JELANG Pemilu 2024, Presiden Jokowi di Pidato Kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, di Gedung DPR/MPR RI mengingatkan agar tidak ada kampanye yang menggunakan politik identitas, karena dapat memperuncing polarisasi yang telah ada.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya di media massa pada 7 Agustus 2022, menyatakan agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang menggunakan politik identitas dalam kampanye politiknya di Pemilu 2024. Kapolri Listyo juga menyatakan perpecahan atau polarisasi akibat politik identitas pada Pemilu 2019 telah terjadi di mana-mana. Bahkan, sampai saat ini suasana tersebut masih ada.
Ini menjadi ironis, karena justru sepanjang kampanye Pilpres 2019, Jokowi sebagai incumbent menggunakan identitas keislamannya untuk menarik basis dari konstituen Islam.
Di samping itu, Jokowi juga mengusung KH. Ma’ruf Amin sebagai kandidat cawapresnya. Hal ini untuk mempertegas bahwa Jokowi bukan sosok yang anti Islam.
Saat kampanye Pilpres 2019, memang isu yang berhembus kuat adalah sosok Jokowi yang anti Islam, karena banyaknya ulama yang ditangkapi dan diikuti dengan pembubaran FPI dan HTI.
Menanggapi situasi yang berkembang saat ini di Indonesia, Direktur Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta( IEPSH), Hatta Taliwang menyelenggarakan seminar yang berjudul “Politik Identitas: Apakah Inkonstitusional dalam Kampanye Politik?”
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr Din Syamsudin mengatakan bahwa identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia. Manusia memiliki identitas, baik skala individu maupun kelompok, dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai SARA.
Sayangnya politik identitas dituduhkan kepada umat Islam. Bahwa mereka menggunakan agama sebagai alat kampanye politik untuk memenangkan capres yang didukungnya. Pada waktu 2019, capres yang didukung secara massif oleh umat Islam adalah Prabowo Subianto.
“Politik identitas beririsan dengan isu yang mendiskreditkan islam. Jika Islam disudutkan maka tidak baik bagi Indonesia, dan berdampak buruk bagi umat yang moderat,” menurut Din.
Politisi dari Partai Masyumi Dr Ahmad Yani, mengatakan relasi agama dan negara telah diselesaikan dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Justru orang-orang yang menyebarkan isu politik identias berniat menyebarkan disharmoni dan tidak bersesuaian dengan isi Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
“Peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 mulai dikembangkan narasi bahwa jika umat Islam tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan dicap sebagai politik identitas. Akan tetapi, persoalan pemilihan Ahok bukan saja terkait politik identitas, melainkan rekam jejaknya dan sikapnya” Seperti yang diutarakan oleh Yani.
Pakar ekonomi politik Dr Ichsanuddin Noorsy menguraikan lebih jauh lagi, bahwa identitas ada sejak Adam diciptakan. Kemudian terjadilah penyebaran manusia di berbagai muka bumi, muncullah perbedaan warna kulit, agama, dan mata pencaharian, dan terbentuknya elit budaya dan pemikiran.
Menurut Noorsy, resistensi politik identitas agama yang berkembang pada saat ini, hingga memunculkan islamophobia di Indonesia, karena beberapa pihak a historis. Bahwa keberadaan Indonesia adalah berkat perjuangan umat Islam, yang menolak keras kolonialisme.
Dosen Ilmu Politik UI Dr Mulyadi, mengatakan ketika imperialisme atau kolonialisme masuk ke nusantara, maka yang pertama kali dilakukan adalah memecah warga negara. Orang islam yang taat beragama dan melawan kolonialisme disebut dengan Islam kanan, radikal, ekstrimis. Dan, yang tidak taat disebut islam kiri. Yang menerima kolonialisme disebut Islam modern.
Tetapi situasi saat ini di Indonesia tentang politik identitas sebenarnya adalah preferensi politik.
Mantan anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional, Sayuti Asyathri, menerangkan konsolidasi kekuatan politik yang dilakukan oleh Sukarno merupakan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, kemudian Sukarno menangkap orang-orang yang berbeda pandangan dengannya.
Dalam hal ini, Sukarno sebenarnya menolak orang-orang yang beridentitas lain, hal ini karena obsesinya tentang satu partai tunggal.
Liga Demokrasi yg dipimpin Bung Hatta dan Jen Soekendro, adalah bentuk penentangan dari gagasan Sukarno atas partai tunggal.
Sukarno yang ingin menyingkirkan identitas lain menemui kegagalan, karena pekerjaan terbesar dari gerakan yang ingin menghapuskan identitas Islam, banyak menemui penolakan-penolakan.
Sebagai penutup seminar, Pimpinan MPR RI dan Tokoh PKS Hidayat Nur Wahid, menjelaskan politik identitas tidak serta merta disebut inkonstitusional dalam kampanye politik. Tetapi jika identitasnya yang dilarang oleh UU, yakni identitas komunis atau marxis, maka wajar hal ini harus dilarang.
Bahwa kita semua memiliki identitas, dan aneh jika kita menanggalkannya dan membuat istilah baru. Hal ini tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa dan sebagai umat.
“Ketika identitas menyatukan justru jangan sampai menjadikan alat pembelahan. Seharusnya identitas menjadi solusi, menjadi warna, menjadi arah ke depan yang lebih baik, dan menghadirkan masyarakat madani.” Ujar Hidayat sebagai kalimat pamungkasnya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi Pemilu 2024 mendatang, penggunaan politik identitas adalah suatu kewajaran, dan orang yang menolaknya adalah suatu bentuk phobia terhadap eksistensi identitas tersebut.
Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta