Hanief Adrian, Alumni ITB dan Sekjen RMPG
MASYARAKAT hari ini semakin jamak menggunakan artificial intelligence (AI) dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa dan pelajar SMA mulai menggunakan aplikasi seperti ChatGPT untuk mengerjakan makalah. Beberapa siniar (podcast) menggunakan AI-generated image untuk menampilkan visual masa depan bahkan masa lalu dengan estetika di luar dugaan.
Sebagai alumni ITB, saya tentu memiliki optimisme bahwa AI di masa depan akan berperan penting membantu manusia dan masyarakat dalam menyelesaikan problematika berbagai aspek kehidupan, dari mulai ekonomi, sosial budaya hingga politik. AI tidak hanya akan membantu para pelaku usaha untuk mengambil keputusan bisnis, tetapi membantu para penyusun kebijakan publik untuk mengambil keputusan politik.
Dengan demikian, para pengambil keputusan politik dan bisnis sudah seharusnya merespon tantangan ini dengan menyiapkan masyarakat menghadapi dampak perkembangan teknologi AI, baik dalam spektrum positif maupun negatif. Kita tidak lagi semata-mata memandang AI seperti dalam film ‘Terminator’ atau trilogi ‘The Matrix’ di mana AI dapat mendominasi manusia dalam pengambilan keputusan yang bahkan salah satunya adalah memusnahkan atau memperbudak manusia. Kita akan memandang AI sebagai alat untuk mematangkan evolusi peradaban manusia.
Kematangan evolusi peradaban manusia yang dimaksud tentu saja masyarakat yang merdeka, berdaulat adil, makmur yang digariskan dalam Pancasila sebagai falsafah dasar kita berbangsa dan bernegara. Hegel menyebutnya sebagai absolute idee, Marx dan Engels menyebutnya masyarakat tanpa kelas sosial, Islam menyebutnya sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai aktivis politik, saya lebih senang menyebutnya sebagai Demokrasi 5.0, demokrasi yang diisi masyarakat super cerdas dengan inisiatif tinggi untuk melibatkan diri dalam pengambil kebijakan publik.
Demokrasi 5.0 dan Big Push
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mencanangkan program Super Smart Society pada 2019, sebuah program yang dikenal dengan Society 5.0 yang merupakan sebuah konsep masyarakat masa depan bergaya hidup aman, nyaman, sehat, damai dan memiliki kesempatan untuk mewujudkan segala impian mereka. Pemerintah Jepang berupaya mentransformasi masyarakat negeri sakura di tengah stagflasi (stagnasi atau kemandegan ekonomi ditambah inflasi) yang melanda mereka sejak awal 1990-an di mana laju inovasi teknologi mereka mencapai puncak (mature) lalu perlahan menurun (decline).
Masyarakat versi 5.0 adalah kelanjutan evolusi peradaban manusia dari masyarakat berburu (versi 1.0), masyarakat bertani (versi 2.0), masyarakat industri (versi 3.0), dan kini adalah Society 4.0 atau masyarakat informasi. Maka Demokrasi 5.0 adalah demokrasi dengan masyarakat dengan inisiatif tinggi untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur.
Persoalannya adalah, pranata dan lembaga sosial untuk mewujudkan masyarakat seperti ini masih menjalankan fungsinya sejak masa purba, hanya untuk menjaga hukum dan ketertiban (law and order). Ide progresif menjadi sulit terwujud jika pranata dan lembaga sosial kita masih purba.
Laju kemajuan teknologi mendobrak masyarakat yang tadinya tertutup dengan informasi yang dipilah menjadi masyarakat terbuka (open society) dan informasi tak terpilah. Siapapun bisa mengakses informasi melalui perangkat teknologi yang harganya semakin terjangkau. Ketimpangan tidak lagi soal kepemilikan aset, tetapi juga ketimpangan akses termasuk digital. Kepakaran menjadi mati dan siapapun bisa menjadi pakar tanpa jelas rekam jejaknya dalam kehidupan akademik. Siapapun bisa menjadi komentator politik, bisnis dan agama tanpa jelas latar belakang keilmuannya.
Untuk menanggulangi hal tersebut, pranata dan lembaga demokrasi kita tentu saja harus menjadi Demokrasi 5.0, di mana negara merespon kemajuan teknologi tersebut tidak hanya melindungi masyarakat dengan perangkat hukum, tetapi juga memberikan Big Push atau dorongan besar agar masyarakat semakin berinisiatif menyelesaikan problematika sosialnya secara mandiri.
Big Push tidak harus selalu terwujud dengan anggaran pendidikan 20 persen, BPJS, bantuan langsung tunai, kredit usaha tani atau program makan siang gratis. Big Push menuju Demokrasi 5.0 lebih dari itu, di mana negara mendukung masyarakat membentuk komunitas secara secara gotong royong dalam suasana riang gembira.
AI dan Fenomena Post-Democracy
Dalam mewujudkan Demokrasi 5.0, kita tentu perlu memahami situasi di mana masyarakat pada dasarnya semakin apatis terhadap politik demokrasi. Tingkat partisipasi pemilih (turnout voters) di negara-negara maju semakin menurun, walaupun para pemilih tetap membayar pajak dan institusi demokrasi tetap berjalan seperti biasa. Fenomena ini jamak disebut sebagai post-democracy.
Kemajuan teknologi hari ini dan apalagi setelah berkembangnya AI untuk masa depan, tentu akan memperluas fenomena post-democracy. Masyarakat menggunakan teknologi termasuk AI untuk menuntut ilmu, mencari nafkah kemudian Pemerintah menarik pajak dari mereka. Sikap masyarakat kekinian yang cenderung semakin individualistis, tentu saja akan memperdalam apatisme mereka terhadap politik. Dan apatisme itu akan semakin menjadi-jadi jika negara hanya menjalankan fungsinya sejak zaman purba.
Jika negara melakukan dorongan besar mewujudkan Demokrasi 5.0, tentu saja tidak dalam rangka mengurangi apatisme politik. Big Push menuju Demokrasi 5.0 pastilah akan menghasilkan pertengkaran (discord) antar warga yang berupaya mengakses sumber-sumber daya negara. Tetapi pertengkaran ini wajar dan bahkan harus dilinduni karena demokrasi memang memberikan ruang bagi warganya untuk bertengkar selama tidak mengancam keberadaan warga dan negara.
Dalam pertengkaran tersebut, secara alamiah masyarakat akan terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok yang menyatukan kepentingan, identitas dan lain sebagainya. Norman Packard sang penemu Teori Kekacauan (chaos theory) sudah memprediksi hal tersebut, ketidakteraturan pasti akan menemukan pola kekacauan. Pertengkaran (discord) antar warga perlahan akan menjadi kesepakatan (accord), dan kesepakatan atau konsensus adalah virtual asset kita untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Dalam soal partai politik misalnya, di tengah kejenuhan anak-anak muda Eropa terhadap political establishment yang abai terhadap hak cipta yang membatasi karya intelektual, muncul fenomena Partai Bajak Laut (Pirate Party) di Swedia. Anak-anak muda Spanyol membentuk Podemos (Kita Bisa) yang anti pengetatan anggaran akibat krisis finansial, dan masuk koalisi pemerintahan yang dipimpin Partai Pekerja Sosialis Spanyol pada 2020.
Anak-anak muda Indonesia yang memiliki inisiatif besar dalam politik mungkin bisa memikirkan gagasan partai politik lokal yang berlaku luas untuk seluruh Indonesia dan tidak hanya berlaku di Aceh saja. Partai politik lokal dapat menguatkan dirinya pada komunitas-komunitas anak muda lokal yang selama ini apatis terhadap partai politik mapan, tetapi sebenarnya ingin terlibat dalam penyusunan kebijakan publik.
Partai lokal ini tentu saja harus berjiwa muda, lincah dan cepat merespon aspirasi generasinya. AI dapat menjadi perangkat mereka menemukan aspirasi yang terserak di belantara dunia nyata dan maya yang tentu saja merupakan data sangat besar (Big Data) yang tentu saja membutuhkan Big Push!