. Putusan Hakim tunggal Imelda Herawati tidak menerima (Niet Ontvankelijke Verklaard) permohonan yang diajukan Firli Bahuri bagaimana pun juga harus dihormati.
Namun demikian, secara substanstif tidak sesuai nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan, karena tidak sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti.
Demikian dikatakan Gurubesar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof. Suparji Ahmad dalam keterangan yang diterima redaksi pagi ini (Rabu, 20/12).
Prof. Suparji Ahmad merupakan salah seorang ahli yang dihadirkan dalam sidang praperadilan yang diajukan Firli Bahuri untuk menguji penetapan status dirinya sebagai tersangka yang diberikan Polda Metro Jaya. Dalam sidang itu, selain Prof. Suparji, ahli lain yang memberikan keterangan di antaranya adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Romli Atmasasmita.
“Fakta bahwa laporan polisi tidak ditindaklanjuti dengan penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi langsung keluar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), semestinya dipertimbangkan,” ujarnya.
Laporan polisi yang langsung ditindaklanjuti dengan Sprindik pada tanggal yang sama yaitu 9 Oktober 2023, menunjukkan tidak adanya penyelidikan dan adanya kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka.
Dia menambahkan, hakim seharusnya mempertimbangkan fakta-fakta bahwa saksi-saksi yang diperiksa pada tahapan penyidikan, tidak ada satu pun saksi yang menyatakan mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan, penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji atau penyuapan oleh SYL kepada FB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU Tipikor.
Selain itu, patut dipertimbangkan bahwa bukti berupa foto yang dianggap sebagai petunjuk, tidak dapat dikualifikasi sebagai alat bukti yang sah, sebab selain pengambilan foto sebagai bagian dari alat bukti elektronik tidak dilakukan secara sah dan tidak membuktikan adanya pemerasan, gratifikasi atau suap, tetapi hanya menunjukkan SYL dan temannya menemui FB.
Secara keseluruhan, alat bukti dalam menetapkan Tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif, tidak dipenuhi dalam menetapkan Tersangka, sehingga penetapan Tersangka tidak sah secara prosedural.
Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor.
Adanya resi penukaran valuta asing tidak dapat disimpulkan telah terjadinya pemerasan, gratifikasi atau suap, hal ini dapat dilihat dari jenis dan seri valas yang tidak menunjukkan terjadinya perbuatan tersebut, karena waktu perolehan valas tersebut sebelum penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada Kementerian Pertanian tahun 2020 s.d. 2023.
Dengan demikian penetapan tersangka Firli atas dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 65 KUHP berdasarkan S.Tap/325/XI/RES.3.3./Ditreskrimsus Tanggal 22 November 2023 seharusnya tidak sah dan tidak berdasar atas hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Dengan demikian, Suparji menegaskan, tidak diterimanya permohonan praperadilan yang diajukan Firli telah menciderai rasa keadilan karena tidak sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti yang mengemuka dalam persidangan.
“Demi keadilan, maka Firli Bahuri dapat mengajukan praperadilan yang kedua,” demikian Prof. Suparji.