Ilham Bintang, Wartawan Senior
“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu," kata Franklin D. Roosevelt.
Franklin Delano Roosevelt (9 Januari 1882 – 12 April 1945) adalah Presiden Amerika Serikat ke-32 dan merupakan satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih empat kali dalam masa jabatan dari tahun 1933 hingga 1945. Roosevelt membantu Amerika Serikat memulihkan diri dari masa "Depresi Hebat".
Dalam perencanaan terhadap Perang Dunia II, dia yang mempersiapkan AS untuk menjadi "Gudang Senjata Demokrasi" melawan kekuatan Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang. Visinya tentang organisasi internasional yang efektif untuk menjaga perdamaian tercapai dengan dibentuknya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).
Tulisan ini tidak akan menguak lebih jauh sosok dan kiprah FRD, begitu ia dipanggil. Saya tiba-tiba teringat ungkapan FDR sebagai respons spontan mencermati dinamika politik setelah pernyataan tiga Ketua Umum Parpol, yaitu Zulkifll Hasan (PAN), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Airlangga Hartarto (Golkar) serempak viral kemarin.
Pernyataan politik Cak Imin Zulkifli dan Gaga (nama akrab Airlangga Hartarto) yang mewacanakan penundaan Pemilu menyentak publik. Menambah gaduh ruang publik setelah sebelumnya digegerkan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang menganalogikan kumandang azan masjid dengan gonggongan anjing. Catat, ketiganya orang dalam Istana. Sedangkan yang diberi jalan untuk memperpanjang masa jabatan dengan penundaan pemilu adalah Presiden Jokowi. Ketua Partai Demokrat, Andi Arief langsung menuding mereka disuruh Jokowi.
Spekulasi publik pun merebak atas wacana tiga pimpinan Parpol koalisi itu. Apa yang terjadi mendadak ketiga parpol bernarasi vulgar? Sebagai balasan, rakyat pun mengecam mereka secara bebas pula. Kebetulan masih melekat dalam ingatan, ketiga ketum Parpol itu punya catatan pernah dipanggil KPK. Apakah karena ketakutan setelah Jokowi lengser pada 2024, kasusnya bakal "diolah"oleh KPK kembali?
Padahal, sampai dua hari lalu ketiganya masih happy-happy menggerakkan mesin politiknya mendeklarasikan pencalonan diri masing-masing untuk jadi presiden pada Pilpres 2024. Henry Satrio, pengamat dari Kedai Kopi, dalam "Kabar Malam" TVOne semalam, menduga ketiganya frustrasi lantaran survei elektabilitas tidak bergerak-gerak, padahal setahun terakhir baliho sudah disebar di mana-mana untuk mendongkrak itu.
Baliho itu saja pun sudah memantik protes lantaran tidak mencerminkan sikap empati pejabat publik di tengah penderitaan seluruh masyarakat yang berjuang hidup mati hadapi pandemi virus Covid19. Saat wacana penundaan Pemilu 2024 kembali mereka lontarkan kemarin, rakyat masih dicengkram serangan kembali virus varian Omicron.
Angka penularannya dalam seminggu rata-rata 50 ribu kasus per hari. Tak salah jika mereka berang menyaksikan para politisi hanya sibuk mengamankan posisi nyaman golongan sendiri. Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali pagi tadi pagi di TVOne menyebutkan wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan pemberontakan terhadap konstitusi.
"Ada pasal dalam UU Pemilu yang jelas membatasi jabatan presiden maksimal dua periode, dua kali masa lima tahun. Itu roh reformasi. Tujuan besar reformasi pertama-tama memang memotong masa jabatan presiden yang pernah disalahgunakan di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Lha, ini mau diubah. Itu kan pemberontakan terhadap konstitusi namanya," kata Effendi Gazali dalam percakapan telepon, Sabtu (26/2) pagi.
Jokowi sudah pernah pula berkali-kali menyatakan menolak wacana untuk menjadi Presiden RI tiga periode lantaran itu melanggar konstitusi. Termasuk penundaan Pemilu, yang pada hakekatnya untuk memperpanjang jabatannya. Sampai Jokowi menyimpulkan ada motif jahat dibalik wacana itu. Pertama, mau mengambil muka (menjilat). Yang kedua, menjerumuskannya.
Jumlah rakyat yang terhubung internet (baca : mengikuti dinamika politik) sekarang 200 juta orang. Sebagian punya keahlian mendokumentasikan jejak digital semua pejabat kita. Tak pelak kemarin kemarin netizen kembali menyebarkan Video penolakan Jokowi tempo hari. Apakah Cak Imin, Zulkifli dan Gaga sedang mengambil muka atau menjerumuskan bosnya sendiri?
Presiden diminta bicara lagi
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Jumat (25/2) dari Melbourne, Australia, mengirim siaran pers kepada media di Tanah Air. Isinya, mantan Wakil Menkumham itu menganggap wacana penundaan Pemilu adalah pelecehan konstitusi.
"Kalaupun prosedur perubahan konstitusi ditempuh, perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid)," kata dia.
Menurut Prof Denny, konstitusi sama sekali tidak boleh diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi. Apalagi disalahgunakan untuk memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri.
"Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai Kepala Negara segera meluruskan pelanggaran serius ini. Itu kalau Beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika Beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang justru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut," paparnya.
Pakar Hukum Tata Negara Professor Yusril Ihza Mahendra ikut menimpali kemarin. Ia mengatakan tidak ada pihak yang berwenang untuk mengesahkan penundaan Pemilu 2024. Demikian dengan masa jabatan presiden, anggota DPR hingga DPD. Kalau pun elite di negeri ini memaksakan amandemen UUD 1945, maka hal ini hanya akan menyisakan masalah besar bagi Indonesia.
"Tidak ada satu pun lembaga apa pun yang dapat memperpanjang masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, atau menunjuk seseorang menjadi Pejabat Presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967. Kalau asal tunda pemilu dan asal perpanjang jabatan para pejabat negara tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat maka ada kemungkinan timbul krisis legitimasi dan krisis kepercayaan," kata Yusril seperti dikutip pelbagai media, Jumat (25/2)
PDI-P menolak
Memang tidak semua parpol koalisi mengamini usul PKB, PAN, dan Golkar itu. PDP-P partai pemenang Pemilu 2019, pengusung utama Presiden Jokowi, malah menentang wacana itu. Partai koalisi lainnya, Gerindra, PPP, belum menyatakan sikap.
Sedangkan parpol koalisi Partai Nasdem, masih tampak kebingungan. Tiga elitnya yang bicara dikutip media berbeda satu sama lain. Ada yang melihat jalan penundaan, dan ada juga yang menentang. Seperti sikap yang pernah disampaikan Surya Paloh, Ketum Nasdem, tempo hari.