DALAM 3-4 hari belakangan ini beredar 2 video yang berisi komentar Connie Rahakundini (pengamat militer) dan Suharto (seorang purnawirawan TNI) atas kasus Sambo. Bila ditilik dengan cermat, pandangan keduanya banyak beririsan
Keduanya mempersoalkan kesuperbodian Polri yang diberikan DPR dan Presiden lewat UU yang bisa mengontrol TNI, anggaran yang nilainya mengejutkan, lebih dari 34 badan dipegang oleh anggota Polri sehingga Polri tidak bisa menangani tugas pokoknya, pangkat diangkat seenaknya, dan Brimob dipersenjatai seenaknya.
Pada dasarnya, mereka menghendaki perubahan struktural Polri, Kapolri tidak boleh sejajar pejabat politik, polisi tidak boleh lagi berperilaku seperti militer dengan menghapus kepangkatan ala militer, melakukan pendekatan dari atas ke bawah, dan mengadopsi budaya lokal.
Secara historis, keberadaan Polri seperti sekarang ini tidak bisa kita lepaskan dari peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru kemudian membawa pendulum kekuasaan dari sipil ke militer. Searah dengan itu, dengan alasan efisiensi dan efektivitas, 3 tahun sebelum kekuasaan Orde Lama berakhir, sejak 1962 Polri kemudian digabung dengan TNI di bawah naungan ABRI.
Namun munculnya reformasi telah mengubah banyak, termasuk pencabutan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dan TNI. Dari sudut pandang TNI, khususnya TNI AD (termasuk secara implisit bisa dibaca dari pandangan seorang purnawirawan TNI di atas), reformasi berdampak tidak menguntungkan bagi TNI, termasuk terpaksa harus kehilangan “adik bungsu” (Polri) sekaligus kehilangan kontrol terhadapnya, termasuk kontrol atas penentuan dan penggunaan anggaran untuk Polri.
Kehilangan adik bungsu yang kemudian seakan-akan menjadi “anak kandung reformasi” ini sudah dimulai oleh Presiden Habibie dengan menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 1999 dan selanjutnya dimatangkan lagi oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Di masa Presiden IV ini kekecewaan TNI semakin menggunung manakala orang pertama Departemen Pertahanan diserahkan ke pejabat sipil Juwono Sudarsono dan kemudian berlanjut ke Mahfud MD. Bila sejak Kabinet Dwikora I (1964) Mendagri dijabat oleh militer, pada 2009 di masa Presiden VI SBY, Mendagri mulai beralih ke sipil. Presiden Jokowi sejak awal berkuasa pun memberikannya kepada sipil (almarhum Tjahjo Kumolo) dan kini dijabat oleh mantan Kapolri Tito Karnavian.
TNI AD, secara khusus memiliki kekecewaan yang lebih dalam saat Panglima TNI yang tadinya di masa Orde Baru selalu dijabat oleh mereka, sejak Presiden Abdurrahman Wahid diberikan kepada Laksamana TNI Widodo AS dari matra laut. Kekecewaan TNI AD semakin memuncak manakala penanganan terorisme diserahkan kepada Polri dengan memimpin BNPT dan bukan hanya itu, kepala BIN pun sudah 2 kali dijabat oleh mantan petinggi atau petinggi Polri aktif.
Secara terselubung, “sakit hati” TNI AD makin menjadi-jadi saat semua Polda naik kelas ke tipe A. Kenaikan kelas ini membuat Komandan Korem (Danrem) di sejumlah provinsi seperti Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Riau, Banten, Yogyakarta, NTT, NTB, dan lain-lain seolah-olah di bawah Kapolda yang berbintang dua. Contoh yang lain, sebelum Korem Surya Kencana di Bogor naik ke tipe A tahun 2020, Danremnya dijabat kolonel; konsekuensinya Komandan Kodim (Dandim) di bawahnya, termasuk Dandim Bogor Kota dijabat oleh pangkat Letkol. Padahal, sejak 2017, Kapolres Bogor Kota sudah dijabat oleh Kombes.
Saat Penulis mendampingi Wakil Ketua Komisi I DPD RI Bapak Mayjen (Purn.) Ferry FX Tinggogoy selama 2 tahun 2 bulan sebagai staf ahli (mulai Januari 2011 hingga almarhum meninggal 25 Februari 2013), Penulis berkesempatan mengikuti pembahasan peradilan militer pada 2011. Di situ pun muncul keberatan yang luar biasa dari pejabat militer yang tidak menginginkan anggota TNI dibawa ke peradilan umum (sebagai wujud dari supremasi sipil) sekalipun anggota TNI itu melakukan perbuatan yang melanggar hukum kepada masyarakat sipil.
Sebagai catatan dalam hal ini, tidak semua pejabat TNI atau mantan pejabat TNI yang kontra dengan penghapusan peradilan militer. Contoh untuk ini adalah almarhum Mayjen Purn. TNI Ferry Tinggogoy. Pendidikan Sesko di Singapura dan berbagai penugasan almarhum di luar negeri, termasuk 3 tahun menjadi atase pertahanan di Perancis (1988-1991), dan kedekatan beliau dengan (Presiden) Gus Dur, membuat jenderal bintang dua yang berwajah sipil ini menjadi pendukung keras pemisahan Polri dan TNI dan berkeberatan anggota TNI di bawah kendali operasi (di-BKO-kan) ke Polri, termasuk dalam operasi selain perang yang bisa ditangani oleh Polri secara penuh.
Belakangan pelemparan wacana oleh Luhut Binsar Pandjaitan soal penempatan anggota TNI aktif di kementerian dan lembaga yang tidak diakomodasi oleh Presiden Jokowi, suka atau tidak suka, juga secara tersembunyi menimbulkan kekecewaan pada TNI. Meski di luar struktur TNI sudah ada beberapa instansi yang kepalanya diduduki oleh pejabat TNI, seperti BNPB dan Basarnas, termasuk dialihkan ke BUMN (PT KAI misalnya), anggota TNI tetap mengincar jabatan seperti itu lantaran sejumlah perwira Polri aktif mendapatkan posisi itu di kementerian dan lembaga di luar Polri, BNN, KPK, dan BNPT. Bahkan, seperti disebutkan dalam salah satu video itu, purnawirawan TNI Suharto menyatakannya dengan istilah “lebih dari 34 badan dipegang oleh Polri.”
Penulis bisa pastikan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan kepala dingin mengapresiasi pandangan kedua pengamat militer di atas dan mengambil beberapa di antaranya sebagai masukan untuk membenahi Polri. Betapa pun kerasnya kecaman kedua pengamat, Penulis meyakini Kapolri akan melihatnya dari sisi yang positif, yakni dari keinginan keduanya (dan masyarakat) untuk membangun Polri.
Dari sudut pandang seorang akademisi yang berlatar belakang magister komunikasi dan doktor penyuluhan pembangunan, Penulis memastikan pembenahan Polri ke depan yang akan dilakukan oleh Kapolri sesuai Presisi yang beliau canangkan akan menyeimbangkan soft skill dan hard skill anggota Polri. Apalagi ini berkesesuaian pula dengan revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi sejak 2014.
Sebagaimana diketahui, dalam struktur organisasinya, Polri sendiri memiliki Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri. Di Baharkam ini ada Korps Pembinaan Masyarakat (Korbimas) Baharkam Polri yang membawahi Direktorat Pembinaan Ketertiban Masyarakat Baharkam Polri dan Direktorat Pembinaan Potensi Masyarakat Baharkam Polri. Hemat Penulis, Kapolri perlu menambahkan direkorat pengembangan karakter anggota Polri dalam Korbimas. Ibarat pedang bermata dua, keberadaan 3 direktorat ini akan menunjukkan Polri tidak hanya berupaya mengubah perilaku anggota masyarakat sebagai tindakan preemptif dengan melakukan pembinaan ke luar, tetapi juga pembinaan ke dalam (baca: mengembangkan karakter anggota Polri) yang mesti sudah dimulai sejak tahapan seleksi calon bharada, bintara, perwira pertama, perwira menengah, dan perwira tinggi.
Dalam konteks ini, dalam bahasa awam tidak boleh lagi terdengar praktik percaloan, uang, beking-bekingan, paket hemat, dan lain-lain di tubuh Polri. Pengembangan karakter anggota Polri seyogianya tidak hanya melibatkan internal Polri (seperti Lembaga Pendidkan dan Pelatihan Polri), tetapi juga eksternal Polri seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, kementerian agama, Lemhanas, BNN, BIN, BNPT, organisasi nonpemerintah, dan lain-lain hingga tokoh-tokoh masyarakat.
Seperti halnya pengembangan karakter masyarakat, pengembangan karakter anggota Polri dapat memakai pendekatan 3 pilar yang diintroduksi oleh Scott (2008): pilar regulatif, pilar normatif, dan pilar pengetahuan budaya.
Pilar regulatif antara lain mencakup aturan yang membatasi hubungan antrarperan; pembuatan aturan, monitoring, dan sanksi; kapasitas menegakkan aturan; imbalan dan hukuman; dan represi. Pilar normatif terdiri atas norma dan nilai-nilai (menghargai nilai prestasi, prakarsa-prakarsa baru, waktu, kedisiplinan, keterbukaan, kelugasan dalam berurusan, kejujuran, tanpa kekerasan (ahimsa), dan nilai-nilai lain yang mendukung motivasi dan pembentukan perilaku Presisi; ini menyangkut proses pengenalan, sosialisasi, dan internalisasi nilai-nilai positif bagi individu dan masyarakat.
Pilar pengetahuan budaya meliputi konsep bersama Polri dan masyarakat tentang hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat, pengetahuan tentang kearifan lokal, dan kegotongroyongan dalam menjaga keamanan lingkungan (ronda).
Penulis adalah Doktor Penyuluhan Pembangunan dari Institut Pertanian Bogor; dosen Universitas Katolik Santo Thomas