Ada banyak kepentingan politik yang memanfaatkan Polri. Di sisi lain, ada kesan Polri pun menyediakan diri untuk dimasuki dan dipengaruhi berbagai kepentingan politik itu.
Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal saat menjamu 30 Mahasiswa Perwira Polisi PTIK yang hadir dalam diskusi tentang HAM dan Demokrasi dalam kaitannya dengan Tupoksi Polri di Nagara Institute.
Narasumber yang dihadirkan Nagara Institute dalam diskusi ini adalah Pengamat Militer Dr. Connie Rahakundini Bakrie, M.Si, Anggota Watimpres Irjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, dan Komjen Pol Dharma Pongrekun yang juga bekas Waka BSSN.
Diskusi bertajuk “Polisi: Kamarin, Hari Ini & Esok" dipandu oleh Mantan Anggota DPR RI Oheo Sinapoy berlangsung seru sebab pada banyak bagian membahas kasus dari berbagai sudut pandang.
Sebagai lembaga yang fokus pada isu demokratisasi dan Kenegaraan, Nagara Institute melalui Akbar Faizal membuka diskusi dengan membedah Kasus Ferdy Sambo sebagai pemantik diskusi. Kata Akbar, ini momentum pembenahan institusi kepolisian secara sistemik, termasuk ‘memutus hubungan’ saling menguntungkan diluar tupoksi antara oknum Polri khususnya di tingkat elit dengan para politisi.
“Ada banyak tentakel politik yang bekerja di internal Polri sehingga wajah Polri hari ini kehilangan bentuk. Sempurna keadaannya sebab Polri juga menyediakan diri untuk dimanfaatkan. Kita bisa melihat itu dalam banyak kasus relasi kuasa antar lembaga negara,” papar Akbar Faizal.
Sementara itu, Sidarto Danusubroto yang datang ke markas Nagara Institute langsung dari Istana Negara untuk bertemu Presiden memaparkan polisi saat ini hanya bisa dievaluasi dan diperbaiki dengan pendekatan perbaikan peraturan perundang-undangan (By Law). Namun, kata ajudan terakhir Bung Karno ini, ide ini bukan perkara mudah karena menyangkut political will dari pada pembuat undang-undang yang saat ini juga nyaman untuk menggunakan polisi sebagai alat kekuasaan.
Connie Rahakundini mengkritik sistem dan jenjang komando yang ada di kepolisian yang menurutnya sama dengan komando yang ada pada militer. “Inilah penyebab mengapa kasus Ferdy Sambo yang notabene sebenarnya kasus pembunuhan biasa yang harusnya selesai cepat namun melebar menjadi diskusi publik dan lalu menjadi tuntutan perbaikan total di tubuh kepolisian,” jelas Connie.
Ditambahkannya, Kasus Ferdy Sambo adalah bukti bahwa sistem komando model militer di internal Polri membuat banyaknya oknum polisi terseret hingga mencapai 97 orang dari berbagai level pangkat, dari jenderal bintang dua hingga pangkat terendah dalam polri yakni Bharada.
Sementara itu, Komjen Pol Dharma Pongrekun menilai wajah polisi hari ini adalah dampak dari konsep pendidikan di Indonesia yang menjadikan nilai/angka acuan untuk mengukur segala ukuran pencapaian. Salah satu akibatnya, polisi dalam karirnya selalu mencari dan merebut angka tersebut sebanyak-banyaknya demi karir. Penerjemahan angka tadi bisa dalam banyak bentuk dan makna.
Salah satu poin penting dari paparan jenderal polisi bintang tiga aktif ini adalah loyalitas berlebihan kepada atasan dan atau senior dalam internal Polri telah sampai pada tahapan merusak nilai-nilai Tribrata.