NASKAH “Tiga Cantrik Gus Dur Layak Menjadi Presiden” (RMOL, 1 Oktober 2022) memperoleh berbagai tanggapan dari berbagai pihak mulai dari yang pro karena seksama membaca naskah tersebut secara lengkap. Namun ada pula yang kontra akibat kurang cermat membaca naskah tersebut apalagi jika sudah terperangkap kesan sekilas pada judul saja.
Apabila naskah sederhana tersebut dibaca secara seksama dan lengkap maka dapat ditarik kesimpulan bahwa saya sama sekali bukan menyalonkan apalagi memaksakan Mahfud MD, Luhut Binsar Panjaitan dan Rizal Ramli untuk menjadi presiden Republik Indonesia namun sekedar memprihatinkan Presidential Threshold membatasi hak asasi rakyat memilih putra terbaik untuk menjadi presiden Indonesia.
Dipandang dari rekam jejak kredibilitas pengalaman dan profesionalisme untuk menjadi kepala negara jelas bahwa MMD, LBP dan RR secara meyakinkan meritokratis memenuhi syarat profesionalisme untuk menjadi presiden. Prestasi unggul sebagai Ketua MK merupakan jaminan bahwa apabila menjadi presiden, MMD pasti akan menegakkan hukum secara bersih dan jujur tanpa pandang bulu.
LBP sudah berjaya berperan nyata sebagai de facto Perdana Menteri pada masa kepresidenan Jokowi. Prestasi RR menyelamatkan ekononi Inodnesia pada masa kepresidenan Gus Dur tidak perlu diragukan lagi!
Namun sayang tiga cantrik Gus Dur tidak punya kendaraan politik parpol yang mendukung demi memenuhi syarat yang dipasang oleh Presidential Threshold. Maka sungguh memprihatinkan bahwa hak asasi rakyat untuk memilih presiden diberangus oleh para parpol dengan alat Presidential Threshold.
Saya tidak sendirian sebab setahu saya (maaf jika saya keliru) Prof Susilo Bambang Yudhyono, Prof Jimly Asshiddiqi , Prof Azyumardi Asra, Prof Amien Rais, Prof Din Syamsuddin, Prof Yusril Ihaz Mahendra, DR Hidayat Nur Wahid, DR Andi Mslarangeng, Ketua DPD La Nyala, mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo dll juga pada prinsipnya tidak setuju Presidential Threshold. Andaikata belum almarhum, Gus Dur juga pasti tidak setuju.
Ada pula yang menganggap naskah saya menampilkan tiga tokoh yang secara politis sudah dianggap senior untuk tidak menggunakan istilah kadaluwarsa. Anggapan ini kurang benar sebab de facto ketiga tokoh tersebut masih jauh lebih junior ketimbang Mahathir Muhammad ketika untuk kedua kali menyalonkan diri sebagai Perdana Menteri Malaysia.
Diskriminasi usia pada hakikatnya tidak sesuai sukma mashab meritokrasi yang mengutamakan realita nilai mutu jepemjmpjnan bukan berdasar latar belakang usia, maupun jenis kelamin, agama, ras, sosial, ekonomi tetapi murni rekam jejak pengalaman serta kenyataan kemampuan profesionalisme. Dan kebetulan tiga cantrik Gus Dur memenuhi syarat meritokrasi namun memang tidak memenuhi syarat Presidential Threshold.
Maka nasib masa depan mutu kepemimpinan Indonesia sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif negara bangsa dan rakyat Indonesia untuk memilih antara Meritokrasi atau Presidential Threshold.
Penulis adalah pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI)