SETELAH menjadi kontroversi dan tidak bisa diakses publik, Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu, akhirnya beredar luas di tengah masyarakat. Sebagaimana sebelumnya disampaikan, SETARA Institute menolak keras kehadiran Keppres dimaksud karena menjadi bagian dari pembakuan impunitas atas berbagai pelanggaran HAM, mengubur kebenaran peristiwa dan memutihkan sejumlah pelaku yang diduga aktor pelanggaran HAM berat.
Keppres ini bukanlah cara Jokowi mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu tetapi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu. Keppres ini adalah pemutihan kolektif berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu sekaligus instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik dengan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.
Desain Keppres ini bukanlah cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu, karena syarat utama penyelesaian non yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru. Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim bentukan Jokowi ini.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan umumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, Keppres tersebut baru ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022. Sekalipun ini merupakan ketidakjujuran teknis, tetapi jelas menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM ini bukan sepenuhnya datang dari diri Jokowi tetapi dari orang-orang di sekeliling Jokowi yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.
Kebijakan kontroversial dan tidak berkeadilan ini hanya bisa dimungkinkan terbit saat seorang Presiden tidak memiliki kecukupan kapasitas dan tidak memiliki pemahaman utuh atas persoalan kemanusiaan. Juga pada saat seorang Presiden tersandera oleh banyak variabel kepentingaan; termasuk sikap obsesif menjabat 3 periode atau memperpanjang masa jabatannya.
Penegasan bahwa cakupan peristiwa yang akan diselesaikan secara non yudisial ini berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020 menunjukkan ketidakpatuhan Jokowi pada mandat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen. Tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari Tim yang dibentuk Jokowi. Apalagi dengan sejumlah anggota Tim yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan salah satu anggota Tim, jelas masuk dalam list PBB sebagai pejabat tinggi TNI yang sangat kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Dengan komposisi Tim semacam ini, langkah Jokowi tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional. Langkah ini hanya akan mencetak prestasi absurd bagi Jokowi sekaligus berpura-pura bertanggung jawab.
Basa basi penuntasan pelanggaran HAM sudah tergambar jelas pada tubuh pemerintahan Jokowi. Pelanggaran HAM di Paniai, yang hari ini (21/9/2022) dimulai persidangannya di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan telah menjadi alarm serius bahwa politik penegakan HAM di Indonesia mengalami kebuntuan. Bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim 1705/Paniai.
Penulis adalah Ketua SETARA Institute