1. KELAS menengah di Indonesia besar namun saat ini rentan miskin. Jumlah mereka 160 juta dari 263 Juta Penduduk atau menyusun 60,8 persen penduduk Indonesia.
2. Mereka menyumbang 47 persen dari konsumsi rumah tangga yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
3. Kelas menengah diapresiasi sebagai penggerak ekonomi nasional tidak hanya dari sisi konsumsi RT namun juga dari komponen penyumbang pajak, kelas menengah penyumbang penerimaan negara hampir 39 persen.
4. Setiap kali pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau listrik, kelompok ini yang kerap disalahkan.
5. Padahal kelompok ini yang paling menderita dari kenaikan BBM tersebut.
6. Covid19 meluluh lantakan perekonomian mereka namun mereka kerap tidak mendapatkan bantuan PEN.
7. Dari total dana subsidi BBM Solar sebesar Rp143,4 triliun pada 2022, hanya 11% atau Rp15,8 triliun yang dinikmati rumah tangga. Selebihnya dipakai dunia usaha.
8. Namun kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, dari Rp15,8 triliun tersebut 95%-nya dinikmati rumah tangga mampu. Data BKF mengatakan hanya 5 persen subsidi solar yang dinikmati orang miskin dan rentan.
9. Untuk pertalite, BKF mengatakan bahwa orang miskin hanya menikmati 20% subsidi BBM jenis Pertalite.
10. Data Bank Dunia juga mendukung pernyataan Febrio Kacaribu bahwa Kelompok ekonomi menengah dan kaya mengonsumsi antara 42% sampai 73% solar bersubsidi, dan 29% LPG bersubsidi.
11. kelas menengah Indonesia merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
12. Konsumsi kelompok ini tumbuh 12% setiap tahun sejak 2002.
13. Dalam konsep Bank Dunia, mereka adalah orang-orang dengan pendapatan yang cukup untuk menikmati ketahanan ekonomi. Kondisi tersebut sekaligus membuat mereka aman dari kejatuhan ke kemiskinan atau kerentanan. Berdasarkan data 2016, kelas menengah dianggap individu dengan penghasilan Rp1,2 juta sampai Rp6 juta per kapita per bulan.
14. Berdasarkan Bank Dunia, Sebelum COVID, terdapat 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Mereka adalah kelas menengah rentan miskin.
15. Setelah Covid, diprediksi kelas menengah rentan miskin menyusun 60,8 persen.
16. Mereka memiliki sumber daya manusia (SDM) yang terampil. Sekitar 56% pengeluaran mereka dipakai untuk pendidikan dan kesehatan, serta memiliki aset yang cukup untuk berwirausaha.
17. Menurut katadata, Walaupun cenderung aman secara ekonomi, sebagian dari mereka masih menghadapi berbagai jenis kemiskinan nonmoneter, terutama hunian yang tidak layak.
18. Mereka juga masih menghadapi kemungkinan untuk turun kelas. Penyebabnya, setengah dari rumah tangga kelas menengah bawah diperkirakan tidak memiliki akses air minum, akses sanitasi, atau hunian yang layak.
19. Perumahan yang tidak layak merupakan kekurangan yang paling umum di antara rumah tangga kelas menengah bawah dan atas. Hunian seperti itu ditandai dengan atap yang bukan beton atau genteng, lantai tanah, dan dinding selain beton atau bata.
20. Tingkat pengangguran di Indonesia telah turun secara tahunan ke 5,83% pada Februari 2022, tetapi masih lebih tinggi 1,32 poin dari yang terlihat sebelum pandemi. Porsi pekerja formal juga masih tercatat di 40,03%, lebih rendah 3,33 poin dari level prapandemi.
21. Kenaikan BBM ini bisa mendorong masyarakat kelas menengah untuk turun kelas, menurut Bank Dunia. Kehilangan pekerjaan atau kematian pencari nafkah, yang masing-masing terjadi sangat masif selama pandemi, bisa mengurangi pendapatan mereka secara drastis.
22. Antara 2000 dan 2014, misalnya, diperkirakan 40% dari masyarakat kelas menengah jatuh ke kelompok calon kelas menengah.
23. Lebih parah, 10% dari mereka jatuh ke dalam kemiskinan atau kerentanan. Sementara itu, hanya setengah dari mereka yang bertahan di kelas menengah.
24. Orang-orang yang terdampak sebuah guncangan cenderung mengandalkan bantuan keluarga atau teman. Namun Bank Dunia menilai bantuan ini biasanya tidak cukup atau biasanya bantuan tersebut tidak tersedia jika guncangannya berdampak ke seluruh masyarakat.
25. Jika pinjaman informal tidak cukup, mereka biasanya akan menjual aset produktif atau menarik anak-anaknya keluar dari sekolah. Ini merupakan langkah-langkah yang justru akan mengurangi pendapatan mereka di masa depan.
Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute