KELENGKAPAN peradaban sebuah bangsa persis seperti manusia juga. Setiap manusia, juga bangsa, pasti dilengkapi oleh raga maupun jiwa. Di dalam jiwa dan raganya lalu ditiupkanlah ruh yang suci untuk menghidupkannya.
Ruh yang suci itu tidak berwujud, tidak terikat ruang dan waktu, berdiri di luar ruang dan waktu. Ruh tidak ada bentuknya, juga tidak bisa dibentuk. Ruh tak mengenal kebangsaan, tak berjenis kelamin. Ruh juga tak akan mengalami korosi, berkarat. Oleh para ilmuan, ruh itu disebut sebagai “partikel Tuhan” yang menghidupkan setiap makhluk hidup.
Jiwa yang Berkarat
Berbeda dengan ruh, jiwa manusia dan jiwa bangsa dapat berubah, dapat berkarat, dapat dibentuk. Pada dasarnya jiwa manusia dibentuk oleh medan ekosistem tempatnya hidup. Demikian juga sebuah bangsa, ia juga mempunyai jiwa dan kepribadian yang dibentuk oleh medan ekosistemnya.
Baik jiwa manusia maupun jiwa bangsa, keduanya melewati proses pembentukan, yang tak pernah berakhir, sejak kelahirannya hingga musnah atau wafat. Sejarah dan pengalaman jatuh bangun, juga turut menempa, mengkonsolidasikan dan membentuk karakternya.
Karena itu, setiap manusia dan setiap bangsa mempunyai kapasitas karakter dan kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Kapasitas jiwa atau karakter tersebut yang membedakan satu individu dan atau suatu bangsa dengan individu dan atau bangsa lain.
Ada manusia yang kapasitas jiwanya sangat lemah dan tidak berkarakter. Persis seperti tisu yang mudah sekali sobek, jika tersiram air langsung hancur, ditiup angin langsung terbang. Tapi ada juga manusia yang kapasitas jiwanya sangat kuat, ulet dan berkarakter, persis seperti baja yang dibakar dan ditempa menjadi sebilah pedang.
Demikian juga ada bangsa yang kapasitas jiwanya sangat kuat, berkarakter, ulet dan tangguh, tak gampang diombang-ambingkan oleh gelombang, badai, guncangan hingga patahan sejarah.
Namun, ada banyak bangsa yang kapasitas jiwanya sangat lemah dan kerdil, menjadi jiwa-jiwa budak, bebal dan bejat. Bangsa seperti itu bagaikan kapal tanpa nakhoda dan penunjuk arah, jatuh ke dalam nasib yang diombang-ambingkan oleh angin dan badai di lautan tak bertepi.
Jika belajar kepada pengalaman pribadi, kita dapat menyimpulkan bahwa kekuataan seorang manusia sesungguhnya tidak terletak pada kekuatan fisik, yang ditunjukan dengan tubuhnya yang tambun, kekar berotot dan suaranya yang menggelagar.
“Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa otomatis kehilangan kekuatannya.” Baik manusia maupun sebuah bangsa, walaupun anggota badannya masih lengkap, ruhnya juga masih menetap di dalam tubunya, tapi jika kehilangan jiwanya, pasti kekuatannya jadi lumpuh dan tumpul.
Demikian juga, ketika jiwa seorang manusia atau sebuah bangsa, jika mengalami korosi atau berkarat, maka sebagaimana besi yang berkarat, jiwa dari manusia atau bangsa tersebut otomatis akan tumpul dengan sendirinya.
Namun, jika ditempa hingga menemukan kembali kemurnian jiwanya yang hilang, yang menjadi jati dirinya, maka akan bangkit dan memancar kembali kekuatan energi dari dalam dirinya.
Tidak sedikit dari bangsa di dunia yang dilengkapi secara sempurna oleh anggota badan dan ruh yang membuatnya hidup. Bangsa tersebut mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, jumlah penduduk yang banyak, serta sumber daya alam yang melimpah.
Namun, sayangnya tak sedikit dari bangsa tersebut yang tak mempunyai kapasitas jiwa yang membentuk karakter kepribadiannya. Akibatnya, nasib bangsa tersebut justru jatuh menjadi perkakas dan budak yang dieksploitir oleh bangsa lain.
Reinkarnasi dalam Wujud Baru
Jika oleh berbagai sebab, kapasitas jiwa dan raganya sudah tak lagi layak huni. Ketika ruh yang menghidupkan bangsa tersebut dapat tercerabut, pergi meninggalkan jiwa dan raganya dalam wujud dan bentuk yang lama. Maka, runtuh dan sirnalah peradaban bangsa tersebut dari muka bumi.
Kita dapat mengambil contoh pelajaran terkait runtuh dan sirnanya peradaban sebuah bangsa, yaitu dengan memotret periode akhir kekaisaran Majapahit. Ketika itu, ruh dari imperium besar itu tercerabut meninggalkan jiwa dan raganya,
Melalui sengkalan yang berbunyi “sirno ilang kertaning bumi”, hilang dan lenyap ditelan bumi, jelas menggambarkan keadaan ketika itu yang sangat perih dan menyakitkan, ketika ruh dari emperium Majapahit itu pergi meninggalkan jiwa dan raganya.
Sengkalan tersebut oleh para sejarawan ditafsirkan sebagai tahun finalisasi keruntuhan peradaban Majapahit, yaitu diperkirakan sekitar tahun 1400 saka atau bertepatan dengan 1478 masehi.
Kisah tersebut mengirim pesan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang kita diami saat ini, sebagiannya merupakan bekas dari wilayah kerajaan Sriwijaya, bekas dari wilayah kekaisaran Majapahit, serta tanah bekas dari ratusan peradaban besar maupun kecil, yang pernah lahir, berjaya dan runtuh di sini.
Sesungguhnya tanah air kita, bangsa kita, bukan bangsa yang baru lahir tahun 1928 dan merdeka tahun 1945. Kita adalah bangsa yang cukup tua peradabannya, telah puluhan kali berganti wujud dan bentuk entitas politiknya.
Di atas tanah bekas wilayah dari berbagai peradaban sebelumnya yang telah hancur dan sirna, maka para pendiri bangsa kita lalu membangun kembali peradaban dalam bentuk dan wujud yang baru.
Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Soedirman dan seluruh pendiri bangsa dan negara hanya mengkonsolidasikan kembali sebuah bentuk dan wujud baru berdasarkan jiwa lama, dan di atas tanah dan wilayah yang lama.
Ruh dari peradaban bangsa di nusantara ini telah berulangkali pergi meninggalkan wujud dan bentuknya yang lama. Kemudian reinkarnasi, lahir kambali, dalam bentuk dan wujudnya yang baru.
Ketika Majapahit runtuh dan sirna ditelan bumi, maka ruhnya kemudian reinkarnasi ke dalam wujud dan bentuknya yang baru, yaitu Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tahun 1945.
Jika tak cermat, tak ada usaha, tak ada pengorbanan dan persatuan dari kaum muda, maka ruh itu pun dapat pergi meninggalkan bentuk dan wujudnya saat ini. Meninggalkan Indonesia.