Oleh: Andante, Kajian Garis Tengah
BERSELANG hampir satu bulan sejak kehebohan akibat kebijakan Menteri ESDM soal LPG 3 kg atau LPG melon, kini dunia energi nasional kembali terguncang dengan dibongkarnya korupsi pengadaan impor minyak dan BBM di Pertamina oleh penyidik Kejaksaan Agung.
Kasusnya begitu heboh karena potensi kerugian negara mencapai 197 trilyun. Itu per tahun. Kalau 5 tahun sesuai rentang penyidikan dari 2018-2023 maka total potensi kerugian negara mencapai seribu triliun atau kuadriliun. Menjadi puncak klasemen dari liga korupsi di Indonesia yang dibuat oleh netizen.
Di samping potensi kerugian, menarik melihat para tersangka yang ditangkap Kejagung. Rata-rata masih muda dengan usia 40-50 tahun. Mereka level manager, VP dan direksi anak perusahaan Pertamina. Anak-anak muda ini mengguncang dunia energi nasional. Publik kaget, sekaligus marah. Sejauh mana sesungguhnya anak-anak muda ini mengatur dan mengkondisikan penyelewengan impor minyak seperti tuduhan jaksa? Menarik untuk menelaah lebih dalam.
Salah satu tersangka yang ditangkap dari pihak swasta adalah Kerry, anak dari Muhammad Riza Chalid (MRC) yang selama beberapa tahun dianggap sebagai raja impor minyak dan tidak tersentuh hukum.
Dan kemudian dilanjutkan penggeledahan rumah MRC itu sendiri di Jakarta Selatan. Ini pertama kali dalam sejarah, mafia impor minyak diproses hukum setelah lebih dari dua dekade seperti kebal hukum. Bagi pelaku bisnis minyak dan juga karyawan Pertamina yang menangani bagian ini tentu paham sepak terjang jaringan MRC.
Jejaringnya mencengkram kemana-mana. Mengatur pergantian pejabat Pertamina. Bahkan sampai istanapun tidak berdaya. KPK yang pernah membongkar Petral juga entah kemana kasusnya sekarang. Mengelola transaksi 1-2 triliun per hari tentu angka yang tidak sedikit. Keuntungan yang didapat lebih dari cukup untuk membiayai proses politik di negeri ini. Sehingga alih-alih kekuasaan mau menghapus korupsi, yang terjadi justru kolaborasi dengan mafia minyak.
Kasus ini menjadi pertanda penting dari pemerintahan Prabowo yang menempatkan ketahanan energi sebagai salah satu program utama. Banyak program ketahanan energi selama ini mandeg gegara perilaku mafia impor minyak. Seperti misalnya pembangunan kilang baru, pengaktifan sumur minyak baru, de-diselisasi pembangkit diesel PLN dan hilirisasi gas alam yang sumbernya melimpah di dalam negeri.
Semua contoh program di atas jika berjalan dengan baik akan mengurangi impor minyak. Namun hal itu tidak berjalan karena pemerintah seperti ogah-ogahan. Lebih senang impor minyak yang tendernya lebih banyak dibuat per tiga bulan ketimbang kontrak jangka panjang.
Mengutip tulisan DR. Syahganda Nainggolan bahwa Prabowo sangat serius untuk membasmi korupsi di Indonesia. Dua hal soal korupsi yang dihadapi Prabowo menurut DR. Syahganda, yaitu struktural dan budaya. Tidak mudah mengatasinya, karena korupsi sudah membudaya di Indonesia. End to end menurutnya.
Mengingat besar nilainya dan jaringan mafia yang sudah kemana-mana, tentu kasus korupsi impor minyak ini menjadi penting sebagai pertanda sejauh mana pemerintah serius membongkar sampai ke akar-akarnya dan kemudian membangun sistem baru yang lebih transparan. Dari diskusi dengan beberapa kawan yang berpengalaman di bidang ini, sesungguhnya tidak sulit mengungkap borok impor minyak ini. Yang sulit adalah apakah pemerintah punya kemauan yang kuat dan serius untuk membongkarnya.
Kasus oplosan yang ramai di publik sebetulnya belum ada apa-apanya dibanding gurita korupsi mafia minyak ini. Malah hal ini cenderung menjadi pembelokan isu dari perihal korupsi besar dibalik itu.
Tentu kita berharap besar bahwa kasus oplosan ini hanya pintu masuk penyidik untuk membongkar kasus korupsi impor minyak sekaligus menangkap mafianya. Seperti penangkapan mafioso terkenal Alphonse Gabriel Capone atau Al Capone pada tahun 1931 yang ditangkap karena kasus pajak. Setelah bertahun-tahun tidak tersentuh hukum.
Dari sisi Pertamina tentu ini juga tamparan keras. Selama ini para enginer muda Pertamina baik di pengolahan (kilang) maupun di bagian hulu migas terbukti bagus kinerja dan dedikasinya. Mereka kerja keras dan profesional. Kasus ini tentu mengganggu mental mereka.
Apalagi setelah sebelumnya ada kasus mantan dirut Pertamina Karen Agustiawan yang vonisnya diperberat menjadi 13 tahun. Padahal Karen menjalankan tugas negara. Namun demikian, terbongkarnya kasus ini justru bisa menjadi momentum bagi awak Pertamina untuk menyusun langkah baru, mekanisme baru dan semangat baru untuk Pertamina yang lebih baik. Sekarang saatnya. The New Pertamina.