Oleh: Syafruddin Karimi, Departemen Ekonomi Universitas Andalas
PEMERINTAH seharusnya menyampaikan kondisi fiskal secara transparan dan real-time agar masyarakat dan pelaku ekonomi memahami realitas ekonomi yang terjadi. Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang meminta masyarakat tidak mendramatisir penurunan penerimaan pajak hingga Februari 2025 justru mengesankan adanya upaya menutupi fakta penting yang bisa berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi.
Ketika penerimaan pajak turun drastis sebesar 30,1% dibandingkan tahun lalu, pemerintah seharusnya mengakui tantangan yang dihadapi alih-alih menyepelekan dampaknya.
Penerimaan Pajak Turun: Sekadar Pola Musiman atau Tanda Bahaya?
Pemerintah beralasan bahwa penerimaan pajak cenderung lebih rendah pada awal tahun, tetapi penurunan yang terjadi kali ini jauh lebih dalam dari tren sebelumnya. Jika ini sekadar pola musiman, mengapa APBN sudah mengalami defisit sejak Februari, lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?
Penerimaan pajak turun drastis dari Rp 269,02 triliun pada Februari 2024 menjadi hanya Rp 187,8 triliun pada Februari 2025.
Penerimaan PPN Dalam Negeri (PPN DN) anjlok 92,7%, mencerminkan konsumsi masyarakat yang tertekan.
Defisit APBN muncul lebih awal dibandingkan tahun lalu, yang baru mengalami defisit pada Mei 2024.
Jika pemerintah hanya menyalahkan faktor teknis dan harga komoditas, itu adalah analisis yang terlalu dangkal. Penurunan ini menunjukkan masalah struktural dalam perekonomian, seperti melemahnya konsumsi domestik, rendahnya profitabilitas perusahaan, dan gangguan dalam administrasi perpajakan akibat implementasi sistem Coretax yang belum matang.
Krisis atau Momentum Reformasi?
Sri Mulyani menyebut defisit ini masih dalam batas aman dan tidak perlu dikhawatirkan. Tetapi, pasar keuangan memiliki pandangan berbeda. Goldman Sachs telah menurunkan peringkat aset investasi Indonesia, memproyeksikan defisit APBN 2025 bisa melebar menjadi 2,9% dari PDB, lebih tinggi dari target 2,53%.
Jika pemerintah terus menutup-nutupi masalah fundamental ekonomi, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus defisit yang makin lebar, utang yang membengkak, dan daya beli masyarakat yang semakin melemah. Jika ini bukan sinyal krisis, maka pemerintah harus menjelaskan rencana reformasi fiskal yang konkret untuk mengatasi tantangan ini.
Pemerintah memiliki dua pilihan:
1. Mengakui krisis dan mengambil langkah reformasi yang nyata. Ini termasuk transparansi fiskal, reformasi perpajakan yang lebih efisien, dan kebijakan yang mendorong investasi serta konsumsi.
2. Menutup-nutupi masalah dan mempertahankan kebijakan yang tidak efektif. Ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi dan menurunkan kepercayaan investor serta masyarakat terhadap pemerintah.
Masyarakat Berhak Mengetahui Fakta Ekonomi Secara Transparan
Keengganan pemerintah untuk mengungkapkan kondisi fiskal yang sebenarnya hanya akan menciptakan ketidakpastian lebih besar. Jika masyarakat dan pelaku usaha memahami kondisi ekonomi secara transparan, mereka dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan.
Pemerintah harus menyampaikan data fiskal secara real-time, termasuk dampak dari gangguan Coretax dan tekanan pada konsumsi domestik.
Pemerintah harus menyesuaikan kebijakan fiskal dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya, bukan hanya berdasarkan asumsi yang terlalu optimistis.
Belanja negara harus lebih produktif, bukan hanya terserap ke subsidi atau birokrasi yang tidak efisien.
Jika pemerintah masih menganggap bahwa masyarakat tidak perlu mengetahui kondisi ekonomi secara transparan, maka kepercayaan terhadap kebijakan fiskal akan semakin luntur. Saatnya pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk reformasi fiskal yang lebih nyata dan berkelanjutan.