DI MASA kolonial Gubernur Jenderal Hindia Belanda punya hak Extra Orbitante Rechten, yaitu kewenangan mengintervensi hukum, dimana seseorang yang tak disukai dapat dijadikan tersangka atau dijebloskan ke penjara berdasarkan pesanan.
Extra Orbitante Rechten esensinya ialah tindakan politik berkedok hukum dengan mengabaikan proses pengadilan yang benar.
Hak ini mencakup interning, externing, dan verbaning. Selain hak untuk mentersangkakan, Gubernur Jenderal juga punya kewenangan mengasingkan orang yang tak disukai, karena dianggap mengganggu kedudukannya sebagai penguasa.
Di era Demokrasi Terpimpin hukum tenggelam di bawah patrimonialisme ideologi rezim.
Menteri hukumnya kala itu memodifikasi lambang Dewi Keadilan dengan menambah kata “pengayoman” dan gambar beringin.
Tapi maksud dan tujuannya diragukan apakah diperuntukkan bagi seluruh pencari keadilan, atau untuk mengayomi (melindungi) orang yang bersalah.
Di era Orde Baru cukup banyak pula figur-figur yang ditersangkakan berdasarkan pesanan penguasa.
Di tahun 1980-an ada Sirajuddin alias Pak De dalam kasus Ditje Budiarsih, yang perkaranya menyenggol nama-nama besar sejumlah pejabat kala itu, termasuk keluarga Cendana.
Ada pula kasus Sengkon dan Karta di era 1970-an, Sum Kuning di Jogja, yang melibatkan anak-anak petinggi negeri. Hingga sejumlah rumor berselimut kabut misteri tentang “dihabisinya” sejumlah petinggi lembaga hukum yang mencoba
mengusik bisnis keluarga Cendana.
Kalau politik basisnya opini publik, maka hukum basisnya bukti.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyebut status tersangka Ketua KPK non aktif, Firli Bahuri, ternyata berpeluang besar batal.
Penetapan tersangka Firli dalam perkara pemerasan terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, tidak disertai dengan alat bukti yang sah dan benar.
“Sangat besar (peluang untuk lepas dari status tersangka),” tegas Suparji kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat lalu, seperti dikutip Kompas.tv.
Suparji menandaskan, meski Polda Metro Jaya menggunakan empat alat bukti, hal tersebut belum cukup untuk menjadi dasar bagi mereka untuk menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan secara sah.
Sebab, lanjut Suparji, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, alat bukti yang dapat digunakan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka bukan hanya harus memenuhi unsur kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Artinya, jika alat bukti yang digunakan adalah berupa surat, menurut Suparji, surat tersebut harus betul-betul relevan dengan sangkaan, seperti dapat membuktikan adanya bukti pengiriman atau penerimaan uang.
“Sementara ini kan yang dipakai berupa foto, lalu resi penukaran valuta asing. Itu tidak secara materiil membuktikan telah terjadi pemerasan, penyuapan, atau gratifikasi,” ujar Suparji.
Ia menambahkan, jika menggunakan saksi sebagai alat bukti, maka saksi tersebut harus betul-betul melihat, mendengar, dan mengalami sendiri pemerasan, penyuapan, atau gratifikasi yang dilakukan.
Rancunya perkara ini oleh banyak kalangan juga dinilai penuh muatan politik.
Banyak kalangan menilai Firli Bahuri dikriminalisasi sebenarnya karena sebagai Ketua KPK ia tidak segera mentersangkakan Anies Baswedan dalam persoalan Formula E, sehingga Anies lolos jadi capres.
Banyak pula anggapan Firli Bahuri disingkirkan gara-gara tidak menolak laporan mengenai KKN anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, yang disampaikan oleh pengamat politik Ubedilah Badrun sekitar setahun lalu.
Laporan ini tentu dinilai sangat membahayakan mengingat Gibran saat ini sedang berselancar sebagai cawapres untuk Pilpres tahun depan.
Seperti diketahui kedua anak Jokowi ini diduga terlibat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan pihak-pihak bermasalah.
Publik menilai jika dalam perkara yang janggal dan sarat dengan muatan politik ini Firli Bahuri tetap dipaksakan untuk dijadikan tersangka pesanan maka tabiat kekuasaan hari ini sama saja dengan watak penguasa kolonial: Gubernur Jenderal yang mengulang kembali praktek Extra Orbitante Rechten.
Di sisi lain seperti dikatakan Friedrich Carl Von Savigny, ahli filsafat hukum dari Jerman, hukum yang berlaku di sebuah negara adalah cerminan kondisi kejiwaan (Volkgeist) para elit yang sedang berkuasa.
Memanipulasi bukti adalah perbuatan yang bertolakbelakang dengan keadilan, yang menggambarkan Volkgeist yang sedang sakit. Sehingga sampai gelap mata menjadikan orang sebagai tersangka pesanan.
Penulis adalah Wartawan Senior dan Anggota Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).