. Keputusan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri untuk mengajukan kembali gugatan praperadilan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, dan karenanya harus dihormati.
Gugatan praperadilan kedua ini adalah hak Firli Bahuri setelah praperadilan sebelumnya dinyatakan tidak diterima atau niet onvanklijke verklraard (N.O).
Begitu dikatakan pakar hukum tatanegara Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan kepada redaksi beberapa saat lalu, Selasa (23/1).
“Itu adalah hak Pak Firli yang harus kita hormati dalam sebuah negara hukum. Putusan praperadilan sebelumnya bukan menolak permohonan beliau, tetapi hakim menyatakan N.O (niet onvanklijke verklraard) artinya permohonan "tidak dapat diterima". Hakim menerima eksepsi yang diajukan Termohon Polda Metro Jaya bahwa permohonan "obscuur libel" artinya kabur atau tidak jelas (onduidelijk) karena mencampur-adukkan antara hukum formil dan hukum materil. Padahal, obyek permohonan praperadilan hanya terbatas mempersoalkan hukum formil atau hukum acara,” urai Yusril.
Karena pengadilan menyatakan permohonan "tidak dapat diterima", maka hakim tidak memeriksa materi perkara. Dalam putusan seperti itu, Pemohon praperadilan berhak untuk mengajukan kembali permohonannya dengan memperhatikan pertimbangan hakim dalam putusan sebelumnya yang menyatakan "tidak dapat diterima" tersebut.
“Dalam praktik, sudah ada yurisprudensi pengajuan praperadilan yang kedua seperti itu diterima oleh pengadilan. Jadi tidak masalah,” ujarnya.
Yusril menambahkan, sidang praperadilan adalah sidang untuk menguji apakah prosedur penyelidikan dan penyidikan yang dikakukan penyidik sesuai dengan KUHAP dan Putusan MK No 21/PUU-XII/2014 atau tidak. Terutama, apakah ada “dua alat bukti permulaan yang cukup" sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Putusan MK di atas terpenuhi atau tidak dalam menetapkan Firli sebagai tersangka.
Pasal 184 KUHAP itu mengatur alat bukti yang dijadikan hakim untuk memutuskan apakah terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa atau tidak dalam sidang pengadilan.
Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka harus ada minimal dua alat bukti. Bukan soal berapa jumlah saksi yang diperiksa, apalagi tidak satupun yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri apa yang diduga atau disangka telah dilakukan seseorang, dalam hal ini, melakukan pemerasan atau menerima gratifikasi.
“Kalau saksi-saksi yang diperiksa itu menerangkan soal lain, yang tidak berhubungan dengan pemerasan dan gratifikasi, keterangan seperti itu tidak dapat dianggap sebagai salah satu dari dua alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud Pasal 184 dan Putusan MK,” kata Yusril lagi.
Demikian pula alat bukti surat. Kalau alat bukti surat yang diajukan tidak menerangkan apa-apa terkait dugaan telah dilakukannya pemerasan dan gratifikasi, alat bukti tersebut tidak dapat juga dikatakan sebagai bukti permulan yang cukup untuk menyimpulkan adanya pemerasan dan gratifikasi.
“Menunjukkan foto atau catatan yang dibuat seseorang, juga harus dipertanyakan apakah foto dan catatan tersebut akan menerangkan terjadinya pemerasan atau gratifikasi atau tidak. Kalau hanya foto dua orang sedang duduk, tentu foto itu tidak bisa menerangkan salah seorang adalah pemeras dan yang satunya lagi adalah orang yang diperas. Foto itu juga tidak dapat menerangkan salah seorang menyerahkan benda atau uang kepada yang lain sebagai gratifikasi. Kalau tidak bisa menerangkan apa-apa, maka surat dan foto seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai salah satu dari dua alat bukti permulaan yang cukup,” urainya.
Untuk menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup memang harus hati-hati, agar tidak menimbulkan penderitaan pada seseorang. Dinyatakan sebagai tersangka pelaku tindak pidana itu tidak enak. Bisa berdampak luas kepada harkat, martabat dan kehormatan seseorang dan keluarganya.
Karena itu, hakim bisa menguji apakah penyidik Polda Metro Jaya benar-benar memiliki minimal dua alat bukti yang cukup dalam menetapkan Firli sebagai tersangka pemerasan dan gratifikasi atau tidak, hakim melakukan "external control" terhadap polisi, apakah keputusannya menetapkan Firli menjadi tersangka sesuai KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 atau tidak.
Kalau tidak, hakim berwenang menyatakan penetapan itu tidak sah dengan segala akibat hukumnya termasuk tidak sahnya penggeledahan, penyitaan dan penahanan terhadap seseorang. Kontrol eksternal dari pengadilan ini dimaksudkan untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
“Secara prinsip kedudukan antara penyidik sebagai aparat penegak hukum dengan seseorang yang dijadikan sebagai tersangka itu adalah seimbang dan sejajar. Hukum harus ditegakkan dengan adil, bukan dengan kesewenang-wenangan,” demikian Yusril.