SEJAK Polri berdiri, telah ada 26 orang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri). Seperti diketahui, Presiden Soekarno menetapkan Kapolri pertama adalah Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo pada 29 September 1945. Soekanto Tjokrodiatmodjo ini kemudian menjabat hingga 15 Desember 1959.
Berdasarkan tanggal penetapan Soekanto sebagai Kapolri, seyogianya Polri berulang tahun pada setiap 29 September, bukan 1 Juli. Sejumlah pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan RI dan sejarawan menyebut kelahiran Polri 1 Juli 1946 adalah ahistoris.
Sebagaimana dicatat dalam sejarah, sehari setelah Indonesia merdeka sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia selain mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, juga membentuk Badan Kepolisian Negara. Empat hari pascaproklamasi kemerdekaan RI (21 Agustus 1945) Inspektur Polisi Kelas I Moehammad Jasin, kala itu Komandan Polisi di Surabaya, memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia. Tindakan ini selain dimaksudkan untuk melakukan pembersihan dan melucuti senjata tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat Indonesia.
Kembali kepada kisah Kapolri pertama. Saat melantik Soekanto sebagai Kapolri, Presiden Soekarno berpesan agar Soekanto membangun Kepolisian Nasional. Kepolisian Nasional berarti mengubah mental kepolisian kolonial dan menyatukan seluruh fungsi kepolisian yang terpecah-pecah pada masa Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Tindak lanjut dari pembentukan kepolisian nasional itu, pada 17 Juni 1946 dibentuk Sekolah Kepolisian Negara di Mertoyudan yang selanjutnya berproses dan berkembang menjadi Akademi Polisi dan pada 1 September 1950 menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Dari sisi ini pun tidak mungkin Sekolah Kepolisian Negara lahir mendahului induknya (sebelum 1 Juli 1946).
Polri yang Humanis
Karena lahir sehari pascakemerdekaan dan ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan, munculnya Polri yang combatant tidak terhindarkan. Keberadaan Polri yang combatant ini menjadi tidak aneh lantaran Polri memiliki polisi istimewa yang kemudian berganti nama menjadi Mobile Brigade dan sekarang Brigade Mobil (Brimob). Sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, keikutsertaan Brimob dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1950-an, dan dalam peristiwa “Ganyang Malaysia” 1963-1966 membuat semakin mengentalnya perilaku Polri yang combatant.
Walau menjadi Kapolri terlama (14 tahun lebih) atau 3 kali lebih dari masa jabatan Kapolri terlama kedua (Jenderal Polisi Mochammad Sanoesi yang menjabat 7 Juni 1986-19 Februari 1991), Soekanto tidak sempat menjadikan Polri yang humanis (baca: pengayom sekaligus pelayan masyarakat). Hal ini masuk akal lantaran Soekanto yang memimpin Polri di era demokrasi liberal dan terpimpin memulainya dari titik nol, tidak memiliki kantor, serta tugas dan wewenang yang terbatas dan terpecah-pecah.
Beberapa dari sejumlah kelebihan Soekanto adalah kepiawaiannya membawa Polri yang nasionalis sekaligus keluar dari bayang-bayang kolonialis. Sepeninggal Soekanto, Polri tidak lagi terkotak-kotak. Dengan demikian, amanat Presiden Soekarno bisa ia tuntaskan dengan baik.
Meski lama “bersama” Soekarno, hebatnya Presiden Soeharto tidak menganggapnya bagian dari Soekarno. Di masa Orde Baru, Soeharto mengangkatnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari 8 Agustus 1973-23 Maret 1978. Tidak hanya itu Presiden kedua ini bahkan memberinya banyak penghargaan, termasuk menganugerahkan pangkat Jenderal Kehormatan. Pada 1 Juli 1969, Soekanto dianugerahi Bintang Bhayangkara Utama Kelas I dan Satya Lencana Dasa Warsa yang disematkan oleh Hoegeng Imam Santoso selaku Kapolri waktu itu.
Kapolri pengganti Soekanto, yakni Komisaris Jenderal Polisi Soekarno Djojonegoro, meski menjabat 4 tahun (14 Desember 1959-30 Desember 1963), praktis tidak bisa berbuat banyak. Di masa Kapolri kedua ini, dengan alasan efisiensi dan efektivitas, 3 tahun sebelum kekuasaan Orde Lama (Orla) berakhir, pada 1962 Polri kemudian digabung dengan TNI di bawah naungan ABRI.
Meski Soekarno menjabat Presiden lebih dari 22 tahun, hanya Soekanto, Soekarno Djojonegoro, dan Soetjipto Danoekoesoemo yang benar-benar menjabat di era Orla. Sebagai catatan, Kapolri keempat Soetjipto Joedodihardjo memang diangkat di masa Orla, namun hampir semua masa jabatannya dijalani di era Orde Baru (Orba).
Bila dihitung, ada 10 Kapolri menjabat di masa Orba, sisanya di masa transisi dan reformasi. Dengan mengecualikan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang mulai menjabat 27 Januari 2021 hingga sekarang, dari seluruh Kapolri tersebut hanya nama Hoegeng Imam Santoso yang tidak pernah lekang dari ingatan orang Indonesia. Bahkan sebagian besar generasi milenial yang lahir di awal tahun 1980-an mengenal nama Hoegeng.
Prof Dr (HC) Ir Sutami yang menjabat menteri lebih dari 14 tahun (22 Februari 1964-29 Maret 1978) di masa Orla dan Orba pada 6 kabinet yang berbeda kalah populer dari Hoegeng. Padahal dari segi kejujuran, tidak ada bedanya di antara kedua pejabat miskin yang sederhana ini.
Hanya satu kata yang membuat popularitas keduanya berbeda: keberanian. Keberaniannya menegakkan kebenaran dan keadilan sekali pun harus berhadapan dengan orang yang mengangkatnya (Presiden RI II Soeharto). Dengan mengutip 3 kalimat yang beliau nyatakan saat menghadapi kasus pemerkosaan Sumarijem (1970) sudah cukup menggambarkan keberanian Hoegeng, "Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak."
Hoegeng bukan hanya idola prajurit Polri. Tanpa menyebut nama, minimal ada seorang mantan pejabat Polri yang menjadikan Hoegeng idola sekaligus teladan. Mantan pejabat yang tidak mau meluluskan permintaan anaknya untuk masuk Akpol pernah pada suatu masa berani menolak cucu seorang Wapres saat hendak masuk Akpol karena tidak memenuhi persyaratan.
Seperti judul tulisan ini, Penulis berdoa dan berharap Kapolri Jenderal Listyo pun berani meneladan Hoegeng untuk menuntaskan kasus Ferdy Sambo plus. Penulis optimis, Kapolri Jenderal Listyo pasti memiliki nyali untuk menghadapi bawahan yang bertindak seperti Polisi combatant.
Bila Kapolri tidak bisa menangani kasus Sambo, akan banyak lahir Polri combatant yang jauh lebih sadis dan melahirkan berbagai tragedi susulan seperti tsunami. Sekarang jumlah mereka jauh kalah dari jumlah anggota Polri yang Presisi dan humanis (baca: pengayom sekaligus pelayan masyarakat). Mengingat Tuhan dan mereka yang Presisi dan humanis ini, saatnya Kapolri Jenderal Listyo meneladan Hoegeng seraya mengingat 3 kata-kata bijak berikut yang mungkin menjadi pedoman Hoegeng juga di masa hidupnya.
1. “Seribu kebaikan tidak akan menjadikanmu layaknya malaikat. Tapi dengan satu kesalahan cukup membuat orang lain menilaimu layaknya iblis. Itulah hukum kehidupan yang berlaku di dunia ini."
2. “Mereka yang selalu berlutut menghadap Tuhan, akan selalu bisa berdiri menghadapi siapa pun."
3. “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan; anak pensiunan Polri.