Oleh: Hendarsam Marantoko, Praktisi Hukum/Ketum LISAN
NARASI guru besar abal-abal yang diucapkan jurnalis Tempo dalam program "Bocor Alus" adalah bentuk pelecehan dan provokatif. Berlindung di bawah kebebasan Pers, Tempo seolah kebal hukum untuk menebar fitnah dan kebencian.
Bak memancing reaksi dan memanfaatkan moment di tengah kecaman sejumlah pihak, Majalah Tempo menjual berita terbaru edisi 9 Juni 2024 “Skandal Guru Besar Abal-Abal”. Istilah anak jaman sekarang “pansos” (panjat sosial), mendompleng pada arus algoritma, aji mumpung. Mumpung sedang hangat dan banyak perhatian, kiranya kesempatan baik untuk menambah orang berlangganan Majalah Tempo.
Sebelumnya, pihak kampus yang merasa terancam kredibilitasnya dengan tuduhan Tempo, telah memberikan klarifikasi, bahkan mengungkap sejumlah data dan fakta perihal kelayakan pengukuhan guru besar Sufmi Dasco Ahmad.
Soal jurnal sebagai syarat pengukuhan guru besar sufmi Dasco Ahmad yang dipelintir "Bocor Alus", memang jurnal yang sebelumnya diajukan namun ditolak oleh Dikti. Sementara beberapa jurnal yang disetujui tidak dikutip dan disinggung Ini mengindikasikan adanya unsur kesengajaan untuk membuat kegaduhan dengan melemparkan fitnah dan kebohongan.
Begitu pula dengan posisi Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang belum menjadi guru besar, tetapi direndahkan dengan narasi guru besar abal-abal. Ini narasi ngaco bin ngawur. Orang belum jadi guru besar kok disebut guru besar abal-abal.
Pemberitaan Tempo selalu mengandalkan “katanya”. Tidak ada sumber yang jelas dan memadai dari investigasi Tempo. Narasi yang tidak disertai data semacam itu hanyalah omong kosong. Tidak layak untuk disampaikan ke publik. Kecuali Tempo berani mengungkap data yang diperoleh secara terbuka ke publik. Supaya para pihak yang terkait, bisa saling menyampaikan data dan kebenaran. Tentu Tempo tak akan mau dan berani melakukan itu, taruhannya kehilangan kepercayaan yang meluas karena kebohongannya kian terungkap.
Insan pers harusnya menjaga jarak agar tidak serampangan menjustifikasi tanpa data dan fakta. Ini kode etik pers yang tentu diketahui oleh para jurnalis Tempo. Ada institusi resmi yang lebih legitimit untuk menghakimi dan membatalkan gelar guru besar. Setelah itu, jika sudah ada keputusan resmi, baru lah Tempo boleh melempar narasi guru besar abal-abal.
Tempo selalu ingin terlihat seolah yang paling kritis dan si paling oposisi apalagi itu tentang hal yang berbau Prabowo, tak heran saat ini semua yang berhubungan dengan pemerintah, bagi Tempo semuanya salah, harus diserang. Padahal ini hanya soal strategi pasar ala Tempo, merawat dan mengorgasme segelintir pihak yang selalu menaruh sentimen dan kebencian. Itu lah idealisme yang dijaga oleh Tempo, tak perduku menebar kebohongan, yang penting targetnya pemerintah atau pendukung pemerintah. Sisanya, tinggal berlindung pada kedok kebebasan Pers.