JOKOWI dan Megawati telah menguras perhatian dan energi rakyat selama hampir 10 tahun ini. Keduanya sering memainkan mimik, gimik dan gestur seolah-olah telah terjadi konflik. Namun sesungguhnya, mereka sedang memainkan sandiwara atau drama politik dinasti yang langgeng selama bersamaan menikmati kekuasaan.
Megawati telah mengunci Jokowi dihadapan publik dengan stempel petugas partai pada orang nomor satu di Indonesia. Mengandalkan jabatan ketua umum PDIP, Megawati memberi sinyal betapapun Jokowi telah menjadi presiden, ia tetaplah kader partai, petugas partai dan bahkan disebut-sebut pesuruh partai. PDIP terlalu banyak mengambil keuntungan melalui Jokowi sebagai presiden, tak kurang dari uang, jabatan dan popularitas kian bertambah dengan menunggangi mantan walikota Solo tersebut.
Jokowi merasa berhutang budi pada Megawati, Megawati bersama PDIP merasa punya andil pada karir politik Jokowi, termasuk mengusung, menjadikan dan mengamankan Jokowi menjadi presiden hingga dua periode. Keduanya membangun hubungan simbiosis mutualisme, saling memanfaatkan, saling memengaruhi, dan saling mengelola pemerintahan hingga berdampak pada keberlangsungan NKRI.
Konstelasi dan konfigurasi politik nasional sempat terguncang saat Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendadak muncul sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon presiden besutan tujuh partai politik. Bukan karena kehebatannya, bukan karena prestasinya dan juga bukan karena kharismanya.
Kemunculan Gibran sebagai cawapres, menghentak khalayak karena faktor pelanggaran konstitusi dan ketidakpantasan secara etika maupun norma-norma ketatanegaraan. Naiknya Gibran dalam panggung pilpres 2024 yang dikatrol lewat keputusan MK yang ketuanya ipar Jokowi. Telah menghancurkan Marwah UU dan DPR, semakin melengkapi kejahatan konstitusi yang selama pemerintahan Jokowi sering berlangsung.
Gibran yang belum genap 40 tahun dan masih menjabat walikota Solo, seakan meniru gaya dan kelakuan bapaknya yang loncat sana-loncat sini dalam jabatan publik yang belum usai periodenya, seperti haus kekuasaan. Gibran juga relatif masih bau kencur dan anak kemarin sore dalam politik yang dengan status anak presiden bisa mengalahkan beberapa ketua umum partai politik besar.
Entah karena Gibran kelewat jenius atau para ketua umum partai politik itu yang terlalu pandir atau memiliki mental jongos. Mungkin semua gerombolan ketua umum partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan tersebut memang sudah saling terikat, saling tersandera dan saling menjaga keselamatan masing-masing. Padahal para ketua umum partai politik itu para doktor, berpengalaman makan asam garam politik dan memiliki kemapanan sosial ekonomi. Kasihan mereka, jadi manusia kerdil karena terganjal skandal dan pengasihan Jokowi.
Kembali ke Megawati dan Jokowi, meski keduanya punya capres dan cawapres yang dimunculkan Madinah-masing, akan tetapi secara struktur pemerintahan dan partai politik mereka tetap solid. Seakan-akan bertentangan dan pecah kongsi, baik Megawati maupun Jokowi serta irisan kekuasaannya dalam partai politik dan parlemen, tetap menunjukkan kebersamaan meski beda pilihan capres cawapresnya.
Tak ada satupun partai politik koalisi pemerintahan yang menggugat atau menolak bahkan membatalkan keputusan MK tentang batasan minimal usia capres 40 tahun atau yang sudah pengalaman menjadi kepala daerah. Malah partai politik itu justru ramai-ramai mendukung Prabowo dan Gibran, Ganjar dan Mahfud MD sebagai capres-cawapres yang notabene menjadi bagian dari rezim kekuasaan , yang selama ini dianggap publik gagal, sarat distorsi dan destruktif terhadap demokrasi, konstitusi dan keselamatan NKRI.
Terlebih pada Megawati dan Jokowi, meskipun keduanya sekonyong-konyong bertikai, sejatinya mereka sangat akur walau tidak ditunjukkan terbuka dalam suasana menjelang pilpres. Validitas hubungan Megawati dan Jokowi dibilang konflik. sesungguhnya tidak berdasar dan sangat meragukan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa fakta sebagai berikut:
1. Megawati tidak memecat Jokowi dan Gibran dari kader dan keanggotaan PDIP meski tidak mendukung kebijakan PDIP memilih Ganjar-Mahfud MD.
2. Megawati dan PDIP tidak menarik seluruh anggota dan kader PDIP dari semua jabatan pemerintahan yang dipimpin Jokowi.
3. Sebagai ketua DPR RI yang menjadi kader dan anggota PDIP sekaligus anak kandung Megawati, Pusn Maharani tidak mengajukan dan memimpin sidang impeachmen atau pemakzulan Jokowi di DPR.
Jadi dari beberapa fakta tersebut sangat jelas meskipun aroma perselisihan Megawati dan Jokowi merebak sebagaimana dalam pemberitaan media mainstream maupun media sosial. Terbuka semua itu hanya drama yang dibuat-buat, mungkin sekedar pengalihan isu, mungkin juga salah satu strategi untuk meninabobokan kekuatan oposisi dan gerakan perlawanan terhadap rezim kekuasaan yang dianggap korup dan menjadi boneka oligarki.
Seolah-olah telah terjadi perpecahan dan konflik di internal koalisi pemerintahan, seakan-akan kekuatan rezim status quo dalam keadaan lemah karena cakar-cakaran jelang pilpres 2024.
Megawati mungkin tak semudah dan semulus Jokowi melancarkan jurus dinasti politik sebagaimana Jokowi yang telah sukses menghantarkan anaknya sebagai capres saat ia masih menjabat Presiden. Tapi setidaknya Megawati masih memiliki modal sosial, modal politik dan jejaring yang kuat berupa PDIP, yang menjadi partai politik besar yang bisa memengaruhi siapapun capres-cawapres yang diusungnya dan capres-cawapres yang menjadi bagian dari konspirasi dan koalisinya.
Untuk Puan Maharani, meskipun tidak menjadi capres atau cawapres, trah politik Megawati ini tetap eksis dalam politik, memiliki jabatan penting dan strategis dalam pemerintahan dan menjadi investasi yang sewaktu-waktu bisa dipetik pada gilirannya.
Jadi, rakyat sudah sepatutnya untuk memahami dan mencerna dinamika politik yang tinggi, yang mewarnai konstelasi dan konfigurasi politik pilpres 2024. Sebenarnya mainstream pilpres hanya terbagi pada dua aliran yang kini mengikuti kontestasi capres-cawapres.
Pertama, arus kekuatan rezim status quo yang terbagi pada capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka.
Kedua, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dari partai Nasdem, PKS, PKB, partai Umat dan Partai Masyumi yang mengusung perubahan.
Bisa ditarik konklusinya, pemilihan dengan hitung-hitungan dan rekayasa tertentu yang menghasilkan dua pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud MD dan Prabowo-Gibran merupakan skenario dan siasat rezim status quo menghadapi pasangan capres-cawapres Anies-Gus Imin yang kian hari semakin membesar gelombang dukungan rakyat untuk mewujudkan perubahan dan Indonesia yang lebih baik.
Setelah perpanjangan 3 periode jabatan Presiden gagal, menunda pemilu mengalami kebuntuan dan upaya menjegal dsn kriminalisasi Anies sebagai capres tak berbuah manis. Rezim menampilkan persekongkolan atau keroyokan dua pasang capres yang relatif penuh masalah dan pelbagai skandal kejahatan negara, untuk menghadapi Anies-Gus Imin. Bukan tidak mungkin jika salah satu tak lolos, di putaran kedua hitungan elektoral pasangan Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran akan bersatu menghadapi Pasangan Anies -Gus Imin.
Bisa dipastikan pasangan Ganjar-Mahfud MD yang didukung PDIP dan PPP, serta Prabowo-Gibran yang didukung partai Gerindra, Golkar, PAN, partai Demokrat, PBB, partai Gelora dan PSI. Hanya merupakan turunan dari partai rezim yang berkuasa hampir satu dekade. Mereka semua telah kenyang menikmati kue kekuasaan dalam pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi.
Langkah berikutnya adalah bagaimana melanggengkan kekuasaan , termasuk dengan cawe-cawe Presiden, merangkul partai yang tersandera politik, dan yang paling utama menggunakan politik dinasti dalam pilpres 2024. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk terus menikmati kekayaan dan fasilitas negara hingga anak-cucu ke depannya.
Seiring itu politik dinasti menjadi cara yang paling efisien dan efektif untuk menjamin keamanan dan keselamatan gerombolan rezim yang maha dahsyat daya rusaknya terhadap republik ini. Ayo jangan, ragu, jangan takut dan jangan gentar, enyahkan politik dinasti di negeri Pancasila. Jangan lalai dan jangan abai dengan sandiwara dinasti.
Hanya dengan kemampuan menikmati penderitaan, rakyat akan memiliki kekuatan untuk melawan kekuasaan rezim tirani.
Penulis adalah pemerhati sosial.