TRAGEDI Sabtu kemarin di Kanjuruhan merupakan episode sepak bola yang amat mematikan se-dunia sejak tahun 1964. Seharusnya bukan sekedar oknum yang dihukum tapi sistem persepakbolaan Indonesia yang serampangan dan tidak profesional yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Pemerintah menyampaikan bahwa fokus dari tragedi Kanjuruhan adalah soal penanganan korban namun yang dilakukan pemerintah sebatas berkunjung ke berbagai tempat seperti stadion kanjuruhan, rumah sakit di malang, sampai kunjungan ke keluarga korban.
Para pejabat Jakarta yang hadir melakukan kunjungan-kunjungan pada Senin 3/10 tersebut diantaranya adalah Menpora Zainudin Amali, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Ketua PSSI Mochamad Iriawan.
Kunjungan-kunjungan terkesan sangat formalitas dan bernuansa pencitraan bahwa pemerintah serius mengusut tuntas tragedi BRI Liga 1 pada 1 Oktober 2022 kemarin.
Ada yang luput dalam penanganan korban BRI Liga1 yaitu semua korban baik yang luka maupun yang sudah meninggal tidak diperiksa seksama dan tidak diotopsi sesuai SOP terkait penyebab luka dan kematiannya.
Daripada sekedar berkunjung sebaiknya para pejabat tersebut menyiapkan tenda darurat untuk penanganan korban secara terintegrasi dan komprehensif. Mereka dapat mendatangkan para tenaga medis terbaik dan para ahli otopsi terbaik dimana semua korban baik yang sudah meninggal maupun yang luka-luka di periksa secara seksama untuk diketahui penyebabnya.
Hasil otopsi tersebut akan berguna sebagai investigasi hukum pidana. Pidana yang mungkin dikenakan diantaranya yaitu pidana unsur kesengajaan dan atau kelalaian baik penyelenggara BRI Liga 1, organisasi pendukung klub bola, sistem penanganan keamanan, kealfaan infrastrukrur olahraga maupun tindak pelanggaran SOP pengamanan.
Dugaan-dugaan pidana tersebut harus diinvestigasi bukan oleh kepolisian dan aparat wilayah Jawa Timur namun harus oleh kepolisian pusat yang didampingi Komnas Ham, Perwakilan PSSI, FIFA, Kemenpora dan Tim Independen lainnya.
Kuat dugaan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum kepolisian dan aparat wilayah setempat oleh karena itu pengambil-alihan investigasi tingkat pusat sangat tepat dilakukan.
Keterangan awal dari para saksi disebutkan bahwa banyak kematian disebabkan karena over-reacting aparat pengamanan dalam menangani kekisruhan di dalam stadion tersebut. Dugaan pelanggaran dalam tragedi Kanjuruhan itu berupa penggunaan gas air mata oleh aparat wilayah setempat di dalam stadion yang mengakibatkan ratusan orang meninggal.
Penggunaan gas air mata jelas salah dalam penanganan kekisruhan massa di lapangan bola. Hal tersebut sudah dinyatakan terlarang oleh organisasi internasional sepak bola FIFA. Jelas bila ini penyebabnya pihak Kapolda Jatim adalah pihak pertama yang harus bertanggungjawab.
Rekomendasi
Selain adanya pelanggaran SOP dari aparat penanganan keamanan di lokasi, terindikasi juga adanya pelanggaran dari panitia penyelenggara BRI liga 1 yang menjual tiket melebihi daripada kapasitas stadion bola Kanjuruhan. Selain itu panitia penyelenggara juga tidak menindaklanjuti saran dari pihak pengamanan yang digeser ke waktu sore jam 15.00 daripada jam 20.00 malam.
Panitia penyelanggara memaksakan dan diduga mengabaikan saran dan menjual tiket lebih banyak karena termotivasi aspek bisnis daripada mendahulukan aspek keselamatan penonton dan pemain.
Sebenarnya kejadian tersebut dapat dihindarkan apabila panitia penyelenggara BRI liga 1 tidak memiliki backing kuat dari elit aparat keamanan.
Begitu pihak pengamanan melihat potensi bahaya kerusuhan seharusnya mereka dapat mencopot izin sebelum terjadi malapetaka tersebut. Namun apa daya mereka orang kecil yang takut dan gentar terhadap para sponsor BRI liga 1 yaitu para elit pemodal kuat dan para aparat keamanan baik yang dikantor pusat maupun jenderal purnawirawan polisi yang sangat aktif terlibat dalam persepakbolaan.
Sebelumnya penyelengaran persepakbolaan di Indonesia juga dihebohkan dengan dugaan pengaturan skor baik skala liga 1 nasional maupun liga ASEAN. Namun kasus tersebut tidak tuntas karena dianggap tidak ada korban jiwanya.
Kini tragegi BRI liga 1 Malang mencapai ratusan korban jiwa. Kapolri melaporkan angka 125 orang korban meninggal namun media di Malang mengatakann jumlahnya sudah melampaui 200 orang. Mana jumlah yang benar saja masih belum mencapai fakta sebenarnya. Ini menambah pesimisme sejauh mana keseriusan pihak kepolisian manakala jumlahnya saja diperdebatkan.
Untuk melakukan investigasi terhadap tragedi BRI Liga 1 secara serius sebaiknya pemerintah melakukan langkah sebagai berikut:
Pertama, Menunda pelaksanaan BRI Liga 1 sampai investigasi ratusan kematian selesai. Penundaan 1 minggu tidak cukup memberikan efek jera kepada pihak penyelenggara padahal publik mengetahui ada dugaan pelanggaran dari pihak penyelenggara BRI Liga 1 yang menjual tiket lebih banyak daripada kapasitas stadion karena motif bisnis daripada motif keselamatan.
Penundaan sampai batas waktu yang tidak ditentukan akan menjamin kejadian serupa tidak terjadi lagi. Setidaknya sampai investigasi komprehensif dilakukan. Investigasi terhadap penyelenggaran BRI Liga 1 juga harus dilakukan terhadap peran para backing-backing dari PSSI dalam memuluskan penyelenggara melakukan kejahatannya. Kadang keberanian melanggar aturan yang ditetapkan karena pihak penyelenggara memiliki backing atau kakak asuh dari pihak-pihak yang berkuasa.
Kedua, Memeriksa Kapolda Jawa Timur beserta bawahannya yang diduga ada aspek pidana dalam melakukan pengamanan di lokasi kejadian. Kapolda Jatim selaku penangungjawab utama pengamanan harus diperiksa seputar penggunaan gas air mata di lokasi. Rekaman video penonton menggambarkan bagaimana polisi sengaja menembak gas air mata ke tribun penoton yang tidak melakukan kekisruhan.
Peluru gas mata seharusnya tidak digunakan dalam pertandingan sepak bola jelas publik tidak bisa terima jika pelaku tragedi yang menewaskan ratusan orang tersebut hanya bersifat oknum saja. Ini adalah kesalahan sistematis yang ending-nya adalah perubahan sistem persepakbolaan Indonesia yang lebih baik lagi.
Ketiga, Menghukum PSSI yang diketuai oleh Mochaman Iriawan, Seorang Purnawiraan Kepolisian yang gagal melakukan pembinaan kepada panitia penyelenggara BRI liga 1. Kegagalan PSSI melakukan pembinaan ini fatal buat Indonesia. Indonesia berpotensi kehilangan kesempatan untuk menjadi tuan rumah untuk World Cup, Piala Asia, Liga Bergensi lainnya.
Besarnya Korban lebih dari 200 orang kematian menyebabkan Indonesia menjadi peringkat teratas dalam salah satu episode paling mematikan dalam sejarah sepak bola. Pada tahun 1964, setidaknya 300 orang tewas di Peru setelah keputusan tidak populer oleh wasit pada pertandingan sepak bola memicu kerusuhan di stadion nasional negara itu.
Keempat, Mengevaluasi Kinerja Kemenpora. Menteri Zainudin Amali harus bertanggungjawab juga atas tragedi kematian dalam sejarah sepakbola di dunia terbesar sejak 1964. Menteri Zainudin Amali diduga melakukan pembiaran atas penyelengaran BRI Liga 1 yang serampangan dan tidak profesional. Zainuddin Amali diduga memaksakan BRI liga 1 sepak bola untuk segera bertanding tanpa melakukan pengecekan terhadap kesiapannya diberbagai daerah
Kelima, Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan terutama kinerja kepolisian yang terkuak ketidakprofesioanalnya sejak kasus Sambo mencuat. Ada dugaan BRI Liga 1 adalah even yang dipaksakan oleh para pihak yang terkait dengan institusi kepolisian baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka motif bisnis daripada motif keselamatan publik.
Keenam, Presiden jangan lagi bernarasi seperti kasus sambo dimana meminta usut tuntas pembunuhan brigadir J kemudian berpangku tangan tanpa melakukan cross-check informasi terkait apa yang sedang dilakukan aparatnya.
Belajar kasus sambo, meski narasi usut tuntas sudah 4 kali disampaikan tetap saja pengusutannya memakan jangka waktu 2 bulan lebih. Tragedi Kanjuruhan lebih besar daripada kasus sambo karena ratusan pemuda-pemudi Indonesia mati sia-sia. Oleh karena itu daripada narasi usut tuntas disampaikan berulang-ulang lebih baik Presiden membentuk tim investigasi pengusutan tuntas yang hanya melibatkan kalangan sipil. Alasan ini beralasan karena dugaan ratusan kematian tersebut karena aparat keamanan yang lalai menunjukan keprofesionalismenya.
Semoga rekomendasi ini didengar.
Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute