Seorang pembelot dari Korea Utara kembali tampil ke hadapan publik mengisahkan kesulitan hidup dan penderitaan yang dialaminya di tanah kelahirannya. Yoosung Park, nama pembelot itu, baru-baru ini berbicara di sebuah seminar mengenai HAM di Kathmandu, Nepal.
Seminar bertema “Debate for Justice: On Lack of Democracy and Human Rights and Humanitarian Crisis in the Global Context” itu diselenggarakan media setempat Ekalopati, dan dihadiri sejumlah tokoh dan aktivis HAM Nepal. Di antara yang hadir adalah anggota Parlemen Pradeep Poudel, aktivis HAM Kapil Kafle, Bhawani Kharel, Gauri Pradhan, mantan kepala Provinsi Madhesh Rajesh Ahiraj, advokat Swagat Nepal, advokat VP Adhikari, dan Wakil Sekretaris Pemerintah Nepal Shambhu Dev.
Park mengataakan sebelum melarikan diri dari Korea Utara dia sedang menjalani wajib militer sambil menjaga ibunya yang sakit. Ayahnya, menurut Park, sudah lebih dahulu melarikan diri ke Korea Selatan dua tahun sebelumnya. Sejak ayahnya melarikan diri, pergerakan Park jadi sulit. Dia dimata-matai oleh pemerintah.
Pada akhirnya Park berhasi melarikan diri dari Korea Utara melalui China. Tidak mudah berada di China karena dia harus berhati-hati dengan orang-orang yang akan memanfaatkan diri dan melaporkan keberadaannya di China untuk mendapatkan imbalan dari pemerintah Korea Utara.
Park menceritakan dilema yang dihadapinya saat hendak meninggalkan Korea Utara. Dia ingin mengajak ibunya, namun karena ibunya sakit dia tak bisa membawa ibunya.
“Ibu saya sudah menyimpan racun di kalungnya. Dia katakan, kalau saya tertangkap dia akan mengambil tindakan yang paling ekstrem (bunuh diri),” ujar Park. Bila tertangkap, kata Park, dia akan dimasukkan ke penjara politik dan menjalani kehidupan yang sangat menderita.
Park kini aktif mengadvokasi demokrasi dan HAM melalui YouTube. Ia membuat film dokumenter tentang situasi demokrasi dan HAM di Kuba, Laos, Vietnam, Korea Utara, Venezuela, dan negara lain di dunia.
Aktivis HAM dan pemimpin demokrasi Nepal hadir dan menyampaian pendapat dalam kegiatan itu menyatakan bahwa despotisme yang dilakukan Kim Jong Un di Korea Utara tidak dapat ditoleransi.
Adapun anggota DPR Nepal, Pradeep Poudel, mengatakan keadilan merupakan prioritas, namun sulit diterapkan. Ia menambahkan, demokrasi dan hak asasi manusia saat ini berada dalam bahaya.
Pada bagian lain Poudel mengatakan terdapat peningkatan kasus pelanggaran HAM di Nepal, juga terdapat peningkatan ketidakpercayaan terhadap penguasa.
Pada gilirannya, aktivis HAM Gauri Pradhan mengatakan demokrasi dan hak asasi manusia merupakan syarat yang penting dalam kehidupan bernegara. Dia juga menyoroti kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih terjadi di sejumlah negara sepertiKuba, Laos, Vietnam, Korea Utara, dan Venezuela.