Jakarta. Sejumlah aktivis, akademisi, dan praktisi tengah menggalang Petisi Keprihatinan Jakarta secara daring agar RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta (PDKJ) dibatalkan.
Petisi daring itu digagas oleh penulis, fotografer, akademisi, arsitek, perancang kota, aktivis prodemokrasi dan pegiat lingkungan hidup. Langkah ini adalah kelanjutan dari konferensi pers mereka saat menyampaikan maklumat keprihatinan di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur pada 22 Desember 2023 lalu.
Pasca konferensi pers tersebut, Andesha Hermintomo, Koordinator Kelompok Studi Dialokota, kembali mengabarkan kerugian-kerugian yang bakal dialami warga Jakarta termasuk warga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur jika RUU PDKJ disahkan. Menurutnya, dengan mengukuhkan kekuasaan absolut Presiden dalam menentukan Gubernur dan menjadikan Wakil Presiden sebagai pimpinan tertinggi dari Dewan Kawasan Aglomerasi maka pemerintah pusat bakal memiliki kendali penuh dalam mengelola Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Dengan demikian, secara otomatis, RUU PDKJ langsung mematikan kemandirian pemerintah daerah dan melumpuhkan peran serta warga dalam menentukan arah maju kotanya.
“Apapun alasannya, pembangunan ruang hidup warga tidak boleh satu arah, sepihak dan monopolistik. Kebijakan-kebijakan otokratis dapat dipastikan hanya akan memperparah ketidaksetaraan warga dalam mengakses dan menggunakan kesempatan, layanan, sumber daya serta ruang kota akibat kesenjangan ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya yang telah ada sebelumnya,” ujar Andesh.
Sebagai arsitek yang membangun ulang Kampung Akuarium, Jakarta Utara dengan pendekatan desain yang partisipatif, Andesh juga mengingatkan bahaya tata kelola ruang yang sentralistis.
“Sentralisasi pengelolaan akan memicu kembali ketegangan dan bahkan konflik antara pusat dan daerah seperti pada Orde Baru. Kemudian, sentralisasi akan mengeksploitasi pemanfaatan sumber daya ekonomi lokal dan menghancurkan identitas, sejarah, pengetahuan, budaya, serta kearifan lokal. Oleh karena itu, desentralisasi penting untuk dipertahankan jika ingin menjamin partisipasi publik dan meningkatkan rasa memiliki atas kota,” imbuhnya.
Muluskan Ambisi Presiden
Sementara itu, Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, menyoroti kembali keterkaitan RUU PDKJ dengan Peraturan Presiden (Perpres) 78/2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional yang merupakan Perubahan atas Perpres 62/2018.
Menurutnya, Perpres tersebut akan memudahkan Gubernur melangsungkan pengadaan dan pemanfaatan tanah demi pembangunan nasional. Dalam Perpres tersebut, proses dan solusi pengadaan dan pemanfaatan tanah menjadi lebih ringkas karena hanya melalui mekanisme santunan uang dan/atau permukiman kembali.
“Inti dari RUU PDKJ sebenarnya ingin menjadikan Jakarta sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global serta mendatangkan investasi sebesar-besarnya dengan jaminan dukungan Presiden melalui Gubernur yang ditunjuk langsung. Nah, Perpres 78/2023 akan berfungsi memuluskan ambisi tersebut. Tidak hanya Jakarta, kota dan kabupaten di sekitarnya pun ikut dikendalikan melalui Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden,” ujar Suci.
Padahal tanpa kontrol dan intervensi pusat yang berlebihan, perampasan ruang hidup warga masih berlangsung. Konflik ruang di Pulau Pari adalah salah satu contohnya. Warga yang telah bertahun-tahun hidup di Pulau Pari dan pulau-pulau lainnya, masih terancam tersingkir.
Kepulauan Seribu sendiri telah kehilangan enam pulau akibat eksploitasi sumber daya alam, seperti pencurian pasir dan abrasi. Adapun 110 pulau yang tersisa saat ini tengah menghadapi ancaman tenggelam karena naiknya permukaan air laut akibat krisis iklim.
“Jadi kita patut kuatir akan adanya kesewenang-wenangan di tengah ketimpangan penguasaan tanah dan kesenjangan kepemilikan hunian. Pengalaman penggusuran kampung-kampung di Jakarta Utara yang menempati tanah-tanah pemerintah pusat maupun daerah, berpotensi bakal terjadi di wilayah lain,” pungkas perempuan yang ikut berperan dalam memenangkan gugatan warga atas polusi udara di Jakarta (2021-2023).
Mengecoh Perhatian Publik
Kekuatiran lain datang dari Miya Irawati, akademisi dan peneliti senior Public Virtue Research Institute. Pengalaman kegagalan advokasi kebijakan selama ini, menurutnya, akibat praktik curang rezim dengan mengecoh perhatian publik atau menciptakan konflik horizontal.
“Potensi disahkannya RUU PDKJ ini sangat besar. Pertama, karena minimnya kesadaran publik yang perhatiannya didominasi oleh berita-berita terkait Pilpres dan Pemilu. Kedua, sebagai fasilitas kekuasaan pemerintahan pusat yang absolut, UU PDKJ pasti akan menggiurkan kelompok politik manapun. Ketiga, adanya tuntutan sebuah kelompok masyarakat yang diklaim menginginkan Presiden menunjuk langsung Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD,” ujar Miya.
Miya yang merupakan kandidat penerima Aga Khan Award for Architecture 2022 lalu, menutup rilis bersama ini dengan harapan membesarnya gerakan penolakan RUU PDKJ.
“Tidak ada yang tak mungkin. Meskipun ada kemungkinan RUU PDKJ akan disahkan pada Januari 2024 mendatang atau hanya tersisa beberapa hari lagi, namun justeru dengan memanfaatkan liburan natal dan tahun baru, kami berharap warga Jakarta memperbincangkan masalah ini, tergerak ikut menolak demi membela ruang hidup dan hak-haknya. Nah, petisi ini adalah upaya untuk memicunya,” demikian Miya.