PADA Minggu 22 Oktober 2023 Koalisi Indonesia Maju (KIM) resmi mendeklarasikan pasangan Prabowo-Gibran sebagai Capres-Cawapres untuk Pilpres 2024. Pasangan ini didukung delapan partai, yakni Demokrat/AHY, Gerindra/Prabowo, Golkar/Airlangga, PAN/Zulhas, PBB/Yusril, Gelora/AnisMatta, Garuda/Sabana dan Prima/Jabo. Prabowo mengatakan KIM akan mendaftarkan pasangan capres-cawwapres KIM ke KPU besok, Rabu, 25 Oktober 2023.
Memang masih tersisa satu hari menuju 25 Oktober 2023. Namun tampaknya “keriuhan” siapa pasangan capres-cawapres yang didukung Jokowi ini sudah mencapai klimaks dan berujung pada pendeklarasian dan pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran ke KPU. Klimaks ini memang tak lepas dari Putusan MK No.90 tertanggal 16 Oktober 2023: merubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu No.7/2017. MK menambah norma/ketentuan dalam pasal 169 huruf q tersebut, yakni “pernah menjabat sebagai kepala daerah”, suatu hal/putusan yang bukan wewenang MK.
Putusan MK No.90 (selanjutnya ditulis: Putusan No.90 Gibran) ini sudah sangat banyak dibahas dan dinalisis berbagai kalangan termasuk para pakar, aktivis, tokoh, maupun anggota perlemen. Bahwa putusan tersebut jelas melanggar konstitusi, terutama karena MK tidak memiliki wewenang membentuk norma/ketentuan hukum dalam UU, yang merupakan ranah DPR bersama eksekutif. Hal-hal lain adalah legal standing penggugat, conflict kepentingan Ketua MK Anwar Usman, pelanggaran UU Kehakiman No.49/2009 dan motif di balik terbitnya Putusan No.90 Gibran.
Salah satu motif utama di balik Putusan No.90 Gibran adalah upaya menghalalkan segala cara agar kekuasaan dapat dipertahankan dan dengan demikian dapat terhindar dari tuntutan hukum jika ke depan terjadi perubahan pimpinan nasional. Untuk itu, rezim oligarki yang dipimpin Jokowi harus memenangkan Pilpres 2024. Agar menang, diyakini Capres Prabowo, sesuai permintaan oligarki dan Jokowi, harus didampingi cawapres Gibran, sang putra Presiden Jokowi.
Agar Gibran lolos atau eligible menjadi cawapres, maka MK nekat merubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu N0.7/2017. Mengapa MK, berani melanggar amanat konstitusi? Sebab MK yang dipimpin Anwar Usman merupakan ipar Jokowi. Telah terjadi intervensi dan persekongkolan jahat karena kekerabatan, nepotisme, guna mencapai tujuan. Artinya, setelah terjadi pelanggaran konstitusi, telah terjadi pula pelanggaran terhadap amanat reformasi, yakni TAP MPR No.XI Tahun 1998 tentang Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN.
Pada lembaga MK, pelaku utama persekongkolan jahat karena kekerabatan adalah Anwar Usman sebagai Ketua MK. Namun empat hakim MK lain pendukung Putusan No.90 Gibran juga terlibat dan sangat wajar digugat, baik karena pengaruh Anwar Usman, maupun karena tekanan atau “pengaruh” rezim oligarki yang memiliki banyak instrumen, “alat dan mesin penerbit pengaruh”. Empat hakim MK tersebut adalah Daniel Yusmic, M. Guntur Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Di luar MK, persekongkolan jahat di balik Putusan No.90 Gibran diyakini adalah pihak-pihak atau aktor-aktor yang mempunyai kekuasaan di ranah eksekutif, yang salah satu aktor utamanya adalah Presiden Jokowi. Aktor ini telah menjalankan berbagai upaya “cawe-cawe” guna mepertahankan kekuasaan oligarkis. Setelah gagal dapat dukungan dan landasan legal untuk memperpanjang masa jabatan, dan gagal pula menggalang kesepakatan capres-cawapres bersama PDIP, lantas Jokowi “berkolaborasi” dengan Prabowo, dan “menempatkan” Gibran sebagai cawapres. Maka para pentolan oligarki menempuh gugatan sarat rekayasa, kepentingan dan KKN ke MK, sehingga lahirlah Putusan No.90 Gibran.
Bahwa yang menggugat MK tentang batas usia capres-cawapres adalah seorang mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru, yang mengaku pengagum Gibran. Namun jangan terpaku hanya pada Almas. Dia hanya pion hampir tanpa arti. Sebab di belakang Almas ada rekayasa, pengatur strategi dan peran aktor-aktor serta para petinggi di lingkar kekuasaan, pengusaha, konglomerat busuk, pimpinan partai dan kalangan lain yang sangat berperan menyusun dan memainkan rekayasa konspiratif menuju Putusan No.90 Gibran.
Putusan No.90 Gibran juga tak lepas dari peran pimpinan partai KIM, terutama Prabowo, Airlangga, AHY, Zulhas dan YIM. Sebelum Putusan No.90 Gibran, sebagian mereka mengatakan MK tidak berwenang memutus gugatan jika memuat norma hukum. SBY misalnya mengatakan: “MK tidak boleh melanggar konstitusi. Pagar tidak boleh makan tanaman. Karena soal usia itu diatur oleh UU…. Itu wewenang Presiden, DPR dan DPD. Kembalikan kesitu…. Ini gak ada urusannya dengan konstitusi. Ini bukan kewenangan MK. MK salah alamat…. Jangan keluar dari itu (4 kewenangan MK dalam konsititusi). Supaya tertib negara ini” (edukasi hukum.id). Ternyata PD mengkhianati ucapan sendiri.
Sementara itu, Yusril/YIM telah pula memberi tanggapan atas Putusan No.90 Gibran yang dinilai merupakan cacat hukum yang serius. Kata Yusril: "Kalau ditanya kepada saya ini problematik atau tidak, iya, penyelundupan hukum macam-macam. Boleh saya katakan putusan ini mengandung sebuah cacat hukum yang serius," (17/10/2023).
Sedangkan Golkar menyatakan penghormatan terhadap keputusan MK sebagai lembaga peradilan independen dan bagian integral dari sistem demokrasi Indonesia. Disebutkan Golkar mengajak seluruh pihak menghargai dan menghormati putusan MK tersebut sebagai bagian dari supremasi hukum dan menjunjung demokrasi.
Golkar, partai yang besar ini, yang Ketuanya patut diduga tersandera berbagai dugaan kasus korupsi, di samping juga sangat berperan dalam kekuasaan rezim oligarkis saat ini, tampaknya tidak terlalu peduli dengan fakta bahwa Putusan No.90 Gibran mengkhianati konstitusi dan amanat reformasi. Begitu pula halnya dengan Zulhas yang konon juga tak berdaya akibat tersandera kasus korupsi, terlihat tak punya pilihan lain selain mendukung agenda yang direkayasa melalui Putusan No.90 Gibran.
Adapun Gerindra atau Prabowo, yang selain Jokowi sebagai pihak yang sangat berperan dan berkepentingan, dapat dianggap sebagai salah satu pelaku sangat penting di balik terbitnya Putusan No.90 Gibran. Faktanya, sekitar seminggu sebelum Putusan MK No.90 Gibran pada 16 Oktober 2023, Prabowo memang bertemu dengan Presiden Jokowi pada 8 dan 9 Oktober 2023. Agenda utama pertemuan adalah tentang pencawapresan Gibran.
Menelisik sikap dan pernyataan di atas tergambar sikap lima partai KIM (Gerindra, PD, PAN, Golkar dan PBB) pengusung Prabowo-Gibran terhadap Putusan No.90 Gibran. Ada yang memang terlibat aktif, ada yang tersendera dan ada pula yang hipokrit: menyatakan putusan tersebut melanggar konstitusi, namun tetap saja berkomplot, menelan ludah sendiri, mendukung pasangan yang lahir dari landasan legal-konstitusional yang bermasalah.
Terakhir, salah satu motif penting lain yang patut dicatat di balik diusungnya pasangan Prabowo-Gibran adalah agenda oligarkis yang berkolaborasi konspiratif dengan China. Hal ini ditandai dengan berbagai kesepakatan yang dicapai saat kunjungan Jokowi ke China dalam rangka Forum OBOR, 17-18 Oktober 2023. Tampaknya bisa saja dengan kesepakatan tersebut Jokowi mendapat komitmen China “mendukung” Gibran. Mendukung dalam banyak arti dan aspek! Namun di sisi lain, akibat kesepakatan tersebut, dapat dinilai kedaulatan negara dan bangsa telah tergadai.
Uraian di atas menjelaskan bagaimana rezim oligarki pro China diyakini menjalankan politik menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan: mempertahankan kekuasaan. Maka, tidak salah jika rakyat menilai Presiden Jokowi, bersama delapan partai KIM pengusung Prabowo-Gibran telah mengkhianati konstitusi, amanat reformasi dan memasung demokrasi. Dalam kosnpirasi ini para pengusaha oligarkis dinilai sangat berperan dan siap mengelontorkan logistik, sesuatu yang menjadi faktor penting bersatunya mereka dalam KIM. Begitu pula dengan China yang selama sembilan tahun terakhir sangat menikmati berbagai suguhan kebijakan dan kedaulatan yang diberikan oleh Presiden Jokowi.
Karena itu rasanya wajar jika rakyat segera melakukan perlawanan! Juga: boikot pasangan anti konstitusi dan pengkhinat reformasi!
Penulis adalah pentolan Petisi 100 UI-Watch