KEBENCIAN Geert Wilders terhadap Islam selama 25 tahun ini telah mengantarkannya menjadi pemimpin partai politik (PVV) pemenangan pemilu di Belanda beberapa hari lalu. Ini juga adalah bagian kemenangan kelompok ekstrim kanan dunia barat, termasuk Giorgia Meloni, PM Italia yang menang tahun lalu, juga kemenangan sayap kanan di Hungaria, Polandia, Finlandia, Swedia dll.
Bahkan di Amerika — Donald Trump yang diprediksi akan menang pemilu tahun depan — pendukung Trump merayakan kemenangan Wilders ini, seperti diberitakan Newsweek, 23/11/23. Kenapa? Karena Wilders adalah tokoh anti-Islam level dunia.
Kemenangan Wilders ini juga merupakan kemenangan pertama pemilu di Belanda yang secara terbuka ingin menghancurkan Islam di Belanda dan seluruh dunia. Wilders, yang sesungguhnya mengalir darah Sukabumi, Jabar, dari nenek perempuannya, telah sepanjang 25 tahun menyerukan anti Islam di dunia, menghina Rasulullah sebagai pedopil, menuduh Al Quran ajaran ideologi fasis dan sesat, serta berbagai tuduhan lainnya, bahkan dengan membuat film "fitna", 2008, tentang Islam yang buruk.
BBC Indonesia, 25/11/23, tentang Wilders, "Politisi anti-Islam keturunan Indonesia — Dideportasi dari Hindia Belanda, didiskriminasi di Belanda", merujuk dua antropolog Belanda, Professor Schulte Nordholt dan Dr. Lizzy Van Leeuwen, coba mengungkapkan persoalan psikologis anak turunan indo, seperti Wilders, yang menjadi sangat rasis.
Wilders disebutkan mengalami "identity crises", dengan menunjukkan gerakan ekstrimistis paling peduli Belanda dan bahkan mencat rambutnya " blonde" agar terlihat lebih cocok sebagai penganut ras kulit putih.
Sebagai pemenang pemilu, Wilders lagi berusaha membuat koalisi pemerintahan. Ketua VVD, sayap kanan, Dilan Yesilgoz, yang juga seorang wanita Turki imigran, datang ke Belanda ketika usia 8 tahun, siap bekerjasama dengan Wilders. Meski tidak se ekstrim Wilders, bibit-bibit anti Islam juga diperlihatkannya melalui pelarangan polisi memakai jilbab Juni lalu. Dilan saat ini menjadi sekretaris negara di bawah pemerintahan Perdana Menteri Mark Rutte.
Tantangan Bagi Islam ke Depan
Dunia Islam saat ini mengalami guncangan besar dengan rencana pembantaian Bangsa Palestina. Palestina merupakan simbol solidaritas dunia Islam. Sebagiannya juga merupakan solidaritas kemanusiaan lintas agama dan ideologis. Selain Palestina, konflik Timur Tengah dan kemiskinan di Afrika serta lainnya seperti Rohingya, membuat dunia Islam merasa tekanan besar.
Dalam sejarah yang panjang, setidaknya sejak paska perang dunia kedua, eropa merupakan tempat pengungsian dan "Asylum" yang baik. Belanda, sampai tahun '90an termasuk yang paling ramah pada imigran. Seorang wanita Indonesia yang sangat senior di Denhaag, Belanda, dua tahun lalu menceritakan kepada saya, saat itu imigran illegal Indonesia semakin banyak datang ke Belanda. Mereka tidak pernah diusir oleh polisi Belanda. Namun, setelah Wilders menang, tentu kita akan melihat di Belanda akan muncul tekanan terhadap keberadaan Islam, ummat muslim dan secara umum kaum imigran.
Jika Belanda sudah tidak ramah lagi terhadap imigran, maka secara simbolik itu bisa jadi menunjukkan sikap diberbagai negara eropa lainnya. Artinya, dunia Islam perlu memikirkan penampungan pengungsi dan korban perang di negara-negara Islam. Namun, melihat diusirnya pengungsi Rohingya (muslim) di Aceh beberapa hari lalu, Indonesia sebagai negara mayoritas Islam belum siap masuk kepada tema solidaritas Islam dunia.
Tantangan politik lainnya adalah bagaimana mengimbangi kekuatan anti Islam global? Hal ini pertama perlu melihat siapa kontra dari anti Islam global? Baik dalam tataran dunia maupun lokal, agen mereka di sini.
Kita perlu melihat kembali posisi China dan Rusia yang penuh solidaritas pada Palestina dan anti Israel, serta posisi mereka yang saat ini berseberangan dengan barat. Meski kita perlu kehati-hatian, karena Chinaisasi Indonesia di era Jokowi ini tidak dalam kerangka aliansi yang saling menguntungkan dan pro rakyat banyak.
Selanjutnya, Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim harus berhasil melakukan konsolidasi kekuatannya sebagai kekuatan Islam sebelum masuk dalam aliansi global kontra anti Islam. Konsolidasi itu artinya nasionalisme Indonesia dan Islamisme haruslah satu kesatuan. Bukan isme yang terpisah. Indonesia harus mempunyai presiden/pemimpin Islam ke depan.
Penutup
Kemenangan partai PVV, ekstrim kanan, pimpinan Geert Wilders di Belanda menjadi simbol besar kemenangan anti Islam di dunia. Pendukung Trump di Amerika bahkan merayakan kemenangan Wilders ini. Wilders telah berusaha menyebarkan kebencian terhadap Islam selama 25 tahun, baik di Belanda maupun di seluruh dunia barat.
Kemenangan Wilders akan mempengaruhi kebijakan ke arah anti Islam, imigran Islam dan tentu juga Indonesia. Belanda yang selama ini ramah terhadap imigran akan sangat mempengaruhi kelompok ekstrimis kanan di eropa. Apalagi beberapa negara telah jatuh di tangan ekstrim kanan. Secara personal, kedekatan historis Wilders dengan (negara) Jahudi, membuat semangat anti Islam pada dirinya akan berimplikasi fokus pada kelompok Islam saja.
Indonesia sebagai bangsa mayoritas Islam harus melihat ancaman serius dunia global barat saat ini. Jika Amerika nantinya dimenangkan Trump, maka kelihatannya seluruh dunia barat jatuh ke tangan kelompok anti Islam.
Untuk itu, maka sudah saatnya rakyat melakukan konsolidasi dengan menyatukan arus Islam dan nasionalis di bawah kepemimpinan bangsa yang Islami. Menyingkirkan agen-agen anti Islam. Dan mengevaluasi persahabatan dengan elit-elit barat ke depan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merau ke Circle.