbas pada pelemahan rupiah.

Inkonsistensi kebijakan fiskal dan moneter semakin memperburuk situasi. Pemerintah mengusulkan belanja negara sebesar Rp3.613,1 triliun untuk tahun 2025, namun efektivitas penyerapan anggaran dan implementasi program masih menjadi pertanyaan besar. Bank Indonesia juga terus berupaya menjaga stabilitas rupiah dengan intervensi pasar, tetapi strategi ini tidak cukup kuat tanpa penguatan fundamental ekonomi yang lebih luas.

Krisis Kepercayaan

Ketidakjelasan arah reformasi ekonomi menimbulkan krisis kepercayaan di pasar. Investor, baik domestik maupun asing, menjadi ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa investasi asing langsung (FDI) hanya tumbuh 2,5% pada kuartal I 2025. Masih jauh di bawah target 6-7%.

Ketidakpastian ini juga dimanfaatkan oleh spekulan di pasar derivatif. Mereka menggunakan strategi seperti short selling rupiah dan carry trade reversal untuk mendapatkan keuntungan dari depresiasi rupiah. Aktivitas spekulatif ini memperburuk volatilitas nilai tukar, menciptakan efek bola salju yang semakin menekan rupiah.

Dampak Luas

Jika depresiasi rupiah terus berlanjut tanpa adanya upaya konkret dari pemerintah, dampaknya akan semakin luas terhadap perekonomian nasional.

Pertama, inflasi akan meningkat karena melemahnya rupiah membuat harga barang impor, termasuk bahan baku industri dan energi, menjadi lebih mahal. Inflasi sudah mencapai 4,2% pada Februari 2025, mendekati batas atas target Bank Indonesia.

Kedua, beban utang luar negeri bertambah. Pada Januari 2025 Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 427,5 miliar, meningkat 5,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Dari jumlah tersebut, ULN pemerintah tercatat US$ 204,8 miliar, tumbuh 5,3%. Bank Indonesia (BI) menyebut utang ini menunjukkan tren kenaikan yang terus berlanjut.

Terjadinya pelemahan rupiah dari Rp16.300 per dolar AS menjadi Rp16.501 per dolar AS, praktis memperberat beban utang dalam rupiah. Jika sebelumnya ULN setara dengan Rp6.969,75 triliun, kini meningkat menjadi Rp7.055,78 triliun, bertambah sekitar Rp86 triliun hanya karena perubahan kurs. Depresiasi rupiah ini bisa mempersempit ruang fiskal pemerintah dan meningkatkan biaya pembayaran utang.

Ketiga, investasi dan pertumbuhan ekonomi berisiko melambat. Investor memutuskan menunda ekspansi bisnis mereka di Indonesia akibat ketidakpastian dalam fluktuasi nilai tukar. Kondisi ini pengaruhnya terhadap target pertumbuhan ekonomi 5,1% hingga 5,5% untuk tahun 2025 sulit bisa tercapai.

Konsistensi Reformasi

Pelemahan rupiah saat ini bukan sekadar fenomena jangka pendek akibat sentimen global. Kondisi ini juga cerminan dari stagnasi reformasi ekonomi tidak memiliki arah yang jelas. Tanpa langkah konkret untuk mempercepat reformasi struktural, meningkatkan daya saing industri, dan memperbaiki kredibilitas kebijakan, rupiah akan tetap rentan terhadap spekulasi pasar.

Pemerintah dan Bank Indonesia harus segera bertindak. Pertama, menjamin konsistensi kebijakan reformasi ekonomi, terutama dalam hilirisasi industri, insentif investasi, dan reformasi perpajakan. Kedua, meningkatkan cadangan devisa untuk menghadapi volatilitas di pasar mata uang. Ketiga, memperkuat koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk keseimbangan dalam perekonomian.

Langkah nyata ini dibutuhkan untuk membangun kepercayaan terhadap rupiah yang semakin semakin terkikis. Tanpa kepercayaan terhadap Rupiah, Indonesia akan semakin tertinggal dalam persaingan ekonomi global.

Berita Terkait

Berita Lainnya