ISTILAH NEFO atau New Emerging Force pertama sekali dilontarkan oleh Bung Karno (Soekarno) sebagai presiden pertama Indonesia pada deklarasi Gerakan Non Blok (GNB) awal September 1961 di Kota Beograd-Yugoslavia. GNB merupakan sebuah legasi terbaik dari Presiden Sukarno bersama empat pemimpin dunia lainnya pada waktu itu sebagai deklarator GNB yakni, Gamal Abdul Naser Presiden Mesir, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, dan Presiden Yugoslavia Joseph Broz Tito.
NEFO adalah antithesis OLDEFO (Old Establised Force) atau kekuatan lama (status quo) yang merupakan kebanyakan adalah negara imperialis yang menjadi penjajah di berbagai negara-negara Non-Blok itu sendiri. Gema NEFO menjadi menarik karena karisma nya yang menjadi penantang terhadap dua blok besar yang bersaing secara kuat waktu itu untuk merebut hegemoni dunia pasca perang dunia ke-dua, Blok Barat yang diwakili oleh Amerika dan sekutunya yang kemudian melahirkan Blok NATO, dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet yang kemudian melahirkan Pakta Pertahanan Warsawa.
Daya NEFO yang disampaikan oleh Bung Karno menjadi nyaring bunyinya karena merupakan upaya bersama dari GNB dalam menentang segala bentuk imperialism, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid di Afrika, rasisme, bahkan Zionisme internasional.
Peran GNB sangat besar dalam menjaga keseimbangan dunia waktu itu yang ditarik oleh polarisasi dua blok yang telah eksis untuk kemudian mewujudkan perdamaian dan eksistensi dari dunia ketiga yang kebanyakan merupakan bekas koloni salah satu blok yang menjadi pemenang Perang Dunia Kedua di tahun 1945.
NEFO dengan GNB-nya berhasil menyatukan kekuatan dengan 29 negara anggota yang kebanyakan adalah peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung pada 1955 silam. Semangat NEFO untuk tidak memihak namun tetap aktif mensponsori perdamian dan kemerdekaan dunia ketiga merupakan semangat KAA yang termaktup dalam Dasasila Bandung waktu itu, dimana semangat itu lahir dari politik bebas aktif atau “mendayung diantara dua karang” yang dicetuskan oleh Mohd. Hatta Wapres RI pertama pada tahun 1948 lalu, dan terus dipertahankan menjadi doktrin politik luar negeri Indonesia hingga sekarang.
Kini, setelah genap 61 tahun semangat NEFO pada 1 September 2022 lalu kita melihat tidak lagi ada sosok ‘Sukarno Baru’ yang mampu menggetarkan kancah politik dunia yang hari ini kita lihat tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 1945 di mana tatanan dunia yang disusun oleh Blok Sekutu yang memenangi Perang Dunia waktu itu sedang mengalami goncangan dan terseok-seok.
Politik luar negeri Indonesia tak lagi menggigit kalau kita tak mau menyebutnya Pollugri “malu malu kucing” alias politik bebas pasif. Indonesia dan kebanyakan negara deklarator GNB tak lagi garang dan mampu menjadi penyeimbang terhadap kekuatan utama dunia hari ini.
Turki sebagai Neo-NEFO
Melihat peran Turki akhir-akhir ini yang meskipun berada dalam Blok NATO, namun doktrin politik Turki yang merupakan turunan doktrin Ataturk yaitu “Yurt’ta Sülh Dünya Sülh” atau kalau diartikan adalah kedamaian di dalam kawasan adalah kedamaian di LN telah mendorong mereka untuk menjadi pemain kawasan yang bebas-aktif. Seabagai sebuah negara yang dikelilingi oleh banyak “musuh”, Turki memang di awal orde lama menerapkan pendekatan keamanan bahkan telah terjadi hampir 6 kali kudeta di negara bekas Ottoman ini.
Namun dalam 20 tahun terakhir posisi Turki semakin diperhitungkan, sebagai bekas negara proxy Amerika, Turki yang awalnya membebek pada sistem bipolar tumbuh menjadi salah satu kekuatan baru yang menjadi pendorong tumbuhnya multi-polarisme akhir-akhir ini.
Strategi Turki ini sebagaimana disebutkan oleh Galip Vanlı dengan istilah Pax-Anadolu nya, telah membawa posisi Turki ke posisi yang dihormati secara internasional. Strategi ini telah menjadikan Turki ibarat orang yang naik bus, ia tahu dimana harus naik dan dimana harus turun. Turki di bawah kepemimpinan Presiden Erdoğan muncul sebagai kekuatan penyeimbang baru di tengah tatanan dunia tanpa barat atau “Post-Western World” yang dicetuskan oleh Saintis Brazil Oliver Stuenkel tahun 2017 lalu.
Posisi dunia Barat hari ini persis seperti yang yang tersirat dalam kata-kata yang disampaikan oleh David Brooks mengenai kebangkitan Timur, “It is as if a prevailing wind, which powered all the ships at sea, had suddenly ceased to blow. Now, various scattered enemies of those Western values has emerged, and there is apparently no one to defend them”.
Sebuah perkataan mirip puisi dari Brooks ini menyiratkan sebuah kegelisahan barat akan mundurnya satu-satu para pendukungnya dari negeri-negeri timur yang dulunya menjadi pembebek Barat, salah satunya merupakan Turki.
Setidaknya hal itu bisa kita lihat dalam salah satu event terakhir dua hari lalu di KTT Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), Turki memang hadir sebagai observer, namun ia menyiratkan akan bergabung dengan SCO.
Kalau ini terjadi, maka secara tidak langsung Turki merupakan negara pertama dalam Blok NATO yang nampaknya akan ikut terlibat dalam representasi Blok Timur itu, atau dengan kata lain Turki menjadi anggota dalam dua blok sekaligus. Peristiwa ini mungkin dilihat anomali, namun pendekatan Erdoğan ini merupakan sebuah strategi pragmatis dan menunjukkan eksistensi negara mereka dengan praktik politik luar negeri berkelas dan elegan.
Ketika negara-negara Barat berbondong-bondong mendukung Ukraina dan memberikan sanksi, justru Turki menolak untuk memberikan sanksi kepada Rusia namun disisi lain Turki tetap membela Ukraina dalam mempertahankan kedaulatan negara mereka.
Politik tarik ulur dan bebas-aktif ini telah menjadikan Turki satu-satunya dari banyak negara yang mampu mempertemukan kepentingan dua negara yang berkonflik ini. Disatu sisi ia mampu memenuhu harapan Putin, disisi lain juga Turki mampu menerjemahkan keinginan Biden-Amerika untuk membuka koridor energi dan pangan dunia.
Di berbagai front kita melihat Turki dan Rusia bertemu dalam situasi musuh misalnya di Suriah, Libia dan Nagorno-Karabakh, namun disisi lain kerjasama Turki – Rusia terus berlanjut baik dalam industri pertahanan dan energi seperti PLTN Zaporizhzhia yamg sedang dibangun Rusia di Turki dan juga dalam saluran energi Gazprom dan koridor gandum.
Khusus dalam koridor gandum kita melihat bagaimana politik bebas aktif ini merupakan salah satu pendekatan kemanusian, dimana meskipun konflik sedang berlanjut namun kemanusiaan harus tetap dipertahankan, hal ini bisa kita lihat hari ini Turki menampung banyak pengungsi Ukraina akibat dari efek perang Ukraina setelah sebelumnya empat juta pengungsi suriah terdampar di tenggara Turki.
Dalam politik regional, kita juga melihat bagaimana peranan Turki dalam melahirkan The New Emergence Force (NEFO) di kawasan adalah dengan solidnya “Turk Konseyi” yang semakin menarik minat negara-negara tetangga Turki untuk bergabung.
Turk Konseyi yang mirip ASEAN ini juga telah menambah daftar calon negara anggota baru yaitu Afghanistan, Pakistan dan Hungaria untuk bergabung. Tentu saja berbagai sepak terjang dan keberhasilan diplomasi sebuah negara itu tidak terlepas dari kesuksesan kepemimpinan dari Pemimpin Turki dibawah sosok Presiden Erdoğan yang menerapakan diplomasi bebas-aktif yang dulu “nyatanya” pernah dipraktekkan Indonesia ini.
Penulis adalah Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association (AYA)