BARU-BARU ini pemerintah telah menyampaikan nota keuangan dihadapan DPR. Seperti biasa nota keuangan yang disampaikan berisi asumsi asumsi. Kebetulan semua asumsi yang disampaikan selalu salah alias jauh panggang dari api. Kalau peramal, maka gelar yang layak untuk pemerintah bisa dikatakan peramal palsu. Sebenarnya tidak punya kemampuan meramal, namun memaksakan diri.
Misalnya tahun 2022 pemerintah buat asumsi harga minyak 60 dolar per barel, faktanya harga minyal tembus 120 dolar per barel. Demikian juga asumsi nilai tukar juga salah telak. Akibatnya yang lain ikut salah. Nilai subsidi BBM salah, nilai subsidi listrik salah, dan lain sebagainya.
Sekarang pemerintah membuat lagi asumsi lagi. Mari kita lihat asumsinya:
1. ICP (patokan harga minyak Indonesia) tahun 2023 diperkirakan berada pada kisaran US$90 per barel.
2. Rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2023 diasumsikan akan bergerak pada kisaran Rp14.750 per dolar AS.
3. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 5,2 persen.
4. Laju inflasi 2023 diperkirakan mencapai 3,3 persen (yoy), berada dalam rentang sasaran inflasi 3,0 ± 1,0 persen.
Namun setelah asumsi dibuat, setelah itu langsung membuat kesalahan.
1. Ketika dikatakan bahwa perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun 2023 tersebut menggunakan asumsi dan parameter, antara lain: (1) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ICP; (2) subsidi terbatas minyak solar. Sementara faktanya nilai subsidi BBM dalam APBN tidak berdasarkan indikator tersebut.
2. Membuat parameter subsidi terbatas terhadap solar. Nilainya sebesar Rp1000/liter. Pembuat angka subsidi solar Rp. 1000/liter pasti tidak tau dari mana angka Rp. 1000 rupiah per liter tersebut. Kalau menetapkan nilai subsidi Rp. 1000/liter. Membingungkan! buat apa bertele telah membuat asumsi harga minyak mentah dan nilai tukar, kalau subsidi solar per liter dipatok Rp. 1000 perak.
3. Berapapun harga minyak mentah dan nilai tukar, tetap saja subsidinya Rp. 1000/liter. Hampir pasti ini kebijakan linglung, tidak bisa jadi pegangan. Ditambah lagi tidak ada subsidi pertalite dan Pertamax, padahal masih dijual dengan harga dibawah keekonomian.
Di atas kesalahan itu lalu pemerintah dan DPR membuat kesalahan lagi. Kesalahan menghitung nilai subsidi yang diberikan. Kesalahan tetap berawal dari asumsi bahwa harga minyak naik menjadi 90 dolar per barel, nilai tukar Rp. 14.750/USD. Tapi subsidi BBM malah menurun dari Rp. 149 triliun menjadi Rp. 138 triliun.
Apa kesalahannya;
1. Nilai subsidi BBM terutama solar berkurang, padahal kebutuhan masyarakat meningkat. Misalnya volume BBM jenis solar sebesar ditetapkan sebanyak 17,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,5 juta kiloliter; dan (4) volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,0 juta metrik ton. Semuanya naik dibandingkan tahun 2022. Kebutuhan solar subsidi naik cukup besar naik 41 %. Astaga ini kenaikan yang besar sekali.
2. Nilai subsidi menurun padahal harga minyak naik. Anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2023 direncanakan sebesar Rp138 triliun atau lebih rendah 7,4 persen apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp149 triliun. Padahal harga minyak naik, nilai dolar juga naik. Memangnya bisa beli BBM subsidi dengan daun sirih? Itu kan beli pake mata uang asing
3. Nilai subsidi berkurang padahal nilai dolar naik. Jika tahun 2022 subsidi 149 triliun untuk 70 juta KL BBM pada tingkat harga minyak 62 dolar per barel dan nilai tukar Rp. 14000/USD. Tapi tahun 2023 sisa subsidi 138 triliun untuk subsidi 75 juta KL BBM pada tingkat harga 90 dolar per barel dengan kurs Rp. 14750/USD. Kok bisa nilai subsidi dikurangi di APBN, sementara ini semua minyak mentah dan BBM beli pake dolar AS.
Ini logikanya bagaimana? Subsidi dikurangi tapi harga minyak diasumsikan naik, nilai tukar rupiah merosot, sementara kuota BBM bersubsidi, malah bertambah. Subsidi dikurangi Rp. 11 triliun dibandingkan 2022, sedangkan Pertamina di genjot menjual BBM lebih banyak. Faktanya juga saja sekarang penjualan BBM sunbsidi sudah over kuota. Kuota BBM subsidi jebol!
Sebetulnya ini adalah pengurangan subsidi yang sangat besar, namun tidak mau dinyatakan secara terus terang. Kesan yang timbul subsidi turun hanya turun 11 %, faktanya subsidi turun 14%. Karena harga minyak naik, dan nilai rupiah yang turun.
Kalau dicermati semua kesalahan pemerintah dan DPR akan bermuara pada pertamina sebagai operator. Pertamina harus cari uang yang besar untuk menomboki kesalahan yang dibuat pemerintah dan DPR. Konon kesalahan itu akan dibayar dalam bentuk kompensasi BBM kepada Pertamina. Nanti akhir tahun anggaran. Kalau dibayar. Kalau gak dibayar bagaimana?
Paling paling nanti kalau BBM langka truck Pertamina yang disandera bukan Pemerintah dan DPR yang bikin ulah. ini gawat cara begini atur negara.
Ekonom, tinggal di Jakarta