PADA 24 Agustus 2022 Tempo.co di bawah judul berita, “Listyo Sigit: Fahmi Alamsyah Penasihat Kapolri, tapi Sehari-hari Bersama Ferdy Sambo”, memuat pernyataan Kapolri yang singkat dan bernas, "Saudara Fahmi itu memang betul penasihat Kapolri yang diangkat pada saat sebelum saya menjabat, namun saya tidak pernah bertemu dengan yang bersangkutan, karena yang bersangkutan sehari-harinya lebih banyak bersama dengan Irjen Sambo."
Sebagai orang Batak yang beristri suku Jawa, Penulis harus menyatakan, pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu sarat makna tersirat. Sebelum kasus Sambo, terus-terang, Penulis tidak mengetahui bila ada 17 orang penasihat ahli Kapolri. Selama ini Penulis hanya mengenal dua penasihat ahli Kapolri, yakni Irjen Pol. Purn. Sisno Adiwinoto dan Prof. Hermawan Sulistyo.
Bertitik tolak dari pernyataan Kapolri di atas, meski dinyatakan dengan sebuah kalimat, ada sejumlah hal yang tersurat dan tersirat dari curahan hati Kapolri tersebut. Pertama, semua penasihat bukan diangkat oleh beliau. Mereka diangkat persis setahun sebelum Jenderal Listyo Sigit menjabat Kapolri.
Pengangkatan ke-17 penasihat ahli itu tertuang dalam Surat Keputusan Kapolri Nomor KEP/117/I/2020 tertanggal 21 Januari 2020. Ke-17 nama itu memiliki latar belakang bidang penanganan korupsi, hukum (termasuk hukum pidana dan tata negara), ilmu politik, sosiologi, HAM, keamanan dan politik, politik, ilmu kepolisian, informasi teknologi, komunikasi publik, media sosial, ekonomi, dan pergerakan kepemudaan.
Kedua, meski hanya menyebut nama Fahmi yang tidak pernah bertemu dengan beliau, Penulis meyakini bukan hanya Fahmi yang seperti itu. Tentu yang dimaksud oleh Kapolri bukan sekadar pertemuan fisik saja.
Di era sekarang, kehadiran bisa berwujud komunikasi lisan, pemberian saran tertulis, respon atas sejumlah kasus yang mengemuka dengan memosisikan diri “bersama Kapolri”, rapat pleno untuk menyikapi dan/atau memberi pertimbangan yang komprehensif (holistik) kepada Kapolri atas kasus(-kasus) yang mengemuka di masyarakat, termasuk mengcounter orang yang secara membabi buta merusak citra dan/atau kewibawaan Polri dan pihak-pihak yang menghendaki reposisi Polri yang potensial bisa menjatuhkan moral, semangat, martabat, disiplin, nilai-nilai kejuangan Polri, soliditas Polri, solidaritas sesama anggota, dan solidaritas masyarakat dalam membangun keamanan, kenyamanan, ketertiban, dan penegakan hukum bersama dan di bawah binaan dan koordinasi dengan Polri.
Secara sederhana, dari segi komunikasi, misalnya dengan mengamplifikasi penyebutan “adanya faksi dalam tubuh Polri” sesunguhnya bisa berpotensi merusak solidaritas dan soliditas Polri.
Ketiga, kata-kata Kapolri yang menyebutkan “sehari-harinya lebih banyak bersama dengan Irjen Sambo” juga tidak hanya berlaku untuk seorang Fahmi. Yang lebih menohok lagi, bukan tidak mungkin ungkapan itu ditujukan kepada penasihat ahli yang justru memosisikan diri “tidak bersama Kapolri/Polri”, bahkan berseberangan dan ikut serta memojokkan Polri.
Keempat, kata-kata “sehari-harinya lebih banyak bersama dengan Irjen Sambo” bisa juga bermakna “Fahmi selama ini memilih posisi sebagai penasihat ahli Irjen Sambo.” Ungkapan ini lebih tajam lagi dan tetap berlaku bagi penasihat ahli oposan Kapolri dalam makna yang luas.
Kelima, Kapolri niscaya sedang memonitor dan mengevaluasi keberadaan penasihat Kapolri ini. Bila melihat ke-17 nama penasihat ahli ini, kita harus mengatakan keberadaan mereka di sana merupakan pengakuan bahwa Polri membutuhkan nasihat, kritik yang membangun, masukan, dan pertimbangan masyarakat yang direpresentasikan oleh para penasihat ahli ini. Karena itu Penulis memastikan, Kapolri tidak akan menghapus keberadaan mereka.
Memang, sesudah kasus Fahmi berada pada posisi yang salah (in the wrong place) lantaran ditengarai ikut membuat skenario yang dikehendaki Irjen Ferdy Sambo (yang akan menghalangi penyidikan (obstruction of justice), ada anggota DPR yang menghendaki peniadaan penasihat ini karena rawan disalahgunakan dan mendorong Kapolri memanfaatkan secara optimal sumber daya manusia di internal Polri yang masih aktif.
Di luar anggota DPR yang menginginkan penghapusan penasihat ahli Kapolri, ada juga anggota DPR (Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni) yang menyarankan, selama tidak mubazir dan bermanfaat untuk Polri, untuk beberapa bidang spesifik, seperti media, public affair, lingkungan, dan lain-lain penasihat ahli Kapolri itu diisi oleh 'orangnya' Kapolri yang sedang menjabat, bukan jabatan liar, dan di bawah kontrol penuh Kapolri.
Hemat Penulis, makna 'orangnya' Kapolri tidak harus diartikan dengan membuang begitu saja penasihat ahli yang diangkat oleh Kapolri sebelumnya. Bila Kapolri Listyo Sigit Prabowo memandang, di luar Fahmi Alamsyah yang sudah mengundurkan diri, semua penasihat “masih bersama Kapolri secara fisik dan nonfisik dalam keseharian mereka dan urgen bagi Polri”, pada tempatnya Kapolri tetap mempertahankan mereka.
Memang tidak haram hukumnya Kapolri dapat mengurangi jumlah mereka, namun sebaliknya sah-sah saja Kapolri menambah penasihat untuk membangun Polri yang Presisi yang sesuai dengan visi Kapolri. Menurut Penulis, Kapolri perlu mempertimbangkan penambahan penasihat ahli dari pensiunan Polri yang sedari awal bertugas sudah mengalami dan memahami seutuhnya “denyut nadi Polri” dan memiliki “chemistry” yang sama dengan Kapolri dalam membangun Polri yang sesuai dengan idaman masyarakat.
Dosen Unvisersitas Katolik Santo Thomas, Medan; magister komunikasi dan doktor penyuluhan pembangunan.