PILIHANNYA makin terbatas: Membiarkan negeri kita terperosok lebih jauh dalam tali-temali kekuasaan yang rakus atau memenangkan demokrasi sehingga negeri kita mencapai demokrasi yang lebih substantif. Semua itu terserah kepada rakyat, ratusan juta pemilih, yang akan memutuskan siapa nakhoda republik periode 2024-2029 pada pemungutan suara, 14 Februari 2024.
Ini adalah periode kritis sebab menentukan wajah Indonesia. Adakah kepemimpinan etis menjadi jantung dan soko guru kekuasaan? Atau perselingkuhan antara cabang-cabang kekuasaan yang menabrak etika akan kian menjadi-jadi? Akankah negeri kita bakal bertemu demokrasi yang sekadar menjadi kosa kata yang kehilangan ruh, sebab daulat rakyat akan dan telah diganti oleh daulat elite nasional yang menanggalkan prinsip-prinsip etika?
Pemilu 2024 adalah pertaruhan, perjuangan meletakkan kembali prinsip etik dalam politik. Saya ingat Megawati Soekarnoputri, orang nomor satu PDI Perjuangan sejak 1998 dan ikon perlawanan terhadap Orde Baru sejak dia menang dalam kongres luar biasa PDI di Surabaya, 1993 tapi dijegal pemerintah Soeharto yang otoriter.
Dalam politik elektoral, terkhusus pemilihan presiden sejak masih dipilih lewat MPR, Megawati selalu kalah. Pada 1999, PDIP menang pemilu dengan rekor suara yang hingga kini belum sanggup dipecahkan partai lain, tapi dalam pemilihan presiden, Mega dikalahkan oleh Abdurrahman Wahid. Di dua Pilpres yang dipilih secara langsung oleh rakyat, 2004 dan 2009, Mega kembali kalah. Kali ini oleh Susilo Bambang Yudhoyono--yang notabene adalah Menko Polkam atau "pembantunya" di kabinet.
Tapi, di atas segalanya Mega "firm" dan "clear" dalam meletakkan ambisi pribadi, ketaatan terhadap konstitusi, serta prinsip etik, kecuali dalam satu hal: terus-menerus memimpin PDI Perjuangan. Pada 2004, sebagai petahana, dia tidak cawe-cawe dalam politik partai lain sekalipun mungkin dan bisa dengan peralatan atau instrumen kekuasaan yang dimilikinya sebagai presiden.
Pada 2014, Mega rela tidak mencalonkan diri sebagai kandidat presiden lantaran tahu diri menyaksikan pasar politik yang waktu itu melahirkan "the rising star", Joko Widodo. Saat itu Jokowi terbantu tingginya popularitas dan elektabilitas yang dikantonginya berkat sokongan politik populisme yang genuine (?), atau sengaja dipoles untuk meneguhkan citra sebagai tokoh yang dekat rakyat di luar orbit elite Jakarta. Mega mencapreskan Jokowi. Alhasil PDIP lalu menggalang koalisi untuk mendapatkan tiket bagi Jokowi agar masuk Pilpres 2014.
Pada 2023, Mega juga tak tersandera hasrat "kedinastian". Jika dia mau, karena memang punya hak prerogatif sebagai ketua umum PDI Perjuangan, Mega dapat memilih putrinya, Puan Maharani sebagai capres PDI Perjuangan. Itu tak perlu kerja sama dengan partai lain karena suara atau jumlah kursi mereka di DPR setara dengan satu tiket Pilpres. Alih-alih mendapuk Puan, Mega jauh lebih rasional: mendaulat kadernya, mantan gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai capres PDI Perjuangan.
Dan satu lagi, dalam HUT PDI Perjuangan, 10 Januari 2023, di depan para kadernya, termasuk Presiden Joko Widodo, Mega menegaskan bahwa jabatan presiden itu maksimal dua kali. Itu pengumuman yang mengunci wacana, cek ombak atau aksi politik yang menginginkan agar jabatan presiden diubah jadi tiga periode. Sikap seperti ini diperlukan karena bagaimana pun PDI Perjuangan adalah kekuatan besar yang menentukan pertarungan politik di DPR.
Dan, yang lebih penting, ada prinsip etik di balik pembatasan kekuasaan presiden yang cuma dua periode itu. Mereka yang terlibat dalam amendemen UUD 1945 tak ingin lagi praktik kekuasaan seperti masa Sukarno dan Soeharto. Ketika itu tak ada pembatasan periode jabatan presiden. Soeharto bisa berkuasa hingga 32 tahun.
Kekuasaan yang tak dibatasi menerbitkan "abuse of power", korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan bukan itu saja, kekuasaan yang ugal-ugalan dapat menyebabkan pembantaian atau malapetaka kemanusiaan. Otoritarianisme Soeharto adalah hasil dari paduan hasrat berkuasa manusia (binatang politik) yang tidak dibatasi, partai politik yang tak mampu melaksanakan tugas check and balances di DPR, serta depolitisasi yang membungkam rakyat sekadar sebagai "objek" kekuasaan.
Jadi, seandainya presiden yang menjabat selama dua periode (10 tahun), sukses mengantarkan negeri ini meraih pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen pun, yang bersangkutan tak dapat mencalonkan lagi untuk periode ketiga. Itu berlaku pada SBY atau Jokowi. Pada kasus Jokowi, ekonomi Indonesia rata-rata cuma tumbuh lima persenan--sesuatu yang tidak membanggakan meskipun dia menggeber pembangunan infrastruktur paling massif sepanjang Indonesia berdiri.
SBY legawa menyaksikan Pilpres 2014 sebagai pensiunan presiden. Begitu pula Barack Obama di Amerika Serikat, atau George Walker Bush. Itu prinsip etik yang dicantumkan dalam konstitusi, dan agar terwujud membutuhkan presiden yang bijaksana dan pandai menekan hasrat atau ambisi berkuasa.
Untuk perkara ini, publik tak mendapatkan keteladanan dari Presiden Jokowi. Beliau ingin tetap berkuasa dengan plot putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai wakil presiden 2024-2029.
Di sebuah kesempatan, sang presiden mengatakan, Gibran baru dua tahunan memimpin Solo sehingga tak relevan dibicarakan dalam kontestasi menuju Pilpres 2024.
Tapi, selepas keputusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia capres-cawapres, Presiden Jokowi membiarkan sang anak maju Pilpres kendatipun belum berusia 40 tahun. Ini adalah preseden pertama dalam sejarah republik di mana anak dari presiden terdahulu maju di perhelatan pilpres. Dan jika terpilih sebagai wakil presiden, itu adalah noktah hitam dalam demokrasi kita.
***
Indonesia memang tak serius menghalau dinasti politik. Pada 2015 silam, DPR dan pemerintah kompak ketika mencantumkan larangan terhadap dinasti politik (pasal 7 huruf r UU 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah).
Pasal ini memuat syarat menjadi kontestan Pilkada, yaitu "warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana".
Penjelasan atas pasal 7 huruf r lebih tangkas menjelaskan maksud "tidak memiliki konflik kepentingan", yaitu tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal ini jelas dan tegas menjawab kegelisahan publik waktu itu menyangkut keberadaan tokoh tertentu yang tersambung dengan dinasti politik. Semangat tertinggi dari pasal itu sebetulnya tidak hendak membatasi hak politik (hak dipilih) dari tokoh tertentu yang terhubung dengan sesuatu yang disebut dinasti, tapi memberi jeda satu kali masa jabatan. Misi adiluhung dari pasal ini satu: Mengerem potensi korupsi yang dalam periode pilkada langsung 2005-2015 identik dengan dinasti politik.
Pasal soal dinasti politik itu mati muda. Mahkamah Konstitusi membatalkannya tahun 2015 itu juga. Merespons uji materi atas pasal 7 huruf r UU 8/2015, majelis hakim konstitusi menilai pasal tadi bertentangan dengan Pasal 28i ayat 2 UUD 1945.
Pasal hasil amendemen ini menyebutkan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."
Semangat dari pasal 7 huruf r UU Pilkada tahun 2015 itu sesungguhnya dapat dihidupkan dan dibawa ke pesta elektoral yang lebih tinggi, yakni Pilpres. Terlebih dalam kasus Gibran, terbukti telah terjadi pelanggaran etik berat oleh Ketua MK, Anwar Usman--yang tak lain adalah ipar Presiden Jokowi dan paman dari Gibran. Diduga ada konflik kepentingan di balik keputusan MK itu.
***
Seterusnya kita semua tahu. Protes oleh kalangan kampus sejak UGM sampai Unpad, dari UI hingga Unhas seperti ombak. Kalau disarikan, kalangan kampus mendesak sebuah pemilu yang luber dan jurdil. Dan itu memerlukan teladan dari Presiden Jokowi dengan tetap mengedepankan netralitas seperti dijanjikannya beberapa waktu lalu.
Ambil contoh "Seruan Padjadjaran" dari civitas akademika Universitas Padjadjaran, Bandung, Sabtu (3 Februari 2024). Tiga poin pentingnya berseru: Pertama, pelaksanaan demokrasi harus menjunjung tinggi etika dan norma hukum yang bersandar pada Pancasila dan UUD 1945. Hukum tidak hanya teks semata, melainkan juga nilai dan prinsip yang ada di dalamnya dan dijalankan secara konsisten.
Kedua, presiden harus menjadi contoh keteladanan kepatuhan terhadap hukum dan etika. Bukan justru menjadi contoh melanggar etika, apa yang diucap tidak sesuai dengan kenyataan.
Ketiga, negara dan pemerintah beserta aparaturnya harus hadir sebagai pengayom, penjaga, dan fasilitator pelaksanaan demokrasi yang berintegritas dan bermartabat dengan menjaga jarak yang sama dengan para kontestan pemilu.
Saya kira, suara kampus, adalah suara kecemasan, kegelisahan, dan tuntutan kepada presiden untuk kembali jadi kiblat etika dan menjadi teladan dalam pesta demokrasi. Itulah tanggung jawab kaum intelektual seperti diingatkan proklamator Mohammad Hatta di hari Alumni 1 Universitas Indonesia, 11 Juni 1957.
"Saya tidak ingin mengikuti begitu jauh tuduhan Julien Benda kepada kaum inteligensia. Tetapi saya ingin melihat kaum inteligensia Indonesia menunjukkan tanggung jawab moralnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita, dengan berpedoman kepada CINTA AKAN KEBENARAN, yang menjadi sifat bagi orang berilmu"
(buku Cendekiawan dan Politik, terbitan LP3ES, 1983).
Benda yang dimaksud Hatta pernah mengatakan dengan ketus, "Orang terpelajar yang disewa oleh yang berkuasa adalah pengkhianatan kepada fungsinya", dalam buku "La trahision des clercs" atau Pengkhianatan Kaum Intelektual.
Kampus-kampus telah menegur dengan keras, tapi jika itu belum cukup biarlah rakyat yang memutuskan dalam pemungutan suara, 14 Februari 2024. Saat itu adalah waktu yang sakral untuk mengalahkan Jokowi! Dengan cara itu, rakyat memenangkan demokrasi, memenangkan Indonesia.