Jakarta, MNID. Laporan APBNKita edisi Februari 2025 yang disusun Kementerian Keuangan memperlihatkan rapor merah kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati itu. Penerimaan pajak mengalami penurunan signifikan hingga sebesar 41,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Bila diuangkan, dana yang tidak dapat ditarik pemerintah dari sektor pajak sebesar Rp 64 triliun.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengatakan, kinerja buruk itu disebabkan dua faktor.
Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Dan kedua, sistem Coretax yang dikembangkan Kementerian Keuangan membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksi pajak.
“Akibatnya transaksi menjadi terhambat. Rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasi nya defisit APBN rentan diatas 3% dan bisa berpotensi impeachment.” kata Huda.
Selain itu, belanja pemerintah pusat melambat sebesar 10,76 persen, sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam -45,5 persen year on year.
Sementara Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Askar, mengatakan belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi.
“Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi dan memangkas pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam keterangan yang sama.
“Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya,” sambungnya.
Dia membandingkan kondisi yang dialami Indonesia dengan yang terjadi di Argentina. Presiden Argentina, Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan. Namun demikian, penerimaan pajaknya sukses dinaikkan hingga 11 persen pada bulan Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal.
Vietnam juga melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi. Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus; anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali.
“Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10.000 triliun. Beban bunga utang nya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi.” kata Bhima.
Kembali ke Nailul Huda. Dia menambahkan, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program pemerintah yang ambisius tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Ini yang membuat pemerintah mengambil langkah efisiensi secara masif.
Belanja dipotong hingga Rp 306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius Pemerintah.
“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur karena gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax,” demikian Bhima.