Babak Baru Putusan Presidential Threshold

Image 3
Aboe Bakar Al Habsyi, Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera

Aboe Bakar Al Habsyi, Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera

ADA kejutan menarik dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 73/PUU-XX/ 2022 terkait pengujian presidential threshold (PT) yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pertama, secara mengejutkan MK memberikan legal standing bagi PKS meskipun PKS adalah partai yang turut membahas UU Pemilu. Kedua, MK juga memberikan pesan bagi pembentuk undang-undang untuk menggunakan metode ilmiah dalam penentuan angka PT. Terlepas dari bunyi amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak, putusan tersebut telah membuka babak baru bagi pembahasan PT dengan lebih ilmiah ke depannya.

Legal Standing

Pengujian terkait PT sebenarnya bukan isu baru di MK. Penulis mencatat bahwa sudah lebih dari 30 kali permohonan diujikan terkait PT baik dalam UU 42/2008 dan UU 7/2017 tentang Pemilu. Hal yang paling sulit ditembus dalam berbagai pengujian terkait PT adalah mengenai legal standing atau kedudukan hukum.

Lebih dari 80% permohonan terkait angka PT dalam Pasal 222 UU 7/2017 dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Problem utamanya adalah bahwa pemohon dianggap tidak memiliki hak konstitusional sebagaimana disebutkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Beberapa pemohon seperti anggota DPD, Partai Ummat, Partai Solidaritas Indonesia, kader partai, tokoh nasional dan kandidat capres, diputus tidak memiliki legal standing dalam pengujian PT sehingga dinyatakan permohonan tidak diterima.

Namun, putusan terakhir MK ini berbeda. MK memberikan legal standing bagi PKS dan seorang WNI yang sedang ditokohkan oleh PKS untuk menguji PT. Padahal PKS, meskipun walk out, merupakan partai yang duduk di DPR pada saat pembahasan UU 7/2017 tersebut. Dalam berbagai putusan, MK biasanya menolak legal standing parpol yang melakukan pengujian atas undang-undang dimana parpol tersebut turut membahas. Baru kali ini, dalam pengujian PT UU 7/2017, parpol yang turut membahas juga dapat diberikan legal standing.

Hal ini dikarenakan adanya hak eksklusif yang dimiliki oleh parpol sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mencalonkan presiden dan wapres. Oleh karenanya hak constitutional tersebut hanya dapat dimiliki oleh parpol yang ikut pemilu sebelumnya sebagai hak eksklusif.

Pemohonan PKS juga menyertakan Ketua Majelis Syura PKS Dr. Salim Segaf Aljufri selaku warga negara Indonesia. Kombinasi pemohon ini belum pernah terjadi pada permohonan manapun terkait PT. Kombinasi ini kemudian diputus oleh MK memiliki legal standing dalam pengujian terkait PT. Putusan ini dapat menjadi preseden baru untuk digunakan oleh partai peserta pemilu lainnya dan kandidat capres lainnya dalam pengujian PT di masa depan.

Kebuntuan Hukum

Tiga puluh lebih judicial review yang diajukan MK terkait PT. Banyaknya pengujian ini dikarenakan sudah tidak ada lagi forum dan saluran untuk mendiskusikan ataupun melakukan evaluasi terhadap PT. Lembaga legislative nampaknya tidak lagi memprioritaskan perubahan UU 7/2017 sehingga upaya untuk melakukan evaluasi terhadap pemilu, termasuk angka PT menjadi buntu. Kebuntuan hukum ini terjadi karena tertutupnya semua jalur untuk mendiskusikan perihal PT. Tidak ada forum pengadilan lainnya dan tidak juga cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif mampu dan mau menjadi forum bagi upaya untuk membahas angka PT yang proporsional.

Putusan MK sebenarnya sudah menangkap kegelisahan tersebut. MK telah menyatakan dalam pertimbangannya bahwa persoalan mengenai kebuntuan hukum perlu untuk dijawab (hal 62). Sayangnya, MK tidak berani mengeksplorasi isu kebuntuan hukum ini, dengan secara tergesa-gesa memberikan putusan tanpa adanya ruang pembuktian bagi PKS.

Open Legal Policy

MK selalu berlindung pada sebuah mantra berbunyi open legal policy. MK menyatakan bahwa PT merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal dalam Putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 MK menyatakan bahwa open legal policy harus memenuhi enam pedoman yakni (i) tidak melanggar moralitas; (ii) tidak melanggar rasionalitas; (iii) tidak menciptakan keadilan yang intolerable; (iv) kebijakan tidak melampaui kewenangan membentuk undang-undang; (v) tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan; dan (vi) tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Pedoman yang diberikan oleh MK ini seharusnya menjadi acuan dalam pembentukan open legal policy termasuk PT agar tidak menjadi cek kosong. Oleh karenanya, permohonan PKS sebenarnya hendak menguji dan melakukan pembuktian untuk menyatakan bahwa angka PT yang saat ini digunakan yakni 20% kursi DPR atau 25% suara sah ternyata melanggar enam pedoman yang ditentukan oleh MK. Namun MK sepertinya menghindar untuk memberikan ruang pembuktian bahwa open legal policy yang saat ini digunakan pada dasarnya bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.

PKS sendiri setuju dengan open legal policy, namun PKS hendak meminta kepada MK untuk dapat memberikan interval atau range angka yang lebih rasional dan proporsional. Hal ini dikarenakan angka yang saat ini digunakan sebagai PT tidak memiliki basis argumentasi ilmiah. Tidak juga dapat di lacak dalam risalah maupun naskah akademis mengapa angka 20% dan 25% tersebut digunakan. Oleh karenanya MK menawarkan penggunaan kajian ENPP untuk dapat digunakan sebagai panduan dalam penentuan angka PT.

Apresiasi Kajian Ilmiah

PKS mendalilkan bahwa memiliki angka presidential threshold yang rasional dan memiliki basis argumentasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan merupakan hal yang sangat penting dalam penentuan PT. Angka PT tidak boleh lahir dari lotre ataupun negosiasi untuk menghambat hak-hak orang lain. Oleh karenanya, berbeda dengan permohonan lainnya, PKS tidak meminta PT 0% melainkan menawarkan interval yang lahir dari penghitungan ENPP.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan mengapresiasi kajian ilmiah salah satunya dengan menggunakan ENPP (Effective Number of Parliamentary Parties) dalam penentuan PT. Secara tegas MK menyatakan "...Mahkamah mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik..." Tersirat bahwa MK telah memberikan pesan pada pembentuk undang-undang untuk tidak asal-asalan menentukan angka PT.

Pesan kepada pembentuk undang-undang ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Bagi Penulis, pesan MK untuk menemukan angka PT berdasarkan argumentasi ilmiah yang tercantum dalam bagian pertimbangan (racio decidendi) sama mengikatnya dengan ammar. Oleh karenanya sudah seharusnya pesan MK tersebut ditindaklanjuti dalam penemuan angka PT yang rasional dan ilmiah.

Pembuktian

Andai saja MK berani untuk membuka ruang pembuktiannya. Hal ini dikarenakan persidangan pembuktian merupakan salah satu agenda persidangan yang dalam hukum acara MK wajib dilakukan secara terbuka, sebelum melahirkan putusan. Oleh karenanya seharusnya MK memberikan peluang kepada para pemohon untuk setidaknya didengar dalam persidangan untuk membuktikan dalil pelanggaran open legal policy sesuai dengan pedoman yang MK susun.

Selain itu PKS bukan meminta Presidential Threshold 0%, melainkan di tengah-tengah antara 0%- 20%. Hal ini sebenarnya hal baru dan patut untuk didengar. Selain itu berlaku pula asas ius curia novit sebagai asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Sehingga seharusnya MK mampu memberikan ruang partisipasi public untuk berdiskusi tentang gagasan PT yang telah buntu di ranah legislative.

Andai saja MK lebih berani untuk membuka pembuktian terhadap angka PT yang proporsional. Apalagi dalam pembacaan putusan terungkap bahwa ada permohonan resmi dari 67 warga negara yang hendak turut menjadi pihak terkait. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa isu PT kian menjadi perhatian public untuk dibahas secara patut dalam ruang pembuktian. Jika bukan kepada MK mengadu, maka kepada siapa lagi warga negara akan berlindung. Menurut Penulis, amat disayangkan apabila MK menutup kanal pembuktian pertarungan gagasan ini. Wallahualam bishoab.