PERKARA pemerasan pimpinan KPK terhadap tersangka korupsi, mantan Mentan, Syahrul Yasin Limpo, didiskusikan di Jakarta, Senin (30/10). Tiga pembicara heran, perkara korupsi Syahrul yang lebih dulu diusut, malah tenggelam oleh perkara pemerasan. Ada apa ini?
Keheranan itu disampaikan pembicara, Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Romli Atmasasmita. Ia menyatakan heran. Karena kasus dugaan korupsi yang dilakukan Syahrul Yasin Limpo (SYL), saat ini malah terpinggirkan.
Prof Romli: “Jadi, perkara dugaan korupsi dengan tersangka SYL dan kawan-kawan harus menjadi perkara yang didahulukan. Karena. itulah yang utama, dan sudah diusut KPK lebih dulu, dibanding kasus dugaan pemerasan.”
Tapi, kasus pemerasan adalah kasus luar biasa. Kasus spesial.
Romli: “Menjadi kasus yang luar biasa, karena dilakukan Ketua KPK yang mempunya pangkat bintang tiga, sekaligus pimpinan KPK yang mestinya memberantas korupsi.”
Pembicara lain, Pakar Komunikasi Politik, Emrus Sihombing, mengatakan relasi politik dan hukum tidak akan pernah berdiri sendiri, dan pasti terjadi hubungan yang saling berpengaruh (prosessual).
Menurutnya, secara sosiologis, pelaporan dugaan pemerasan tak bisa lepas begitu saja dari dugaan tindak pidana korupsi yang sudah terlebih dahulu diproses.
Dilanjut: “Maka, jika kita secara jernih melihat persoalan dugaan kasus korupsi dan pemerasan, kasus korupsi harus diutamakan. Ternyata sekarang yang menonjol malah perkara dugaan pemerasan. Ini terbalik.”
Dilanjut: “Publik harus kritis melihat relasi penanganan dugaan kasus korupsi dan dugaan pemerasan.”
Sampai di situ, Emrus seperti lupa. Bahwa publik tidak mungkin bersikap dalam perkara tersebut. Polda Metro Jaya bergerak lebih cepat dan lebih atraktif dibanding KPK menangani korupsi Syahrul dan kawan-kawan. Sehingga publik cuma penonton dari semua pertunjukan yang dimainkan aparat penegak hukum.
Juga, berdasarkan hasil Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, lama sekolah masyarakat kita rata-rata 8,7 tahun pria dan 8,5 tahun wanita. Atau setara dengan putus sekolah di kelas 9.
Pada level itu, rata-rata masyarakat bisa dikatakan buta hukum. Bagaimana mungkin mengkritisi perkara pidana yang rumit ini? Apalagi, pelakunya menteri yang kader Partai Nasdem dan Ketua KPK.
Pembicara lain, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Prof Agus Surono juga merasa janggal, bahwa perkara pemerasan jadi lebih menonjol daripada perkara utamanya, korupsi di Kementan.
Prof Agus: “Bagaimana caranya, proses penegakan hukum dalam perkara dugaan pemerasan tersebut agar tidak mempengaruhi penanganan perkara korupsi yang terjadi di Kementan yang sedang disidik KPK. terutama, setelah adanya penggeledahan di rumah Ketua KPK, Firli Bahuri.”
Ia berharap, penyidik KPK tidak terpengaruh oleh penggeledahan polisi di rumah Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam penyidikan perkara korupsi di Kementan.
Materi berita media massa di perkara ini memang lebih menonjol perkara dugaan pemerasan. Terutama, setelah aparat gabungan Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri menggeledah dua rumah Firli Bahuri. Di Vila Galaxy, Jakasetia, Bekasi dan di Jalan Kertanegara nomor 45, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 26 Oktober 2023.
Penggeledahan heboh. Lebih heboh lagi, tetangga Firli di Vila Galaxy (menolak disebut nama) curhat ke Ketua RW 19, Irwan Irawan, karena polisi mengatakan akan menggeledah rumah tetangga Firli itu juga.
Ketua RW 19, Irwan Irawan kepada wartawan mengatakan: "Ya, ada warga tetangga Pak Firli curhat ke saya. Ia tidak tahu apa-apa, kok bisa a rumahnya mau digeledah."
Dilanjut: “Kan, tetangga pak Firli tidak tahu apa-apa aktivitas Pak Firli. Masak, mau digeledah?”
Setelah penggeledahan di dua rumah tiu, muncul isu bahwa Firli pernah bertemu Syahrul Yasin Limpo di rumah Jalan Kertanegara nomor 46. Isu tersebut dimuat di hampir semua media massa mainstream.
Firli Bahuri sudah menyatakan kepada wartawan, bahwa ia tidak pernah bertemu Syahrul di rumah yang dikontrak Firli untuk istirahat di Jalan Kertanegara. “Tidak pernah. Tidak benar, jika dikabarkan bahwa saya pernah bertemu tersangka SYL di situ.”
Sebaliknya, wartawan bertanya ke Syahrul soal itu, ketika Syahrul dibawa petugas ke Gedung KPK untuk diperiksa sebagai tersangka korupsi, Senin, 30 Oktober 2023.
Usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK pada Senin, Syahrul digiring petugas menuju mobil, untuk kemudian dibawa kembali ke rumah tahanan KPK.
Ketika Syahrul ditanya wartawan soal pertemuannya dengan Firli di rumah Jalan Kertanegara nomor 46, Syahrul mengangguk-angguk.
Dikonfirmasi ulang, agar wartawan mendapatkan kepastian soal itu, kembali Syahrul mengangguk-angguk. “Ya… ya… tanyakan ke Polda Metro,” tegas Syahrul, sebelum pintu mobil ditutup, dan mobil bergerak melaju menuju rumah tahanan.
Soal isu pertemuan Firli-Syahrul di rumah Jalan Kertanegara nomor 46, kedua pihak menyatakan hal yang kontradiktif. Ini adalah ekor dari peristiwa penggeledahan di dua rumah Firli.
Keheranan para profesor hukum dalam diskusi soal perkara ini, sesungguhnya terkait framing liputan media massa di kasus ini. Framing berpengaruh luas, sehingga seolah-olah yang lebih menonjol adalah perkara pemerasan. Menenggelamkan perkara utama, korupsi di Kementan.
Framing adalah cara pandang yang digunakan wartawan dalam melakukan seleksi berita yang dimuat. Framing bukan bohong. Framing berdasar fakta. Tapi pemilihan sudut pandang (angle) dari fakta.
Di perkara ini, pemerasan oleh pimpinan KPK terhadap Syahrul lebih menonjol, atau seolah menenggelamkan perkara korupsi di Kementan, sebab, di perkara pemerasan lebih atraktif.
Misal, ketika penggeledahan di dua rumah Firli, puluhan polisi dilibatkan, dan belasan di antaranya bersenjata lengkap, berjaga di depan rumah yang digeledah. Sangat atraktif. Mencekam. Seolah bakal ada bahaya mengancam di proses penggeledahan itu.
Pastinya, wartawan lebih suka menulis berita yang bersifat dramatika. Dibanding, misalnya, saat Syahrul digiring petugas dari rumah tahanan menuju Gedung KPK untuk diperiksa sebagai tersangka. Yang ini tidak tampak dramanya. Karena terlalu lazim. Sudah biasa. Diliput wartawan sebagai rutinitas harian.
Semua itu berpengaruh terhadap pembentukan opini publik. Bahwa dengan gencar dan atraktif berita pemerasan dibanding korupsi, membuat publik fokus pada perkara pemerasan. Menenggelamkan perkara korupsi.
Soal ini (media framing) sangat dipahami para pihak yang berkonflik. Termasuk unsur partai politik tempat Syahrul bernaung. Para pihak tidak cuma fokus pada masalah hukum, tapi juga komunikasi massa.