KEBERULANGAN penyerangan dan perusakan oleh orang tak dikenal (diduga oknum TNI) terhadap fasilitas Polri, yang terjadi di Kupang (19/4) dan Jeneponto (27/4) menunjukkan rentan dan rapuhnya soliditas prajurit TNI dan anggota Polri di daerah. Kerentanan tersebut berimplikasi terhadap mudahnya percikan konflik muncul dan membesar antara prajurit TNI dan anggota Polri di lapangan. Kondisi ini semakin buruk karena kekeliruan dalam mengekspresikan semangat jiwa korsa.
Jika benar pelaku penyerangan Mapolres Jeneponto adalah aknum TNI, SETARA Institute sangat menyayangkan keberulangan ”Insiden Ciracas (2020)” yang terjadi di Kota Kupang dan Jeneponto ini, sebab oknum TNI dan Polri yang seharusnya memastikan keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi justru secara signifikan menjadi penyebab instabilitas keamanan dan ketertiban tersebut, sehingga menyebabkan ketakutan dan mengganggu hak rasa aman warga di tengah masyarakat.
Setiap konflik pasti terdapat aksi dan reaksi sebagaimana yang terjadi di dua tempat tersebut. Tetapi bukan berarti jalan kekerasan yang mesti ditempuh. Oleh karena itu, leadership di tubuh TNI dan Polri menjadi kunci utama. Kalau leadership yang dikembangkan adalah kontestasi kekuatan dan bahkan permisif terhadap kekeliruan jiwa korsa, maka yang akan terjadi adalah konflik laten dan pengutamaan supremasi institusi masing-masing. Padahal, di masa kepemimpinan TNI di bawah Jenderal Andika Perkasa, penegakan hukum atas oknum TNI cukup menjanjikan dan supremasi sipil dijaga dengan baik.
Di sisi lain, institusi Polri yang saat ini mengemban mandat konstitusional sangat luas, harus bisa memastikan dan menyediakan mekanisme kontrol berlapis bagi para anggotanya. Baik kontrol etik, kinerja, maupun dalam berinteraksi dengan anggota TNI. Kalau kewenangan luas itu tidak dijalankan dengan prudent dan bertanggung jawab, maka potensi konflik dengan TNI, yang di masa lalu memiliki kuasa di segala arena, akan menjadi pemicu konflik berkelanjutan.
Terhadap penyerangan dan perusakan fasilitas di Polres Jeneponto dan sekitarnya, serta di Kota Kupang, SETARA Institute mendesak aparat penegak hukum untuk memproses hukum para pelaku. Pimpinan masing-masing institusi (TNI/Polri) juga harus menjamin tidak ada upaya melindungi pelaku jika berasal dari institusi mereka, serta menindak tegas oknum-oknum aparat yang diduga terlibat. Bukan hanya sekedar teguran, penempatan khusus, atau mutasi. Tetapi juga sampai kepada pemecatan hingga tuntutan pidana.
Jika organ TNI justru menghalangi due process of law, maka sudah seharusnya Presiden Jokowi memimpin penyelesaian hukum yang berkeadilan. Tidak cukup penyerangan dan perusakan fasilitas Polri oleh TNI hanya direspons dengan konferensi pers bersama. Pembiaran atas peristiwa semacam ini akan menimbulkan normalisasi kekerasan (normalizing of violence), yang berarti kekerasan itu dianggap sesuatu yang normal, yang sangat membahayakan. Respons artifisial dan simbolik, tanpa penyelesaian hukum, hanya akan menjadi pemicu demoralisasi anggota Polri dan mengikis legitimisasi kepemimpinan Kapolri.
Keberulangan peristiwa TNI serang Polri juga akibat tidak adanya efek jera, dimana TNI masih menikmati previlege dengan berlindung di balik Peradilan Militer, yang hanya anggota militer saja yang tahu bagaimana prosedur dan mekanisme penghukuman itu dijalankan. Presiden dan DPR sudah semestinya mengagendakan perubahan UU Peradilan Militer untuk menegaskan bahwa semua orang, jika melakukan tindakan pidana umum, sekalipun dia seorang anggota TNI, tetap harus tunduk pada peradilan umum.
Penulis adalah Ketua Dewan Nasional SETARA Institute