Oligarki yang semakin menguat mencengkeram ke dalam sistem politik dan negara dikhawatirkan bisa membuat negara Indonesia bubar.
Direktur Institute Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang dalam diskusi "Membedah Sikap dan Perilaku Oligarki di Indonesia” Kamis (1/9) di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta menyebut bahwa secara sederhana oligarki dapat diartikan sebagai segelintir orang yang mengatur negara.
Dan istilah oligarki sekarang sudah dipahami oleh masyarakat umum, bahwa ternyata negara Republik Indonesia yang didirikan dengan semangat musyawarah mufakat itu, berujung menjadi diatur oleh segelintir orang.
Implementasi dari oligarki, menurut Hatta, secara nyata ada di bidang politik dengan "mengatur" Pilpres misalnya, bahkan mereka bisa mengatur siapa yang menang dalam Pilpres atau Pemilu.
Dari sisi politik, kata Hatta oligarki bisa mengatur dana partai politik. Dari sisi ekonomi mereka juga menguasai sumber daya alam dan sumber daya finansial. Akibatnya, terjadi perkawinan antara pengusaha dan penguasa.
Prof. DR. Hafidz Abbas, akademisi yang juga mantan komisioner Komnas HAM mengutip publikasi Bank Dunia dalam 'Indonesia's Rising Divide' bahwa Indonesia bisa bubar karena empat penyebab:
Pertama, adanya diskriminasi yang terjadi pada seluruh warga. Seperti ada yang diberi kesempatan menguasai sumber daya alam namun ada yang tidak.
Menurut catatan Hafidz Abbas, orang miskin di Jakarta misalnya pada era Gubernur Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama mengalami 193 kali digusur. Namun di sisi lain hampir 50 juta lahan di Indonesia dikuasai oleh hanya segelintir orang.
"Bayangkan, empat orang, bukan empat perusahaan, menguasai kekayaan hampir setengahnya dari kekayaan seluruh penduduk negeri ini," kata Hafidz.
Kedua, adanya diskrepansi mutu manusia Indonesia karena kebanyakan berpendidikan rendah. Sehingga mereka tidak bisa masuk ke sektor ekonomi modern.
"Dia hanya bisa berdoa, tertinggal. Karena yang menikmati kekayaan alam Indonesia itu hanya 3 persen," ujarnya.
Ketiga, orang-orang Indonesia mayoritas tidak punya tabungan untuk masa depan anaknya juga tidak punya tabungan untuk kesehatannya.
Keempat, uang yang beredar hanya kepada sekitar 2000-an perusahaan besar. Sementara 59 juta perusahaan mikro kecil lainnya tidak bankable.
"Jadi, kalau dilihat dari empat faktor ini, Bank Dunia tidak bisa melihat Indonesia bisa selamat," ungkap Hafidz.
Menurut Hafidz, negara Indonesia sejatinya sudah lapuk dari dalam.
"Dan persoalan oligarki, menurut saya, adalah persoalan selamat atau tidaknya bangsa Indonesia di masa depan," ungkapnya.
Dr Marwan Batubara juga melihat oligarki di Indonesia sudah kian akut. Marwan menyoroti soal UU Ciptaker yang nyata-nyata dibuat untuk kepentingan oligarkis.
Pembentukan UU Korona No.2 2020, UU Minerba 2020, UU Ciptaker No. 11 2020, maupun UU IKN No. 3, 2022, menurut Marwan proses pembentukannya terlihat jelas menunjukkan peran oligarki.
"Negara semakin otoriter, oligarki semakin kuat, Presiden Jokowi makin otoriter, DPR dan partai-partai cenderung di bawah kendali penguasa dan oligarki," ujarnya.
Menurut Marwan, oligarki telah mengubah secara perlahan Indonesia dari negara hukum menjadi negara kekuasaan.
Menanggapi hal ini, aktivis Syahganda Nainggolan menyitir Jeffrey Winters ketika diwawancara.
"Bagaimana menurut Anda mengalahkan oligarki? Dia bilang, mesti ada orang seperti Mahatma Gandhi," kata Syahganda.
"Maksudnya, itu kan di India, kalau di Indonesia model Gandhi itu ya Habib Rizieq. Tapi ini personifikasi, maksudnya adalah orang yang tidak bisa dibeli," lanjutnya.
Mantan Duta Besar DR. Hazairin Pohan melihat, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Menurutnya, setelah kasus Sambo struktur oligarki Indonesia saat ini sedang berantakan.
"Ini kesempatan bagi kita untuk melakukan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik karena secara global, China juga sedang menurun pasca Covid-19," ungkapnya.
Sutoyo Abadi dari Kajian Merah Putih mengungkapkan bahwa diskusi dan seminar tidak akan menyelesaikan masalah menguatnya oligarki di Indonesia.
"Tidak bisa melawan oligarki di Indonesia dengan cara ke MK atau ke lembaga lainnya. Tidak bisa. Satu-satunya harus muncul 'people power dan revolusi'. Karena situasinya sudah gawat," tegas Sutoyo Abadi.
Dia juga meyakinkan bahwa Indonesia tidak akan bisa selamat atau bubar jika tidak kembali kepada UUD 1945.
Sejumlah tokoh senior dan aktivis menghadiri diskusi "Membedah Sikap dan Perilaku Oligarki di Indonesia” antara lain Suripto Djoko Said, Sri Bintang Pamungkas, MS. Kaban, Jumhur Hidayat, dan sejumlah tokoh lainnya.