SAAT ini di Indonesia timbul hiruk-pikuk dan kegaduhan sehubungan dengan kenaikan harga BBM dan kasus pembunuhan berencana terhadap seorang anggota Polri, yang melibatkan puluhan anggota Polri, termasuk beberape perwira tinggi dan perwira menengahnya. Ditengah-tengah hiruk-pikuk dan kegaduhan ini pada hari Selasa 6 September 2022 di berbagai media muncul berita yang menggembirakan tentang seorang ibu yang dapat berkumpul kembali bersama putranya, setelah terpisah selama 2 tahun dan 26 hari.
Enam bulan yang lalu, tepatnya pada 3 Maret 2022, di tengah hiruk-pikuk dan gaduh masalah minyak goreng, juga ada kabar gembira yang mirip seperti ini, yaitu kabar seorang ibu yang dapat berkumpul kembali bersama putranya, setelah terpisah selama 9 tahun, 10 bulan dan 5 hari.
Ibu yang berbahagia pada 6 September 2022 adalah Dr. Pinangki Sirna Malasari SH., MH., mantan jaksa di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Suami Pinangki adalah seorang perwira menengah Polri. Pasangan ini memiliki seorang putra, yang tahun 2020 berusia 4 tahun. Jaksa Pinangki telah melakukan “kekhilafan” dan melakukan perbuatan melanggar hukum. Dia terlibat dalam kasus korupsi seorang konglomerat, Tjan Kok Hui, yang dikenal sebagai Djoko S. Tjandra. Kasus ini juga melibatkan seorang perwira tinggi Polri.
Pinangki ditahan pada 11 Agustus 2020. Dalam sidang banding pada bulan Juni 2021, majelis hakim memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Pada 6 September 2022 Pinangki mendapat pembebasan bersyarat. Tentu ini adalah kabar gembira untuk Pinangki dan putra serta suaminya.
Namun kegembiraan Pinangki dan keluarganya tidak ikut dirasakan oleh masyarakat luas yang justru menilai, bahwa ini adalah suatu ketidak-adilan yang sangat besar. Tentu ini dari sudut pandang rakyat kecil, yang belum pernah merasakan keadilan dan kemakmuran sejak berdirinya Republik Indonesia.
Selama ini, para penegak hukum di Indonesia menyatakan, bahwa penegakan hukum di Indonesia berpatokan pada prinsip, semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law). Ini termasuk kesamaan gender, yaitu baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan diberlakukan hukum yang sama. Namun pada kasus Pinangki terlihat adanya perbedaan besar yang sangat mendasar. Ternyata tidak semua orang sama kedudukannya di muka hukum, termasuk ketidak-samaan sehubungan dengan gender dan status sosial.
Tanggal 11 Agustus 2020 di malam hari, Jaksa Pinangki ditangkap di rumahnya sebagai tersangka yang terlibat dalam kasus korupsi dan langsung ditahan oleh kejaksaan. Pada 8 Februari 2021, majelis hakim Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, karena Pinangki terbukti telah menerima uang dari Djoko Tjandra dan melakukan pencucian uang serta melakukan permufakatan jahat. Di Indonesia oleh sebagian kalangan, hakim diibaratkan sebagai Wakil Tuhan di dunia yang hanya bertanggungjawab kepada Tuhan.
Pada kasus Pinangki, terlihat ada perubahan paradigma dalam dunia hukum di Indonesia di mana tidak lagi diterapkan asas kesamaan di depan hukum yang selama ini didengungkan.
Pinangki mengajukan banding. Dalam sidang banding tanggal 14 Juni 2021, majelis hakim mengurangi hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerima putusan ini. Seperti biasanya, masa hukuman penjara dipotong masa tahanan.
Alasan majelis hakim yang memangkas 6 tahun hukuman penjara Pinangki adalah:
1. Pinangki dinilai telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagi jaksa. Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga yang baik.
2. Pinangki merupakan seorang ibu dari anak yang masih balita (empat tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya di masa pertumbuhan.
3. Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil.
Rakyat kecil sebenarnya mengharapkan, bahwa para penegak hukum yang melanggar hukum, hukumannya harus ditambah sepertiga, bukan mendapat “discount besar,” atau pemotongan masa hukuman. Bahkan luar biasa besarnya.
Apabila merujuk pada tanggal ditahannya Pinangki, yaitu pada 11 Agustus 2020 dan bebas bersyarat pada 6 September 2022, maka dia terpisah dari putranya selama 2 tahun 26 hari. Namun apabila dihitung dari vonis majelis hakim yang pertama, yaitu 10 tahun penjara, maka Pinangki menikmati “discount besar” sebesar hampir 8 tahun.
Perlakuan istimewa terhadap Pinangki sangat mengusik rasa keadilan yang menguatkan penilaian, bahwa di Indonesia hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi melihat alasan majelis hakim memberikan potongan hukuman yang sangat besar yang dinilai sangat aneh, yaitu “keadilan” terhadap Pinangki sebagai seorang perempuan, dan selain itu karena memiliki anak balita. Sejak berdirinya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 sampai tahun 2022 ini mungkin puluhan perempuan rakyat kecil atau yang “dirakyatkecilkan,” yang memiliki anak balita, namun tetap harus mendekam di penjara untuk berbagai kasus. Bahkan untuk kasus-kasus yang sebenarnya sangat sepele.
Kabar gembira untuk keluarga Pinangki ini seharusnya merupakan yurisprudensi yang dapat juga menjadi kabar gembira untuk perempuan-perempuan yang memiliki anak balita, dan saat ini masih mendekam di penjara-penjara di seluruh Indonesia. Apabila mengacu pada pemotongan masa hukuman dan kemudian memperoleh pembebasan bersyarat yang keseluruhannya mencapai hampir 8 tahun, maka semua perempuan yang memiliki anak balita dan saat ini masih mendekam di penjara untuk kasus pelanggaran hukum di bawah 10 tahun, harus juga diberi pembebasan bersyarat dan segera dibebaskan. Hal ini sangat penting untuk memenuhi rasa keadilan dan menunjukkan, bahwa di Indonesia benar-benar diterapkan asas kesamaan di muka hukum.
Paling tidak yang sehubungan para perempuan yang memiliki anak balita. Langkah ini juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kehakiman di Indonesia. Apabila hal ini segera dilaksanakan, maka di tengah hiruk pikuk dan kegaduhansaat ini, akan muncul kabar gembira dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, yaitu para ibu yang dapat berkumpul kembali dengan anak-anaknya setelah dipisahkan oleh hukum. Juga para perempuan yang melanggar hukum, harus dikurangi masa hukumannya karena mereka sebagai perempuan, “harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil.”
Namun perlu juga dipilah-pilah dan dibedakan kasus-kasusnya. Kasus pengutilan makanan di toko karena kebutuhan ekonomi tidak dapat disamakan dengan kasus mega korupsi ratusan milyar, bahkan trilyunan karena keserakahan. Demikian juga untuk kasus-kasus pelanggaran hukum yang sangat besar dan berat seperti keterlibatan dalam jaringan besar perdagangan narkoba internasional dan pembunuhan.
Untuk puluhan perempuan yang telah selesai menjalani masa hukuman di penjara, yurisprudensi ini sudah terlambat. Walaupun memiliki anak-anak balita, mereka tetap harus mendekam dipenjara. Bahkan ada yang harus melahirkan bayinya di dalam penjara. Ada ibu-ibu yang terpaksa membawa bayinya yang masih menyusui untuk ikut di dalam penjara, seperti Isma Khaira, seorang perempuan di satu desa di Aceh utara. Pada 8 Februari 2021 dia divonis 3 bulan penjara karena melanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Teknologi).
Isma dijebloskan ke penjara dikarenakan ada seorang kepala desa yang tersinggung. Di dalam penjara, Isma tidur bersama bayinya yang berusia 6 bulan dalam ruangan yang ditempati oleh 13 orang narapidana perempuan. Tidak ada kasur di dalam ruang penjara tersebut. Setelah dua minggu, dia baru memperoleh kasur untuk bayinya. Isma divonis penjara selama 3 bulan dan dibebaskan setelah menjalani duapertiga masa hukumannya.
Yurisprudensi ini juga terlambat untuk Angelina Pingkan Sondakh, ibu yang berbahagia pada 3 Maret 2022, karena dapat bekumpul bersama putranya, setelah terpisah hampir 10 tahun. Sama seperti Pinangki, Angelina juga melakukan “kekhilafan” melakukan tindak pidana korupsi. Tanggal 27 April 2012 Angelina ditahan dan tanggal 13 Januari 2013 dia divonis 4 tahun 6 bulan bui.
Pada tingkat kasasi hukumannya diperberat menjadi 12 tahun dan pada tingkat Peninjauan Kembali, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun penjara. Angelina menghirup udara bebas tanggal 3 Maret 2022. Dari 10 tahun vonis yang dijatuhkan oleh hakim, dia menjalani hukuman penjara selama 9 tahun, 10 bulan dan 5 hari. Berarti, selama menjalani masa hukumannya, Angelina mendapat remisi, yaitu pengurangan masa hukuman yang sangat minim.
Pada waktu pertama kali ditahan tanggal 27 April 2012, Angelina memiliki putra, Keanu Massaid, yang baru berusia 2,5 tahun, lebih muda dari putranya Pinangki ketika Pinangki ditahan. Ini berarti, Angelina terpisah dari putranya selama selama 9 tahun, 10 bulan dan 5 hari. Suaminya Angelina, Adjie Massaid meninggal tahun 2011. Di lain pihak, Pinangki terpisah dari putranya selama 2 tahun dan 26 hari. Putranya masih ada ayahnya.
Kesamaan Angelina dan Pingkan adalah, mereka sama-sama perempuan yang memiliki anak balita dan menghadapi kasus yang sama, yaitu tindak pidana korupsi. Namun perlakuan hukumnya sangat berbeda jauh.
Rakyat kecil di Indonesia masih menunggu keadilan.
Pengamat sosial politik